PROFESI konsultan pajak selama ini lebih dikenal sebagai pendamping wajib pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban pajaknya. Namun, pandangan ini sesungguhnya belum mencerminkan seluruh cakupan kontribusi profesi konsultan pajak terhadap masyarakat dan negara (Darussalam, Septriadi, dan Kristiaji, 2024).
Di balik tugas yang diemban, konsultan pajak sejatinya telah mengambil peran aktif dalam mendorong agenda keberlanjutan. Konsep keberlanjutan tak semata soal lingkungan, tetapi juga mencakup komitmen jangka panjang untuk menumbuhkan nilai ekonomi, sosial, dan tata kelola yang adil (Elkington, 2018).
Dalam konteks perpajakan, kontribusi keberlanjutan konsultan pajak meliputi edukasi publik, advokasi kebijakan, pendampingan UMKM, hingga penyederhanaan pemahaman atas peraturan perpajakan yang sangat dinamis. Oleh karena itu, kontribusi profesi konsultan pajak sejatinya merupakan bagian integral dari arsitektur keberlanjutan itu sendiri.
Inilah esensi dari officium nobile atau profesi mulia, sebuah keyakinan bahwa profesi, khususnya konsultan pajak, bukan sekadar soal imbal jasa, tetapi juga pengabdian kepada publik (Darussalam et al., 2024). Namun demikian, peran profesi konsultan pajak dalam agenda keberlanjutan nasional sepertinya belum dilihat sebagai nilai tambah oleh pemerintah.
Lantas, bagaimana sebaiknya pemerintah membangun ekosistem untuk mendorong peran keberlanjutan agar dijalankan oleh profesi konsultan pajak?
Profesi konsultan pajak memiliki posisi strategis sebagai penghubung (tax intermediary) antara wajib pajak dan otoritas pajak (Darussalam et al., 2024). Namun, agar kontribusi keberlanjutan dari para konsultan pajak tidak bergantung pada inisiatif individu semata, negara perlu membangun ekosistem yang mendukung secara sistemik. Ekosistem ini mencakup kebijakan yang mampu mendefinisikan, mengukur, dan mengapresiasi peran keberlanjutan dari profesi tersebut secara berkelanjutan dan terstruktur.
Setidaknya, terdapat dua pilar utama yang perlu dibangun secara terintegrasi dalam pengembangan ekosistem ini. Pilar pertama adalah sistem pelaporan dan pilar kedua adalah skema insentif. Keduanya akan dibahas secara berurutan dalam bagian berikut.
Pertama, sistem pelaporan perlu dikembangkan untuk menangkap kontribusi konsultan pajak terhadap masyarakat. Aktivitas seperti edukasi perpajakan, advokasi kebijakan, dan pendampingan kepatuhan merupakan bentuk kontribusi nonkomersial yang layak terdokumentasi secara sistematis.
Namun, agar pelaporan tidak sekadar menjadi formalitas, perlu ada standar nasional yang membedakan dengan jelas antara aktivitas komersial dan nonkomersial. Literasi pajak di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) misalnya, tentu memiliki nilai keberlanjutan yang berbeda dibanding pendampingan kepada klien korporasi.
Di Indonesia, saat ini fondasi awal sistem pelaporan sebenarnya telah tersedia melalui program Pengembangan Profesional Berkelanjutan (PPL) sebagaimana diatur dalam PER-13/PJ/2015 tentang Petunjuk Pelaksanaan Ketentuan Konsultan Pajak.
Peraturan tersebut telah memotret beragam aktivitas nonkomersial seperti seminar, penulisan buku, dan kegiatan edukatif lainnya ke dalam perhitungan Satuan Kredit PPL (SKPPL), baik dalam bentuk terstruktur maupun tidak terstruktur. Hal ini menunjukkan bahwa kerangka awal untuk mendokumentasikan kontribusi profesi sejatinya sudah terbentuk.
Namun, sistem PPL saat ini masih bersifat administratif dan berorientasi pada pemenuhan angka kredit SKPPL, belum sampai pada tahap mendorong konsultan pajak untuk benar-benar memenuhi panggilan officium nobile sebagai profesi yang mengabdi kepada masyarakat. Pelaporan lebih difungsikan sebagai bukti kepatuhan, bukan sebagai alat untuk memetakan dan mendorong dampak sosial dari aktivitas profesional tersebut.
Perspektif ini juga diperkuat oleh Darussalam et al. (2024) dalam Kuasa dan Konsultan Pajak: Model dan Perbandingan, khususnya dalam Bab 9 tentang Aspek Monitoring dan Evaluasi. Dalam bagian tersebut ditegaskan pentingnya merancang sistem pelaporan untuk menjamin mutu dan integritas profesi demi menjaga kepercayaan publik terhadap konsultan pajak.
Sistem pelaporan idealnya tidak hanya menjawab kewajiban pelaporan itu sendiri, tetapi juga menjadi sarana negara untuk mengakses informasi penting terkait kontribusi keberlanjutan yang telah dilakukan oleh profesi.
Agar sistem pelaporan ini efektif, salah satu prinsip yang diusulkan dalam buku tersebut adalah kejelasan tujuan dan proporsionalitas kewajiban. Pemerintah perlu terlebih dahulu menentukan informasi apa yang ingin dikumpulkan, misalnya aktivitas edukasi, advokasi, atau pendampingan, dan kemudian menentukan pihak yang relevan untuk melaporkan: apakah individu konsultan pajak, kantor tempatnya bekerja, atau asosiasi profesinya. Tanpa kejelasan ini, sistem berisiko menjadi tumpang tindih dan kontra-produktif.
