Muhammad Estu Kresnha P.,
HAKIM sebagai penegak hukum memiliki peranan penting dalam mewujudkan negara hukum melalui putusan hukumnya di pengadilan (Arianto, 2012). Hakim memiliki tugas pokok yaitu harus mengadili suatu perkara dengan seadil-adilnya dengan tidak membeda-bedakan orang (Sudirman, 2007). Namun, bagaimanapun hakim adalah manusia yang tidak luput dari kekurangan dan khilaf (Mertokusumo, 1997).
Hakim yang merupakan manusia yang memiliki kekurangan dan kekhilafan belum tentu dalam menjalankan tugasnya selalu menjatuhkan putusan yang cermat, tepat, dan adil (Mertokusumo, 1997). Oleh karena itu, demi kebenaran dan keadilan setiap putusan pengadilan harus dapat diperiksa ulang agar dapat memperbaiki kekurangan dan kekhilafan (Mertokusumo, 2009). Peradilan dibagi menjadi bertingkat dengan tujuan mengantisipasi kekurangan dan kekhilafan hakim dalam menjatuhkan putusan (Mertokusumo, 1997).
Berdasarkan Pasal 26 ayat (1) jo. ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman (selanjutnya disebut UU 48/2009), putusan pengadilan berawal pada putusan pengadilan tingkat pertama yang atas putusan tersebut dapat dimintakan banding kepada pengadilan tinggi selama putusanya tidak merupakan pembebasan dakwaan atau putusan lepas, kecuali undang-undang menentukan lain.
Putusan pengadilan tinggi selanjutnya dapat dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali undang-undang menentukan lain sebagaimana diatur dalam Pasal 23 UU 48/2009. Pasal 20 ayat (1) jo. ayat (2) UU 48/2009 mengatur bahwa tingkatan peradilan bermuara pada Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi, yang salah satu kewenangannya adalah mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada pengadilan tingkat terakhir.
Putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap dapat diajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, ketentuan ini sesuai dengan Pasal 24 ayat (1) UU 48/2009. Penjelasan Pasal 24 ayat (1) UU 48/2009 mengatur bahwa pengajuan peninjauan kembali dilakukan apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang, yang antara lain berupa ditemukannya bukti baru atau adanya kekhilafan atau kekeliruan hakim dalam menerapkan hukum.
Pengadilan pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi wajib pajak, hal ini diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak (selanjutnya disebut UU 14/2002). Pasal 31 UU 14/2002 mengatur bahwa pengadilan pajak memiliki tugas dan wewenang untuk memeriksa dan memutus sengketa pajak.
Pengadilan pajak merupakan pengadilan tingkat pertama dan terakhir yang putusannya merupakan putusan akhir dan memiliki keuatan hukum tetap, sebagaimana diatur dalam Pasal 33 ayat (1) jo. Pasal 77 ayat (1) UU 14/2002. Walaupun atas putusannya tidak dapat diajukan gugatan, banding, atau kasasi, tetapi atas putusan tersebut tetap dapat diajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, hal ini diatur dalam Pasal 77 ayat (3) jo. Pasal 80 ayat (2) UU 14/2002.
Tidak dapatnya diajukan upaya hukum berupa kasasi ke Mahkamah Agung dalam sengketa pajak pernah diajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi karena dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Cornelio Moningka Vega selaku Direktur PT Apota Wibawa Pratama, yang mendalilkan bahwa yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar diantaranya adalah Pasal 33 ayat (1), Pasal 77 ayat (1), dan Pasal 80 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak yang pada pokoknya menyatakan bahwa putusan pengadilan pajak adalah putusan tingkat pertama dan terakhir yang memiliki kekuatan hukum tetap, dan atas putusan tersebut tidak dapat diajukan gugatan, banding, atau kasasi.
Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 004/PUU-II/2004 berpendapat bahwa alasan diajukannya peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 91 huruf e Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak adalah jika suatu putusan nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dasar alasan peninjauan kembali ini menurut Mahkamah Konstitusi secara substansif sama dengan alasan untuk mengajukan kasasi sebagaimana disebutkan dalam Pasal 30 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung. Mahkamah Konstitusi pada pokoknya berpendapat bahwa permohonan Cornelio Moningka Vega harus ditolak karena alasan peninjauan kembali menurut Undang-Undang Pengadilan Pajak secara substansif sama dengan alasan kasasi menurut Undang-Undang Mahkamah Agung.
