Qadri Fidienil Haq,
PRODUKSI gas bumi Indonesia pada 2019 mencapai 772,1 ribu mmscfd. Gas bumi ini diubah menjadi Liquified Natural Gas (LNG) dan diekspor 22,08%, sisanya dijual ke domestik. Secara total, 65% hasil gas alam dimanfaatkan untuk kepentingan domestik (SKK Migas, 2020).
LNG merupakan gas alam yang telah dicairkan. LNG memiliki keunggulan, mudah disimpan dan diangkut karena bentuknya cair. Kebutuhan LNG diperkirakan terus meningkat. Pembangkit listrik program 35.000 Watt akan beroperasi dan membutuhkan LNG sebagai sumber energi.
Industri yang membutuhkan LNG juga semakin banyak seiring meningkatnya kebutuhan energi. Ditambah lagi pemanfaatan LNG dalam skala mini yang akan dimulai beberapa tahun ke depan untuk pembangkit listrik berkapasitas kecil guna meningkatkan rasio elektrifikasi di Indonesia.
Menyadari pentingnya LNG sebagai sumber energi nasional, melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 48 Tahun 2020, pemerintah memasukkan LNG sebagai salah satu barang kena pajak (BKP) tertentu yang bersifat strategis yang dibebaskan dari pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN).
Pertimbangan PP ini untuk memberikan kepastian hukum, meningkatkan rasio elektrifikasi dan mempercepat pemenuhan kebutuhan tenaga listrik yang lebih efisien. Pembebasan PPN untuk LNG ini salah satu insentif bagi pengguna LNG tidak perlu lagi menanggung PPN atas pembelian LNG.
Pembebasan PPN Ini setidaknya akan memberikan dua keuntungan untuk pengguna LNG yang utamanya adalah sektor kelistrikan. Pertama, arus kas yang sebelumnya digunakan untuk PPN dapat dimanfaatkan untuk keperluan lain untuk menunjang aktivitas ekonomi lain.
Contoh, sebagai salah satu konsumen terbesar LNG, PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) (Persero) akan menghemat PPN pembelian LNG dan mengalihkannya dana miliknya untuk meningkatkan elektrifikasinya dan mempercepat tercapainya program listrik 35.000 Watt.
Kedua, pembebasan PPN LNG ini mengurangi biaya produksi sehingga harganya lebih ekonomis dan mengurangi subsidi listrik. PPN LNG ini biaya produksi karena listrik merupakan BKP strategis yang bebas PPN, sehingga pajak masukannya tidak dapat dikreditkan dan menjadi biaya produksi.
Industri LNG Pola Hilir
MENINGKATNYA kebutuhan LNG berbanding terbalik dengan produksi LNG Indonesia yang cenderung menurun. Dari laporan Ditjen Migas 2019, produksi LNG 2019 hanya 16,43 juta ton. Jumlah ini berkurang dibandingkan dengan 2017 sebesar 19,22 juta ton dan 2018 sebesar 19,06 juta ton.
Untuk meningkatkan produksi LNG seiring dengan meningkatnya permintaan ini, pemerintah perlu meningkatkan minat investor terhadap industri ini, seperti membangun kilang baru.
Namun, pemerintah harus berupaya lebih keras karena niat baik membebaskan PPN LNG ini kurang menguntungkan bagi industri LNG pola hilir, yaitu industri yang memproses gas alam menjadi LNG terpisah dengan kegiatan Kontraktor Kerja Sama (KKKS) Migas.
Ditilik sejarahnya, ada beberapa perubahan perlakuan pengenaan PPN atas LNG. Sebelum 2012, LNG merupakan BKP yang harus dipungut PPN-nya. Namun, sejak terbit Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.011/2012, LNG menjadi bukan barang yang dikenai PPN (non-BKP).
Peraturan tersebut kemudian diuji materi oleh salah satu pelaku industri LNG pola hilir. Salah satu hal alasannya, adalah hilangnya hak produsen LNG mengkreditkan pajak masukannya sehingga membuat biaya produksi LNG menjadi lebih besar dan harga jual menjadi tidak kompetitif.
Pada Mei 2018, uji materi itu diterima. Sejak itu, seluruh industri LNG baik pola hulu maupun hilir membuat faktur pajak dan memungut PPN. Namun, saat ini, 2 tahun lebih sejak putusan, melalui PP 48/2020 pemerintah menjadikan lagi LNG sebagai BKP strategis yang dibebaskan PPN-nya.
Perlakuan pajak masukan atas penyerahan BKP yang dibebaskan PPN pada prinsipnya sama dengan penyerahan non-BKP, yaitu tidak dapat dikreditkan. Apabila dihubungkan dengan alasan permohonan uji materi di atas, kondisi ini tidak menguntungkan untuk produsen LNG pola hilir.
Harga jual LNG dipengaruhi harga pasar dan kontrak jangka panjang. Dengan pembebasan PPN atas LNG, pajak masukan produksi LNG kembali menjadi biaya dan membuat margin keuntungan lebih rendah.
Selain itu, produsen LNG ini harus bersaing dengan produsen LNG asing yang impor LNG-nya mendapat fasilitas bebas PPN. Hal ini akan memberatkan industri LNG pola hilir.
Pola Hulu vs Hilir
KEGIATAN mengambil migas (upstream) dan mengolahnya menjadi bahan lain (dowstream) dalam satu rantai produksi pada industri LNG pola hulu membuat pola ini kurang ekonomis dan kompetitif.
Biaya pemrosesan gas alam dari kegiatan menjadi LNG yang dilakukan KKKS harus ditanggung sebagian sesuai dengan proporsi kontrak oleh negara dalam bentuk cost recovery.
Padahal, kerap terjadi perbedaan pendapat antara pemerintah dan KKKS atas biaya yang dijadikan cost recovery. Di samping itu, pemerintah akan kehilangan potensi PPN atas pajak masukan untuk kegiatan produksi LNG dari proses perubahan gas alam menjadi LNG di industri LNG pola hulu.
Dalam kontrak bagi hasil produksi antara pemerintah dan KKKS, terdapat prinsip assume and discharge yang berarti seluruh PPN akan dikembalikan negara kepada KKKS dalam bentuk reimbursement.
Adapun pada industri LNG pola hilir, seluruh PPN pajak masukan harus dibayar produsen LNG dan menjadi penerimaan untuk negara serta tidak dapat dijadikan kredit pajak.
Dengan keunggulannya, industri LNG pola hilir harus terus didorong. Pemerintah perlu memformulasikan insentif tambahan kepada industri LNG pola hilir sehingga membuat investor tertarik mengembangkan industri LNG pola hilir ke depan.
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.