SELAMA dua minggu terakhir, kita disuguhi pemberitaan tentang gagasan pembentukan family office di Indonesia. Ide tersebut dilontarkan Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan dengan tujuan menarik dana dari individu superkaya (ultra high net worth individuals/UHNWI) dan keluarganya yang tersebar di berbagai negara. Ada dua kata kunci yang kerap jadi argumen, yakni investasi dan perputaran dana dalam perekonomian Indonesia.
Ide tersebut pada dasarnya dapat dijustifikasi dengan melihat fenomena pertumbuhan kelompok keluarga kaya di Asia serta tren risiko politik dan ekonomi internasional. Keduanya menciptakan kebutuhan tata kelola manajamen kekayaan keluarga dalam konteks global. Selain itu, beberapa yurisdiksi kini juga berlomba menawarkan ‘rezim’ family office, seperti halnya Singapura, Hong Kong, dan Dubai (UEA).
Meskipun demikian, gagasan tersebut perlu kita cerna dengan perlahan. Upaya pembentukan family office mau tidak mau akan beririsan dengan daftar panjang mengenai isu seputaran sektor pajak. Pemetaan awal jelas dibutuhkan agar pemerintah dapat menakar sejauh mana kita perlu melangkah.
Diskusi mengenai family office agaknya sulit dipisahkan dari penempatan aset atau kekayaan UHNWI dan keluarganya di pusat keuangan (financial center). Berdasarkan pada Global Financial Centres Index 2024, terdapat 20 lokasi yang dianggap sebagai pusat keuangan terbaik secara global, mulai dari New York hingga Dubai.
Adapun financial center merupakan yurisdiksi yang memiliki daya saing dalam iklim usaha, ketersediaan sumber daya manusia yang terampil, infrastruktur dan konektivitas, akses terhadap pasar (keuangan) internasional, dan reputasi (The Z/Yen Group, 2020).
Konsentrasi aset global di pusat-pusat keuangan dunia juga didukung oleh riset yang dilakukan Zucman (2015). Mayoritas (92%) aset keuangan global ditempatkan di pusat keuangan dalam negeri tempat domisili para orang superkaya. Artinya, sebagian besar kekayaan global masih ditempatkan di negara-negara maju dan memiliki pola yang serupa dengan sebaran UHNWI.
Sisanya (8%) atau sebesar US$7,6 triliun ditempatkan di offshore financial center (OFC). Dari penempatan di OFC tersebut, 30%-nya berada di Swiss dan sisanya tersebar di berbagai negara lainnya.
Menariknya, terdapat korelasi positif antara lokasi terkonsentrasinya dana global dengan lokasi kedudukan family office. Berdasarkan pada data Fintrx, 10 lokasi favorit menjamurnya family office juga merujuk pada berbagai lokasi pusat keuangan global seperti halnya New York, London, Beijing, Hong Kong, Singapura, Dubai, Jenewa, maupun Tokyo.
Dari fakta tersebut tentu dapat disimpulkan jika upaya untuk menarik aset keuangan dari para superkaya hendak dilakukan melalui pendirian family office, Indonesia sebaiknya terlebih dahulu -atau setidaknya secara bersamaan- membangun ekosistem financial center di dalam negeri.
Lantas, mengapa harus melalui family office? Bukankah upaya menarik investasi - khususnya foreign portfolio investment - bisa dilakukan melalui entitas atau skema lainnya?
Bagi UHNWI beserta keluarganya, akses terhadap para profesional yang dapat membantu mereka dalam manajemen pengelolaan aset berperan penting. Pada praktiknya, bantuan tersebut telah dilakukan melalui private wealth management yang ditawarkan perbankan, akuntan keluarga, penasihat hukum, hingga konsultan pajak. Sayangnya, jasa tersebut masih dilakukan secara terpisah-pisah dan kerap memberikan advis yang saling bertolak belakang.
Motivasi untuk memiliki suatu ‘entitas’ yang menjadi wadah berbagai jasa tersebut secara terintegrasi bisa dibilang merupakan dasar pemikiran adanya family office. Berdasarkan pada studi yang dilakukan VP Bank dan University St. Gallen (2009), keluarga kaya umumnya memiliki concern tentang wealth creation yang berkelanjutan antargenerasi dengan tetap mengedepankan aspek privasi dan kepercayaan. Singkatnya, family office merupakan model entitas yang paling memenuhi ekspektasi dan kebutuhan ekonomi keluarga superkaya dibandingkan dengan model lainnya.