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat diketahui dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 004/PUU-II/2004 menegaskan bahwa Pengadilan Pajak mengakomodir upaya kasasi dalam bentuk peninjauan kembali. Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa secara substansif upaya hukum peninjauan kembali atas putusan sengketa pajak sama dengan kasasi. Hal ini disebabkan karena alasan peninjauan kembali pada Undang-Undang Pengadilan Pajak sama dengan alasan kasasi pada Undang-Undang Mahkamah Agung.
Pengadilan Pajak di Indonesia yang merupakan pengadilan tingkat terakhir dan hanya dapat dilakukan upaya peninjauan kembali menunjukkan pengadilan pajak di Indonesia memiliki dua tingkat pengadilan. Pengadilan pajak dengan dua tingkat pengadilan tidak hanya diaplikasikan di Indonesia, terdapat negara lain yang memiliki sistem pengadilan pajak yang serupa, sebagai berikut (The Law Reviews, 2020).
Austria
Otoritas Pajak Austria memiliki kewenangan untuk mengeluarkan ketetapan pajak, dan atas keputusan tersebut oleh wajib pajak dapat diajukan banding secara administratif pada Otoritas Pajak Austria. Banding yang dilakukan secara administratif dilakukan dalam hal wajib pajak merasa terdapat haknya yang dilanggar oleh otoritas pajak.
Keputusan banding administratif sifatnya menjadi berkekuatan hukum tetap dalam hal atas keputusan tersebut tidak diajukan banding oleh wajib pajak kepada Federal Tax Court. Federal Tax Court memiliki kewenangan untuk memeriksa fakta-fakta dan keadaan terkait sengketa, yang kemudian dapat mengeluarkan putusan berupa pembatalan atau revisi keputusan banding administratif.
Putusan Pengadilan Pajak Federal kemudian dapat diajukan banding kepada Supreme Administrative Court, yang merupakan pengadilan tingkat dua dan tingkat akhir yang menangani sengketa pajak. Supreme Administrative Court tidak melakukan pemeriksaan terhadap fakta dan keadaan terkait dengan sengketa, melainkan memeriksa apakah terdapat kesalahan dalam penerapan hukum pada putusan yang diajukan banding.
Finlandia
Banding atas keputusan pajak Otoritas Pajak Finlandia dapat diajukan oleh wajib pajak kepada the Board yang merupakan bagian dari Otoritas Pajak Finlandia. Anggota the Board terdiri dari perwakilan Otoritas Pajak Finlandia, pemerintah kota, dan organisasi yang mewakili wajib pajak.
Keputusan yang dikeluarkan oleh the Board dapat diajukan banding pada Administrative Court. Berbeda dengan the Board, Administrative Court berisikan hakim profesional. Pemeriksaan yang dilakukan di dalam Administrative Court termasuk pemeriksaan fakta-fakta yang berkaitan dengan sengketa yang diajukan banding.
Putusan Administrative Court dapat juga diajukan banding kepada Supreme Administative Court yang merupakan pengadilan tingkat terakhir yang mengadili sengketa pajak di Finlandia. Salah satu alasan dapat diajukannya banding kepada Supreme Administrative Court adalah karena dianggap telah terjadi kesalahan dalam putusan Administrative Court.
Melihat sistem pengadilan pajak di Austria dan Finlandia di atas, diketahui bahwa upaya hukum wajib pajak harus melewati proses keberatan di otoritas pajak negaranya. Keputusan otoritas pajak atas keberatan wajib pajak tersebut yang kemudian dapat diajukan banding ke pengadilan tingkat pertama dan selanjutnya pengadilan tingkat terakhir.
Ini menunjukkan bahwa Austria dan Finlandia juga memiliki pengadilan pajak dengan dua tingkat pengadilan. Artinya, baik Indonesia, Austria, dan Finlandia memiliki pengadilan pajak yang terdiri dari dua tingkat, yang menunjukkan bahwa sistem pengadilan pajak bertingkat di Indonesia juga merupakan common practice di beberapa negara.