Dengan penyempurnaan desain, program PPL sebenarnya memiliki potensi besar untuk dikembangkan menjadi sistem pelaporan keberlanjutan profesi. Di luar pencatatan kredit, program ini dapat digunakan untuk mendokumentasikan kontribusi yang lebih luas, termasuk aktivitas sosial yang tidak selalu tercantum sebagai syarat formal, tetapi memiliki dampak nyata. Dengan demikian, setiap bentuk pengabdian yang mencerminkan semangat officium nobile dapat terekam dan dihargai secara sistematis.
Untuk menjamin konsistensi dan objektivitas, teknologi dapat menjadi enabler penting. Jerman misalnya, telah mengembangkan platform berbasis kecerdasan buatan (AI) yang membantu perusahaan menilai kontribusinya terhadap keberlanjutan secara mandiri dan komparatif. Sistem ini tidak hanya menyajikan skor keberlanjutan, tetapi juga berfungsi sebagai alat reflektif yang mendorong perbaikan berkelanjutan berdasarkan data dan benchmark industri.
Pemanfaatan algoritma seperti yang diadopsi oleh Jerman juga patut dipertimbangkan oleh Indonesia, khususnya profesi konsultan pajak. Melalui sistem semacam ini, konsultan pajak dapat mengevaluasi posisi dan performa keberlanjutannya secara kuantitatif dan komparatif terhadap rerata rekan seprofesinya. Ini tidak hanya memperkuat akuntabilitas, tetapi juga mendorong refleksi dan perbaikan berkelanjutan secara lebih objektif.
Lebih lanjut, rasanya tidak cukup jika hanya menyoal sistem pelaporan. Pelaporan yang baik tanpa apresiasi nyata tetap akan terasa simbolis. Oleh karena itu, kebijakan keberlanjutan tentang profesi ini perlu dilengkapi dengan skema insentif yang memberikan nilai tambah secara moral dan profesional.
Kedua, membangun skema insentif yang mengapresiasi kontribusi nonkomersial secara nyata dan berdampak sosial tinggi. Insentif dalam hal ini tidak harus selalu dalam bentuk finansial. Penghargaan nonmoneter terbukti dapat menjadi pendorong kinerja secara efektif (Ashraf et al., 2014).
Dalam konteks mendorong kinerja konsultan pajak, bentuk penghargaan nonmoneter seperti pengakuan publik (recognition), dapat menjadi pemicu yang efektif bagi para profesional untuk terlibat aktif dalam aktivitas keberlanjutan.
Di Jerman, penguatan sistem pelaporan keberlanjutan didukung melalui penyelenggaraan German Sustainability Award (GSA) sejak 2008. Penghargaan ini tidak hanya ditujukan bagi korporasi besar, tetapi juga menjangkau pelaku jasa profesional dan institusi skala kecil yang berkontribusi nyata terhadap agenda keberlanjutan.
Pendekatan seperti ini dapat diadaptasi di Indonesia, misalnya melalui inisiatif yang dikomandoi oleh Kementerian Keuangan atau Ditjen Pajak sebagai otoritas utama di bidang perpajakan. Penghargaan tahunan dapat diberikan kepada konsultan pajak yang secara aktif menjalankan aktivitas keberlanjutan sebagai bentuk apresiasi atas kontribusi mereka dalam memperkuat fondasi pajak nasional.
Insentif pajak pun bisa didesain secara progresif. Salah satu pendekatan yang bisa dieksplorasi adalah pemberian pengurang penghasilan kena pajak bagi kantor atau individu yang terbukti menjalankan aktivitas nonkomersial berdampak sosial dan tervalidasi.
Studi dari OECD Investment Tax Incentives Database (2024) mencatat bahwa lebih dari sepertiga skema insentif pajak di berbagai negara ditujukan untuk mendukung tujuan pembangunan berkelanjutan, seperti penciptaan lapangan kerja dan peningkatan inklusi sosial. Hal ini menunjukkan tren global dalam merancang insentif yang tidak hanya mendukung investasi ekonomi, tetapi juga menyasar dampak sosial.
Meski tidak mudah, merancang ekosistem keberlanjutan bagi profesi konsultan pajak merupakan langkah strategis yang tak dapat ditunda. Hanya dengan itu, kontribusi profesi dapat tumbuh dalam sistem yang sehat dan berdaya dorong jangka panjang.
Sistem pelaporan harus menjadi prasyarat untuk memperoleh insentif. Sebaliknya, keberadaan insentif akan mendorong pelaporan dilakukan secara jujur dan berkelanjutan. Kedua pilar harus berjalan sinergis. Di titik ini, lembaga lain seperti akademisi dan asosiasi profesi dapat dilibatkan sebagai mitra pemerintah dalam proses verifikasi dan penilaian kontribusi.
Officium nobile tidak akan tumbuh hanya dari idealisme profesi, tetapi juga dari ruang yang disediakan oleh negara untuk membiarkan nilai itu hidup, bekerja, dan diakui secara nyata. Sudah saatnya kedua sistem tersebut diadopsi bukan hanya sebagai kebijakan teknis, tetapi sebagai pijakan moral untuk membangun profesi yang lebih berdampak. (sap)