Di sisi lain, permintaan atas jasa family office sedikit banyak turut dipengaruhi oleh dinamika lanskap pajak global. Sebagai informasi, pada umumnya, kegiatan usaha di berbagai financial center - terutama di Uni Eropa - didominasi oleh kehadiran special purpose entity/SPE (Nino, Habib, dan Schmitz, 2020).
Adanya skandal keuangan global seperti Panama Papers, Luxleaks, Pandora Papers, dan sebagainya secara tidak langsung turut membongkar cara kerja dari SPE. Selain itu, kerja sama global di bidang pajak dan keuangan, seperti halnya proyek BEPS, pertukaran informasi keuangan antarotoritas pajak, komitmen melawan pencucian uang melalui FATF, OECD Forum on Harmful Tax Practices (FHTP), juga menimbulkan anggapan asosiatif antara SPE dan ketidakpatuhan.
Berbagai tekanan tersebut sejatinya menggarisbawahi pentingnya entitas baru yang dirasa lebih legit, memiliki substansi ekonomi, tidak menciptakan reputational risk, tetapi tetap memiliki fitur fasilitas yang mendukung efisiensi. Family office merupakan jawaban kekinian atas hal-hal tersebut. Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika jumlah family office global meningkat sebanyak 3 kali lipat selama periode 2019-2023 (Preqin, 2024).
Hingga di sini kita dapat kita simpulkan beberapa hal. Pertama, kehadiran family office relatif tidak terpisahkan dari kehadiran ekosistem financial center. Kedua, family office merupakan bentuk yang paling mendekati kebutuhan wealth creation keluarga yang terintegrasi. Ketiga, family office merupakan entitas yang efisien, relatif legit, dan sejalan dengan perlindungan reputasi keluarga superkaya.
Lantas, bagaimana langkah selanjutnya? Dari sisi pajak, apakah Indonesia perlu mengadopsi berbagai fitur yang melekat pada rezim family office di negara lain?
Rezim pajak yang pro terhadap pembentukan family office dan kemampuannya menarik dana global bukanlah sesuatu yang sederhana untuk didesain. Ciri khas perlakuan pajak family office umumnya berkaitan erat dengan fitur fasilitas pajak yang melekat pada financial center.
Fasilitas pajak itu di antaranya adalah beban pajak yang efisien atas imbal hasil pengelolaan dana dan wealth creation, orientasi pada transaksi lintas yurisdiksi, ring fencing, risiko pajak yang rendah, dan privasi terjamin.
Oleh karena itu, ada sederet instrumen pajak yang perlu dipikirkan. Pertama, status subjek pajak dan kriteria. Perlakuan pajak dari family office akan ditentukan dari apakah ia akan menjadi subjek pajak dalam negeri atau luar negeri (SPDN versus SPLN) serta memiliki status taxable entity atau tidak.
Dalam hal akan memiliki kekhususan dalam status subjek pajak dan beban pajak terutangnya, persyaratan serta kriteria dari family office perlu diatur secara rinci. Salah satu kekhasan family office di beberapa pusat keuangan, misal di London (UK) dan Singapura, ialah kebebasan memilih bentuk entitas, termasuk trust.
Trust yang memisahkan antara legal owner (dikendalikan oleh trustee), pemilik aset (settlor), dan pemilik manfaat atas aset (beneficiary) umumnya lebih menjamin privasi (Antoine, 2005). Meskipun demikian, Indonesia sebagai negara civil law tidak mengenal bentuk trust.
Pertimbangan lain sehubungan dengan status subjek pajak misalnya mendesain family office sebagai pass-through entity. Implikasinya, pengenaan PPh tidak akan dibebankan kepada family office, tetapi akan diteruskan kepada UHNWI atau keluarga pengendalinya.
Kedua, perlakuan PPh atas penghasilan yang diterima oleh family office. Secara umum, perlakuan PPh dalam hal penghasilan dari modal (passive income) akan tergantung dari jenis investasi dan yurisdiksi tempat investasi dilakukan oleh family office.
Saat ini, rezim PPh Indonesia atas berbagai instrumen investasi relatif bervariasi, khususnya dari sisi tarif dan sifat (final atau tidak final). Selain itu, perlakuan pajaknya juga dipengaruhi oleh ada atau tidaknya intermediary.
Hal tersebut tentu berpotensi menimbulkan kerumitan administrasi, mendistorsi pilihan investasi, serta membuat upaya efisiensi pajak yang ditanggung family office menjadi sub-optimal (karena masih adanya skema pajak final).
