Alm. Marie Muhammad, mantan Dirjen Pajak (1988-1993) dan Menteri Keuangan (1993-1998).
JAKARTA, DDTCNews - Otoritas pajak di berbagai negara telah melibatkan penyedia marketplace untuk memungut pajak dari para wajib pajak yang berdagang di marketplace.
Director of DDTC Fiscal Research and Advisory B. Bawono Kristiaji menilai pelibatan marketplace dapat menjadi salah satu cara untuk mengatasi shadow economy.
"Selama ini batu sandungan paling besar dari penerimaan pajak kita adalah shadow economy. Di sini shadow economy bukan berarti sesuatu yang ilegal, tetapi juga bisa saja bersifat legal tetapi saat ini tidak terdeteksi atau tidak masuk dalam radar otoritas," ujar Bawono dalam talkshow Arah Angin yang disiarkan oleh TVRI, Rabu (2/7/2025).
Pada praktiknya di banyak negara, setidaknya terdapat 3 bentuk pelibatan penyedia marketplace dalam pemungutan pajak. Bentuk pelibatan dimaksud antara lain, pertama, melibatkan penyedia marketplace untuk melakukan sosialisasi guna meningkatkan kepatuhan.
Kedua, mewajibkan penyedia marketplace untuk mengumpulkan data perpajakan lalu memberikannya kepada otoritas pajak. Ketiga, mewajibkan penyedia marketplace untuk memungut pajak atas transaksi perdagangan melalui marketplace dimaksud.
Dari ketiga skema tersebut, wajib pajak akan cenderung lebih patuh dalam membayar pajak ketika penyedia marketplace ditunjuk sebagai pemungut dan diwajibkan untuk memungut pajak atas transaksi jual beli barang melalui marketplace.
Namun, sebelum Indonesia memilih untuk mewajibkan penyedia marketplace untuk memungut PPh Pasal 22, ada baiknya bagi pemerintah untuk melakukan kajian atas perilaku pedagang di marketplace. "Kita perlu mempelajari behaviour dari pelapak. Misal, berapa rata-rata omzetnya? Apakah mereka terbiasa berdagang multiple platform? Ini penting untuk menjamin efektivitas dari PPh Pasal 22-nya ketika ini diterapkan," ujar Bawono.
Tak hanya itu, pemerintah juga perlu memberikan penjelasan lebih lanjut terkait desain kebijakan pemungutan PPh Pasal 22 oleh penyedia marketplace.
Bawono mengatakan pemerintah perlu memberikan penegasan mengenai PPh Pasal 22 yang bakal dipungut marketplace dan PPh final UMKM yang sudah diterapkan saat ini. Penegasan diperlukan agar tidak timbul pemajakan berganda.
"Apakah PPh Pasal 22 ini bersifat menggantikan atau diterapkan bersama-sama? Jadi dia dikenakan PPh final tetapi juga ada pemungutan PPh Pasal 22. Kalau ini yang terjadi, betul ada kemungkinan double tax," ujar Bawono.
Namun demikian, bila PPh Pasal 22 yang dipungut oleh marketplace bisa diklaim oleh wajib pajak sebagai pengurang PPh final yang harus dibayar, pemajakan berganda tidak timbul.
Pemerintah perlu memberikan penjelasan mengenai hubungan antara PPh Pasal 22 yang dipungut marketplace dan PPh final UMKM mengingat hingga saat ini pemerintah tidak mencabut rezim PPh dengan tarif 0,5% khusus untuk UMKM tersebut.
"Jadi ibaratnya masih ada 2 sistem yang berjalan beriringan. Bagaimana penerapannya di lapangan? Ini mungkin yang kita perlu tahu mengenai desainnya," ujar Bawono.
Menanggapi potensi adanya pemajakan berganda tersebut, Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Humas DJP Rosmauli mengatakan pemungutan PPh Pasal 22 tidak akan menimbulkan pemajakan berganda bagi pelaku UMKM.
"Kita selalu menghindari pemajakan berganda, apalagi pajak dalam negeri," ujar Rosmauli.
Rosmauli mengatakan PPh Pasal 22 yang dipungut oleh penyedia marketplace merupakan kredit pajak bagi wajib pajak yang dipungut.
"Kalau dia usahanya online dan offline lalu omzetnya di atas Rp500 juta, memang dia hitung PPh final 0,5%. Ketika dihitung lagi ada pajak yang kurang dibayar, ini menjadi kredit pajak dari keseluruhan pajak yang harus dia bayar," ujar Rosmauli.
Rosmauli pun mengatakan peranan penyedia marketplace diperlukan untuk meningkatkan kepatuhan para pedagang di marketplace. Dengan penunjukan marketplace sebagai pemungut PPh Pasal 22, wajib pajak akan dibantu oleh penyedia marketplace dalam melaksanakan kewajiban pajak.
"Kita mau membantu para pelaku usaha. Pemerintah dalam hal ini berusaha meningkatkan kepatuhan para pelaku usaha dengan cara memberikan sarana dipungut oleh marketplace. Marketplace adalah perpanjangan tangan pemerintah, mitra DJP dalam melakukan pemungutan," ujar Rosmauli.
Terlepas dari potensi adanya pemajakan berganda di atas, Bawono mengatakan pekerjaan rumah terbesar pemerintah bersama penyedia marketplace adalah memberikan edukasi kepada pelaku usaha atau merchant di marketplace.
Merujuk pada data Badan Pusat Statistik (BPS), sekitar 85% pedagang di marketplace memiliki omzet di bawah Rp300 juta. Tak hanya itu, kebanyakan di antara mereka mengaku tidak memiliki pemahaman soal pajak.
Berkaca pada kondisi ini, Bawono mengatakan regulasi pemungutan PPh Pasal 22 oleh penyedia marketplace perlu memberikan kejelasan kepada mereka yang berdagang melalui marketplace.
"Kita berhadapan dengan pihak-pihak yang mungkin selama ini tidak melek pajak. Menurut saya, yang paling penting adalah menggandeng platform marketplace. Ini akan lebih efektif. Kalau DJP jalan sendiri, platform jalan sendiri, ini jadi agak sulit. Lebih baik digandeng agar bagaimana ekosistem dan melek pajaknya terbangun," ujar Bawono.
Kepala Bidang Perpajakan Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) Daniel William Legawa pun mengatakan pihaknya selaku asosiasi siap mematuhi kebijakan dan regulasi yang ditetapkan oleh pemerintah.
Daniel mengatakan pihaknya bersedia untuk duduk bersama DJP guna merumuskan kebijakan yang tepat untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak yang berdagang melalui marketplace.
"Kami sangat mengapresiasi atas waktu untuk berdiskusi dan memberikan masukan kepada DJP serta melakukan review dan tinjau bersama waktu yang paling pas untuk diterapkan," ujar Daniel.
Dalam hal pemerintah benar-benar menunjuk penyedia marketplace sebagai pemungut PPh Pasal 22, Daniel mengatakan pihaknya membutuhkan waktu selama setidaknya 2 tahun untuk melakukan sosialisasi dan edukasi kepada pedagang.
"Kami selaku marketplace membawahi puluhan juta pedagang. Ini tidak bisa sebentar saja. Kami butuh jangka waktu untuk menyesuaikan, campaign, dan sosialisasi. Waktunya tidak bisa sekejap saja. Di sini waktu dan timing sangat penting dari nanti ditetapkan sampai berlakunya," ujar Daniel. (dik)