BERITA PAJAK HARI INI

DJP: Pengembalian Pembayaran Pajak Hingga Maret 2024 Rp83,51 triliun

Redaksi DDTCNews
Kamis, 02 Mei 2024 | 09.00 WIB
DJP: Pengembalian Pembayaran Pajak Hingga Maret 2024 Rp83,51 triliun

Ilustrasi.

JAKARTA, DDTCNews – Realisasi pengembalian pembayaran (restitusi) pajak pada kuartal I/2024 mengalami kenaikan hampir 100% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Topik tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Kamis (2/5/2024).

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak (DJP) Dwi Astuti mengatakan secara agregat, total realisasi restitusi sampai dengan 31 Maret 2024 senilai Rp83,51 triliun. Nilai realisasi itu mengalami kenaikan 96,72% (year on year/yoy).

“Kenaikan realisasi restitusi secara agregat merupakan dampak dari moderasi harga komoditas secara umum,” katanya.

Dwi mengatakan selain dampak dari moderasi harga komoditas, ada faktor batas waktu pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan bagi wajib pajak orang pribadi pada Maret 2024. Faktor ini turut berdampak pada peningkatan klaim restitusi PPh.

Selain mengenai restitusi pajak, ada pula ulasan terkait dengan pelaporan SPT Tahunan PPh. Kemudian, ada pula bahasan tentang penetapan besarnya angsuran PPh Pasal 25.

Berikut ulasan berita perpajakan selengkapnya.

Restitusi Normal Naik Paling Tinggi

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Dwi Astuti mengatakan dilihat dari sumbernya, restitusi normal dan dipercepat mengalami kenaikan. Sementara itu, restitusi upaya hukum justru mengalami penurunan.

Perinciannya, pertama, restitusi normal senilai Rp44,44 triliun atau naik 184,44% (yoy). Kedua, restitusi dipercepat senilai Rp34,33 triliun atau naik 60,36%. Ketiga, restitusi upaya hukum senilai Rp4,74 triliun atau turun 12,52%.

Dari jumlah restitusi pada kuartal I/2024 senilai Rp83,51 triliun tersebut, restitusi PPN dalam negeri tercatat paling besar, yakni senilai Rp71,30 triliun atau naik 101,32%. Kemudian, ada restitusi PPh Pasal 25/29 badan senilai Rp11,04 triliun atau naik 101,15%. (DDTCNews)

Barang Kiriman Hasil Perdagangan

Melalui Ditjen Bea dan Cukai (DJBC), pemerintah membedakan barang kiriman antara dari hasil perdagangan dan selain hasil perdagangan (nonperdagangan). Perbedaan antara keduanya telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 96/2023.

Berdasarkan beleid tersebut, kriteria barang kiriman hasil transaksi perdagangan meliputi tetapi tidak terbatas pada 3 kriteria. Pertama, barang kiriman merupakan hasil transaksi perdagangan melalui Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE).

Kedua, penerima barang dan/atau pengirim barang merupakan badan usaha. Ketiga, terdapat bukti transaksi berupa invoice atau dokumen sejenis lainnya. Jika memenuhi salah satu atau beberapa dari kriteria itu, barang kiriman akan dikategorikan sebagai barang hasil perdagangan. (DDTCNews)

Pelaporan SPT Tahunan PPh Badan

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Dwi Astuti mengatakan hingga 30 April 2024 pukul 05.55 WIB, jumlah wajib pajak badan yang sudah menyampaikan SPT Tahunan PPh sebanyak 832.600 perusahaan

“Angka ini mencapai rasio kepatuhan 40,42% dari total wajib pajak wajib SPT badan tahun 2024,” ujar Dwi. (Bisnis Indonesia)

Penelitian Komprehensif

Kantor pelayanan pajak (KPP) akan memulai penelitian komprehensif atas wajib pajak strategis setelah berakhirnya masa penyampaian SPT Tahunan. Penelitian komprehensif dilakukan untuk memastikan kepatuhan material pada tahun pajak sebelum tahun berjalan.

"Penelitian komprehensif suatu tahun pajak dilakukan setelah wajib pajak menyampaikan SPT Tahunan PPh atau setelah berakhirnya batas waktu pelaporan SPT Tahunan PPh sesuai dengan ketentuan perpajakan," bunyi SE-05/PJ/2022. (DDTCNews)

Angsuran PPh Pasal 25

Dirjen pajak memiliki kewenangan untuk menetapkan penghitungan besarnya angsuran PPh Pasal 25 pada tahun pajak berjalan dalam hal‐hal tertentu.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 25 ayat (6) UU PPh, hal-hal tertentu yang dimaksud antara lain, pertama, wajib pajak berhak atas kompensasi kerugian. Kedua, wajib pajak memperoleh penghasilan tidak teratur.

Ketiga, Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh tahun yang lalu disampaikan setelah lewat batas waktu yang ditentukan. Keempat, wajib pajak diberikan perpanjangan jangka waktu penyampaian SPT Tahunan PPh.

Kelima, wajib pajak membetulkan sendiri SPT Tahunan PPh yang mengakibatkan angsuran bulanan lebih besar dari angsuran bulanan sebelum pembetulan. Keenam, terjadi perubahan keadaan usaha atau kegiatan wajib pajak. Simak ulasan tentang angsuran PPh Pasal 25 di sini. (DDTCNews) (kaw)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.