PERSPEKTIF

Memaknai Restitusi PPN

Darussalam
Minggu, 01 April 2018 | 22.45 WIB
ddtc-loaderMemaknai Restitusi PPN
Managing Partner DDTC

DALAM praktik, restitusi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sering menjadi momok dan persoalan antara otoritas pajak dan wajib pajak. Oleh karena itu, menarik untuk mengurai persoalan restitusi PPN ke akar permasalahannya. Yaitu, mengingatkan kembali bahwa restitusi merupakan konsekuensi logis dari sistem PPN yang kita anut sebagai pajak atas konsumsi untuk menggantikan Pajak Penjualan (PPn).

PPN sebagai Ranah Pajak Konsumsi

Kata konsumsi, dalam konteks PPN sebagai pajak konsumsi, seperti dinyatakan oleh Ad von Doesum dan Gert-Jan van Norden (2011), merujuk pada konsumsi pribadi (private consumption) yang dilakukan oleh konsumen akhir. Artinya, yang menanggung beban PPN adalah konsumen akhir. Adapun mekanisme pengenaannya melalui pemungutan oleh pihak lain yang ditunjuk oleh undang-undang.

Pengusaha Kena Pajak (PKP) adalah pihak yang diberi tanggung jawab untuk melakukan pemungutan PPN atas penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP). Sepanjang PKP tersebut tidak melakukan konsumsi BKP dan/atau JKP maka PKP tersebut bukan pihak yang dimaksudkan menanggung beban PPN. Untuk memastikan bahwa PPN tidak ditanggung oleh PKP, diterapkanlah metode pengkreditan pajak masukan terhadap pajak keluaran sebagai salah satu metode pengenaan PPN (metode PK-PM).

Melalui metode ini, PKP yang berkewajiban untuk memungut pajak keluaran atas penyerahan BKP dan/atau JKP yang dilakukannya, mempunyai hak untuk mengkreditkan pajak masukan yang dibayarkannya atas perolehan BKP dan/atau JKP yang digunakan dalam rangka menjalankan kegiatan usahanya. Hak untuk mengkreditkan inilah yang menjamin PKP bukan sebagai pihak yang menanggung beban PPN. Inilah yang dimaksud dengan netralitas dalam konsep PPN, yang mana PKP hanya menyetorkan selisih lebih pajak keluaran terhadap pajak masukan (Herbain, 2013).

Terdapat kemungkinan dalam suatu masa pajak, pajak masukan ternyata lebih besar daripada pajak keluaran. Terutama, bagi PKP yang melakukan kegiatan ekspor. Kelebihan pajak masukan ini adalah hak PKP yang wajib dikembalikan oleh negara. Oleh karena itu, ketika kelebihan ini terjadi, hak PKP untuk meminta kembali kelebihan pajak masukan tersebut seketika muncul.

Dalam sistem PPN secara umum, terdapat tiga metode yang dapat digunakan dalam pengembalian kelebihan pembayaran pajak masukan. Salah satunya melalui restitusi. Lantas, bagaimana prinsip dan praktik pengembalian kelebihan pembayaran pajak masukan melalui restitusi harus diberikan?

Prinsip dan Praktik Restitusi

Secara prinsip, restitusi harus diberikan segera begitu pembayaran pajak telah diterima oleh otoritas pajak (Juan de la Cruz Higuera Ornelas,  2017). Para Ahli PPN sepakat mengenai hal ini. Tait secara eksplisit menyatakan bahwa untuk menjaga netralitas PPN, semua kelebihan pajak masukan atas pajak keluaran harus segera dikembalikan (Tait, 1988).

Hal serupa juga diungkapkan oleh Schenk dan Oldman (2007) bahwa sistem PPN yang terstruktur dengan baik adalah sistem PPN yang memberikan hak kepada PKP untuk mendapatkan kembali kelebihan pajak masukannya segera setelah munculnya kelebihan tersebut. Sementara itu, Liam Ebril dkk (2001), menyatakan bahwa restitusi harus segera dibayarkan setelah kelebihan pajak masukan muncul, tanpa memperhatikan karakteristik kegiatan usaha dari PKP atau kondisi lainnya yang menimbulkan kelebihan pembayaran pajak masukan tersebut.

Inilah yang mendorong banyak negara, terutama negara maju, untuk melakukan pembayaran atas klaim restitusi dalam waktu empat minggu setelah pengajuan. Bahkan di Luksemburg, meskipun tidak mengatur batas waktu pengembalian kelebihan pajak masukan, Pengadilan Pajak di negara ini menyatakan bahwa penyelesaian proses klaim restitusi harus dilakukan tidak lebih dari dua bulan (Herbain, 2013).

