Ilustrasi. (oecd.org)
GLOBALISASI telah membuat aktivitas ekonomi lintas jurisdiksi kian meningkat, sehingga interaksi sistem pajak antarnegara menjadi tak terelakkan. Masalahnya, globalisasi tak diiringi konvergensi di bidang pajak karena masing-masing negara memiliki kedaulatan sendiri dalam merumuskan kebijakan perpajakannya.
Akibatnya, globalisasi memiliki efek samping berupa bocornya basis pemajakan suatu negara. Kebocoran ini setidaknya bersumber dari tiga hal, yakni melalui kompetisi pajak, penggelapan pajak ke luar negeri (offshore tax evasion) dan pengalihan laba (base erosion and profit shifiting/ BEPS) (Cobham, 2005).
Praktik BEPS sendiri terjadi akibat ketidakterpaduan sistem pajak antarnegara serta usangnya konsensus internasional atas alokasi hak pemajakan. Perusahaan multinasional lalu memanfaatkan situasi itu untuk menghindari pajak dalam rangka mengoptimalkan keuntungannya secara global.
Skema yang dilakukan bisa melalui manipulasi transfer pricing, menahan pembagian dividen, hingga hybrid financial instrument. Menurut estimasi OECD (2015), kerugian global akibat praktik BEPS ini berkisar 4%-10% dari penerimaan PPh badan global atau mencapai US$240 miliar per tahun.
Tentu, banyak negara menyadari dampak buruk BEPS.Tidak heran jika kini kebijakan anti penghindaran pajak adalah elemen penting desain kebijakan pajak. Namun, praktiknya tak banyak yang bisa dilakukan. Rangkaian upaya untuk mencegah BEPS berjalan sendiri-sendiri, dan akhirnya tidak efektif.
Padahal. isu penggerusan pajak ini para hakikatnya membutuhkan solusi global, yang dapat dilaksanakan oleh seluruh negara di dunia. Karena itu, aksi global ini juga membutuhkan kerja sama kuat antarnegara, baik itu negara maju maupun negara berkembang.
Hal inilah yang lantas coba dijawab Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) serta kelompok negara G2O melalui BEPS Action Plan 1-15 guna menangkal segala persoalan yang terkait dengan praktik pengalihan laba dan pengerusan basis pajak.
Indonesia sebagai anggota G20 otomatis ikut menyetujui rangkaian aksi tersebut untuk diterapkan baik dalam ketentuan domestik maupun bilateral (P3B). Namun, rangkaian aksi itu tentu tidak serta merta dapat direspons dan dilaksanakan sekaligus, bahkan harus dikaji dahulu relevansinya bagi Indonesia.
Hal ini juga tampak pada respons negara-negara lain. India misalnya, justru tidak banyak menerbitkan aturan yang berkaitan dengan aksi BEPS. Fokus India lebih kepada aksi 1 tentang ekonomi digital, karena menyadari bahwa negaranya merupakan pasar yang besar untuk produk ekonomi digital (UN, 2015).
Adapun, Afrika memilih untuk mengorganisir terlebih dahulu lembaga regional seperti African Tax Administration Forum (ATAF) guna mengkaji relevansi penerapan aksi BEPS (Oguttu, 2015). Artinya, implementasi aksi BEPS membutuhkan kajian agar tindakan yang diambil menjadi relevan dan rasional.
Dengan kata lain, solusi mengatasi BEPS harus tetap disesuaikan dengan kebutuhan negara bersangkutan, yaitu dengan mempertimbangkan situasi sistem perpajakan dan sumber daya administrasi yang tersedia dalam menangani persoalan tersebut.
Hal ini sangat penting mengingat masih banyak pekerjaan rumah untuk memperbaiki sistem perpajakan nasional. Artinya, perlu keseimbangan antara upaya mengatasi persoalan pajak global, baik kompetisi pajak, offshore tax evasion, maupun praktik BEPS, dengan pembenahan fundamental pajak di Indonesia.
Untuk itu, kajian kebijakan perpajakan internasional dan dampaknya terhadap penerimaan pajak nasional perlu lebih didorong. Hal ini dimaksudkan agar Indonesia tidak berjalan ke kancah globalisasi dan pajak internasional tanpa suatu tuntunan dan arah, dengan risiko terpapar kerugian yang lebih besar.
Tidak lupa, penguatan lembaga otoritas pajak serta tetap fokus pada agenda reformasi perpajakan yang telah direncanakan merupakan esensi dasar dalam memerangi praktik penggerusan basis pajak, sekaligus untuk menjaga komitmen pemerintah dalam membiayai pembangunan negara.*
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.