Aspek yang tidak kalah penting adalah PPh atas penghasilan yang diterima dari luar negeri. Berdasarkan pada hasil komparasi, rezim family office di Singapura, Hong Kong, dan Dubai (UEA) menganut sistem pajak territorial yang notabene mengecualikan berbagai penghasilan dari luar negeri sebagai objek pajak.
Lantas, bagaimana dengan Indonesia? Sebagai negara yang menganut worlwide tax system, penghasilan dari luar negeri tetap akan dipajaki di Indonesia (Darussalam, Kristiaji, dan Dhora, 2019). Namun, pascaberlakunya UU Cipta Kerja, Indonesia kini memberikan pengecualian atas dividen dari luar negeri dengan syarat diinvestasikan di dalam instrumen dan jangka waktu tertentu.
Ketiga, perlakuan PPh atas distribusi penghasilan dari family office. Perlakuan pajak tersebut akan menentukan seberapa besar imbal hasil yang akan diterima oleh UHWI dan keluarganya yang bertindak sebagai pengendali.
Isu mengenai hal ini akan berkaitan erat dengan dua hal, yakni perlakuan distribusi dividen dalam negeri (jika UHNWI dan keluarga merupakan SPDN) serta perlakuan PPh Pasal 26 beserta jaringan persetujuan penghindaran pajak berganda (P3B) yang dimiliki Indonesia (jika UHNWI dan keluarga merupakan SPLN).
Perubahan sistem corporate-shareholder taxation Indonesia, dari classical system menuju one-tier system, telah menjamin pembebasan PPh final sebesar 10% atas distribusi dividen dalam negeri (Darussalam, 2020).
Kemudian, jaringan P3B Indonesia dengan 71 yurisdiksi lainnya dapat menjadi keunggulan karena potensi pemanfaatan fasilitas reduced rate yang luas. Namun, atas distribusi penghasilan lintas yurisdiksi tersebut tetap perlu memperhatikan isu mengenai treaty shopping serta skema round-tripping investment.
Skema pembebasan PPh Pasal 26 atas penghasilan yang diterima oleh SPLN juga bisa dipertimbangkan. Skema ini juga telah diadopsi atas penghasilan dari investasi pada financial center IKN melalui PMK 28/2024.
Keempat, perlakuan pajak bagi kegiatan filantropi. Kegiatan filantropi erat kaitannya dengan UHNWI dan keluarganya. Kegiatan filantropi merupakan sumber pendanaan alternatif di luar belanja negara yang memiliki dampak positif dalam mengatasi permasalahan sosial (Darussalam, Septriadi, dan Kristiaji, 2017). Oleh karena itu, insentif pajak untuk menggairahkan kegiatan filantropi dapat dipertimbangkan.
Skenario insentif pajak bagi kegiatan filantropi umumnya diberikan melalui dua cara. Cara pertama adalah dengan mengecualikan PPh bagi lembaga yang melakukan kegiatan filantropi yang biasanya melekat pada organisasi nirlaba (Kristiaji, 2020). Kemudian, cara kedua adalah dengan memperbolehkan dana sumbangan kegiatan filantropi untuk dibiayakan secara pajak.
Dari kedua cara tersebut, fasilitas pengecualian agaknya kurang relevan karena family office turut melakukan kegiatan komersial. Sementara itu, fasilitas deductible expense sejatinya dapat diperluas.
Adapun perluasan fasilitas deductible expense misalnya tetap dapat dibiayakan ketika: (i) diberikan kepada pihak yang memiliki hubungan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan, (ii) jenis kegiatan tidak dibatasi dan mencakup kegiatan seni-budaya, kesehatan, sejarah, hingga lingkungan hidup, dan (iii) diberikan oleh orang pribadi.
Nantinya, insentif pajak bagi kegiatan filantropi bisa dilekatkan kepada rezim fasilitas family office. Dengan demikian, kegiatan filantropi nantinya bisa menjadi bentuk ‘investasi riil’ dari family office.
Kelima, ketentuan antipenghindaran pajak. Dukungan sektor pajak terhadap family office tentu akan beririsan dengan berbagai ketentuan antipenghindaran pajak.
Sebagai ilustrasi, transaksi yang dilakukan antara family office dan UHWI ataupun entitas lain yang dikendalikan oleh keluarga UHNWI tersebut, harus memenuhi prinsip kewajaran dan kelaziman usaha. Pasalnya, Indonesia menganut kriteria hubungan istimewa (associated enterprise) yang merujuk pada konsep yang luas, yakni de facto control (Dwarkasing, 2011).