Akan tetapi, di beberapa negara, restitusi seringkali memerlukan waktu berbulan-bulan, bahkan lebih dari satu tahun. Restitusi telah menjadi persoalan antara otoritas pajak, terutama dalam kasus penundaan pembayaran restitusi dikarenakan adanya pemeriksaan (Walpole, 214). Padahal menurut The European Court Justice (ECJ), fakta bahwa PKP telah menjalankan kewajibannya untuk memungut PPN atas transaksi yang dilakukannya sudah cukup untuk menyimpulkan bahwa telah terdapat beban PPN yang ditanggung oleh PKP sehingga ia berhak meminta pengembalian atas kelebihan yang terjadi (Tzenova, 2014).

Pengembalian kelebihan pembayaran pajak seharusnya merupakan proses yang terjadi secara otomatis sehingga pemeriksaan atau proses administrasi lainnya seharusnya tidak menghambat proses restitusi. Turki merupakan salah satu negara yang telah menerapkan prosedur pengembalian kelebihan pajak masukan yang sederhana. Bahkan di negara ini, pemberian restitusi sampai dengan 4 (empat) miliar TRY dilakukan tanpa melalui pemeriksaan ataupun jaminan tertentu (Soydan, 2002).

Administrasi atas restitusi merupakan permasalahan yang sering dialami. Pada sebagian besar negara, telah terdapat kerangka konseptual secara legal dan administratif mengenai proses administrasi restitusi. Namun demikian, regulasi yang telah dicanangkan tersebut memberikan jangka waktu yang umumnya cukup panjang bagi pemerintah untuk membayar klaim restitusi yang diajukan oleh wajib pajak (de Jantscher, 1986). Salah satu alasannya, sebagaimana dikutip dari Grandcolas (2005), umumnya pemerintah menganggap bahwa mereka memiliki kuasa untuk menunda pembayaran restitusi dikarenakan dana tersebut dapat digunakan sementara untuk membiayai anggaran pemerintahan.

Penundaan pembayaran dalam proses restitusi biasanya terjadi ketika anggaran negara berada dibawah tekanan dan saat target pajak tidak terpenuhi. Hal ini terjadi ketika otoritas pajak tidak memiliki sistem proyeksi dan monitoring restitusi yang kredibel. Akibatnya, pemerintah kerap tidak menyisihkan dana yang cukup untuk memenuhi klaim restitusi tersebut (Harrison dan Krelove, 2005). Ditambah lagi, tidak ada bunga yang harus dibayarkan otoritas pajak atas keterlambatan pembayaran restitusi (Switata, 2008).

Tanpa adanya kebijakan efektif terhadap kelebihan pajak masukan, pemungutan PPN dapat mendistorsi aktivitas bisnis secara signifikan (Grandcolas, 2005). Untuk menghindari hal tersebut, Belanda dan Selandia Baru sebagai contoh, membayar klaim restitusi dalam jangka waktu yang telah ditentukan, umumnya 30 hari (Harrison dan Krelove, 2005).

Undang-undang PPN juga mengharuskan adanya pemberian imbalan atas jumlah PPN yang tidak dikembalikan dalam jangka waktu yang wajar sebagai alat untuk menegakkan disiplin bagi administrasi pajak. Beberapa negara seperti Afrika Selatan, Singapura, UK, dan Belanda, juga telah menetapkan bunga atas keterlambatan pembayaran klaim restitusi oleh pemerintah. Harrison dan Krelove (2015), mengungkapkan bahwa kelebihan pajak masukan yang tidak segera dikembalikan sama artinya pemerintah berutang kepada wajib pajak.

Penutup

Pengembalian kelebihan pajak masukan atas pajak keluaran, harus segera mungkin dikembalikan. Menunda proses kompensasi atau pemberian restitusi sama saja mencederai prinsip PPN sebagai pajak atas konsumsi. 

Tidak seharusnya proses pemeriksaan ataupun prosedur administrasi lainnya menjadi alasan untuk menunda restitusi PPN. Karena, sekali lagi, restitusi merupakan konsekuensi logis dari penerapan PPN sebagai pajak atas konsumsi.Selain itu, apabila terdapat penolakan atas klaim restitusi yang sah, pada hakikatnya telah mengubah makna PPN sebagai pajak atas konsumsi menjadi pajak atas penjualan.

Editor :
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.