LOMBA MENULIS ARTIKEL PAJAK 2018

Kebijakan Pajak Siapa yang Lebih Baik untuk Rakyat?

Redaksi DDTCNews
Selasa, 01 Januari 2019 | 17.24 WIB
ddtc-loaderKebijakan Pajak Siapa yang Lebih Baik untuk Rakyat?
Hasbi Asshiddiqi,
 S1 Hubungan Internasional Fisip Universitas Mataram.

MEMASUKI 2019, masyarakat Indonesia menuju klimaks kontestasi politik tertingginya, yaitu pemilihan presiden dan wakil presiden. Para kandidat berlomba merebut hati rakyat dengan proposal kebijakannya masing-masing. Pemilihan umum (pemilu) kali ini mempertemukan ruling power dan raising power.

Ruling power adalah petahana yang sedang berkuasa dan berusaha mempertahankan posisinya, yaitu Presiden Joko Widodo. Sebagai lawan tandingnya, Prabowo Subianto muncul sebagai raising power, yakni pihak yang sedang menggalang kekuatan untuk memperoleh kekuasaan dan mengambil posisi kepala negara.

Untuk kembali mendapatkan kepercayaan rakyat, kubu Presiden Joko Widodo sebagai calon petahana menjual prestasi kerjanya serta menawarkan keberlanjutan dan mengembangkan apa yang sudah berjalan. Sementara itu, Prabowo Subianto sebagai pihak penantang, harus menemukan kekurangan pemerintah sebanyak mungkin untuk dijadikan alasan perlunya penggantian presiden. Selain menawarkan perubahan, kubu Prabowo dituntut untuk menawarkan program yang berbeda dengan pemerintah.

Salah satu perbedaan yang paling penting untuk disoroti adalah tawaran kebijakan fiskal terutama dalam perpajakan. Bagaimanapun, perpajakan menyumbang hingga 85% dari total penerimaan negara. Sumber penerimaan ini krusial untuk mendanai pembangunan yang berujung pada keinginan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.

Mengingat pentingnya pajak maka setiap orang yang membahas, mengurus, apalagi mengatur kebijakan pajak harus memahami arti pajak. Guru Besar Pajak Professor Rochmat mengartikan pajak sebagai iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.  

Sementara, menurut Undang-Undang Nomor 16/2009, pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Dari kedua definisi di atas, dapat kita tarik tiga poin utama. Pertama, bersifat memaksa. Kita bisa mengartikan bahwa pemerintah harus mengoptimalkan pemasukan negara lewat pajak sesuai potensi yang ada. Kedua, digunakan untuk pengeluaran umum. Pajak harus dikelola dengan baik dan tepat sasaran, sehingga tujuan pembangunan tercapai. Ketiga, untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Ini sebagai tujuan akhir pajak itu sendiri.

Tiga poin tersebut dapat kita konversi menjadi indikator untuk menganalisis kebijakan perpajakan yang ditawarkan dua calon presiden periode 2019-2024. Tiga indikator tersebut adalah penerimaan, pengelolaan, dan kebermanfaatan. Hal tersebut dapat menjadi acuan untuk mengukur tawaran kandidat mana yang lebih baik untuk rakyat, Jokowi atau Prabowo.

Kebijakan pajak yang ditawarkan kubu petahana setidaknya difokusnya pada dua aspek, yaitu reformasi perpajakan dan upaya meringankan beban pajak bagi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Reformasi perpajakan ditujukan untuk membuat regulasi dan institusi perpajakan menjadi lebih baik sehingga mendorong penerimaan dan menjadikan pengelolaan lebih baik.

Contoh konkret yang digagas Presiden Joko Widodo adalah ide pembentukan Badan Penerimaan Negara agar pengaturan dan pengelolaan pajak lebih independen. Dari sisi kebermanfaatan bagi rakyat, reformasi perpajakan yang berhasil meningkatkan pemasukan negara akan berkorelasi positif pada ketersediaan dana untuk membiayai pembangunan dan mempersempit kesenjangan.

Terkait dengan keringanan pajak UMKM, pelaku usaha bisa berfokus ke peningkatan daya saing. Kritik yang terhadap performa pajak di bawah kebijakan Presiden Joko Widodo saat ini yaitu rasio pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) yang dianggap masih rendah. Hal ini juga yang menjadi target pemerintahan petahana jika terpilih kembali, yaitu meningkatkan tax ratio.

Di lain sisi, kebijakan pajak yang di tawarkan kubu Prabowo Subianto paling tidak bisa dirangkum atas dua aspek. Pertama, kebijakan yang bersifat lebih populis atau yang bersifat ingin membantu masyarakat kelas bawah. Contoh tawaran kebijakan ini adalah penghapusan pajak kendaraan dan pajak bangunan serta meningkatkan batas penghasilan tidak kena pajak (PTKP).

Dari segi penerimaan, pengelolaan, dan kebermanfaatan, sebagaimana dijelaskan tadi, tujuan model kebijakan seperti ini yaitu agar beban pengeluaran masyarakat berkurang. Dengan demikian, akan tersedia sisa uang lebih bagi masyarakat. Sisa uang lebih ini diharapkan akan dipakai untuk belanja sehingga daya beli meningkat. Saat banyak orang membeli, maka produksi akan meningkat. Untuk meningkatkan produksi maka akan diperlukan tenaga kerja yang lebih banyak sehingga ada potensi pengurangan tingkat pengangguran.

Penerimaan negara akan dimaksimalkan lewat pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak yang disetor badan usaha. Kritik untuk model kebijakan ini yaitu kita tidak tahu seberapa signifikan dampaknya untuk pertumbuhan ekonomi. Skenario tadi bisa saja tidak berjalan di kenyataan, sedangkan jumlah potensi pemasukan negara yang dipertaruhkan atau dikorbankan akan sangat besar.

Kedua, kebijakan menurunkan tarif pajak penghasilan (PPh) badan usaha, bahkan menyamai Singapura. Tujuan tawaran kebijakan ini adalah agar badan usaha menjadi lebih kompetitif dan investasi yang masuk bisa meningkat. Namun, Guru Besar Pajak Professor Haula Rosdiana pernah menyampaikan insentif pajak untuk stimulus ekonomi masyarakat dan meningkatkan investasi kadang manis secara teori. Efek domino yang diharapkan belum tentu terjadi. Beberapa riset menunjukkan belum ditemukan efek yang jelas terhadap insentif pajak dan peningkatan investasi.

Kebijakan pajak yang ditawarkan dua calon presiden telah ditimbang kelebihan dan kekurangannya. Dari penilaian terhadap dua model kebijakan yang ditawarkan Jokowi dan Prabowo di atas, pada akhirnya yang akan menjadi juri utama adalah rakyat sendiri. Untuk menilai siapa yang lebih baik, indikatornya telah ada. Sekarang, tinggal bagaimana masyarakat memilih sesuai pertimbangannya masing-masing.*

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.