Pengaturan rezim family office juga dapat beririsan dengan ketentuan controlled foreign corporation (CFC) yang mencegah penangguhan penghasilan oleh perusahaan nonbursa terkendali luar negeri melalui skema deemed dividend. Kehadiran family office juga berpotensi menimbulkan skema hybrid arrangement yang disebabkan oleh kehadiran entitas dan instrumen keuangan hibrida.
Menariknya, melalui PP 55/2022, Indonesia justru memperkuat agenda melawan penghindaran pajak, termasuk memperkenalkan general anti-avoidance rule yang berbasis pengakuan substansi ekonomi.
Keenam, kerja sama global pada bidang pajak. Rezim family office di berbagai negara pada umumnya tetap tunduk terhadap kerja sama global di pertukaran informasi, agenda melawan pencucian uang, good governance, penguatan substansi ekonomi, serta prinsip know your customer. Faktanya, rezim family office di Hong Kong dianggap tidak harmful berdasarkan asesmen OECD FHTP (Februari 2024).
Meskipun demikian, beberapa negara masih tetap memberikan ‘ruang privasi’ bagi family office. Di Amerika Serikat, family office yang notabene mengelola dana investasi tidak perlu terdaftar pada U.S. Securities and Exchange Commission (SEC). Selain itu, family office tidak perlu mengungkapkan secara penuh tentang aset yang dikelola dan diinvestasikan.
Ketujuh, pajak atas kekayaan dan pajak atas pengalihan harta secara nonkomersial baik melalui hibah dan warisan. Pajak ini berisiko mengancam kesinambungan kekayaan keluarga antargenerasi. Di Indonesia, isu ini kurang relevan karena belum adanya kecenderungan optimalisasi pajak yang berhubungan dengan akumulasi kekayaan antargenerasi.
Meskipun demikian, kehadiran family office turut dapat menyertakan fasilitas sehubungan dengan ketiga jenis pajak tersebut. Misalkan di UK, upaya meminimalkan dan menghindari beban pajak warisan dapat difasilitasi oleh rezim family investment company (FIC).
Pada akhirnya, semua perlu kembali kepada perspektif pemerintah. Hal ini terutama menyangkut sejauh mana rencana pembentukan family office kompatibel dengan agenda-agenda pemerintah pada bidang ekonomi, terutama pajak. Setidaknya ada 4 hal yang perlu kita perhatikan.
Pertama, family office yang berdaya saing membutuhkan berbagai modifikasi aturan pajak di Indonesia. Hal ini mulai dari opsi adanya status subjek pajak yang berlaku khusus, adopsi territorial taxation, hingga relaksasi ketentuan antipenghindaran pajak.
Selain menimbulkan kerumitan baru, berbagai modifikasi tersebut tentu perlu diuji secara betul-betul dari prinsip keadilan, prinsip efisiensi (yang kemungkinan terdistorsi melalui insentif), prinsip nondiskriminasi dalam pajak, dan sebagainya (Darussalam, Septriadi, dan Marhani, 2024).
Kedua, efektivitas family office dalam menggerakkan ekonomi Indonesia. Satu hal yang perlu digarisbawahi ialah rezim family office memiliki kaitan yang lebih erat dengan foreign portfolio investment dan bukan investasi sektor riil seperti halnya foreign direct investment (FDI).
Dengan demikian, daya ungkitnya kepada perekonomian secara luas perlu ditelaah kembali. Pengecualian agaknya perlu diletakkan pada daya dukung kegiatan filantropi yang dilakukan oleh UHWI dan keluarganya bagi kesejahteraan sosial secara nyata.
Ketiga, keselarasan dengan agenda nasional pada bidang pajak. Kita agaknya perlu menguji gagasan pembentukan family office secara serius dengan beberapa kata kunci penting, yakni peningkatan tax ratio, pemberian insentif pajak yang lebih selektif, distribusi beban pajak yang adil, perlawanan terhadap penghindaran pajak, dan optimalisasi kepatuhan pajak kelompok superkaya.
Selain kerap diperbincangkan dalam diskursus publik, sederet agenda tersebut juga dapat ditemukan dalam dokumen strategi kebijakan fiskal nasional.
Terakhir, keselarasan pembentukan family office dengan komitmen Indonesia dalam kerja sama internasional pada bidang pajak dan tata kelola pemerintahan yang baik.
Sebagai penutup, diskusi mengenai family office menghadirkan kembali tarik-ulur soal daya tahan dan daya saing sistem pajak Indonesia di era globalisasi. Kali ini tentu kita kembali harus meriset lebih dalam sekaligus merenung apa yang menjadi skala prioritas bangsa ini di masa mendatang.Â