Muhammad Ikbal,
AKHIR Juni lalu, pemerintah melalui Ditjen Pajak (DJP) gencar mengedukasi wajib pajak terkait pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) atas sembako dan jasa pendidikan. Lewat surat elektronik, pemerintah menegaskan sejumlah poin penting terkait usulan perubahan pemungutan PPN.
Pertama, usulan pengurangan berbagai fasilitas PPN yang selama ini tidak tepat sasaran dan memunculkan distorsi. Kedua, usulan pengenaan skema PPN multitarif. Ketiga, usulan pengenaan PPN final untuk tujuan kesederhanaan dan kemudahan transaksi.
Tidak salah bila dikatakan penerimaan dari pos PPN merupakan penerimaan pajak antiresesi. Menjadi hal yang wajar bila pemerintah serius menggarapnya. Setidaknya terdapat 2 alasan yang mendasari kondisi dan langkah tersebut.
Pertama, PPN sebagai pajak konsumsi. Konsumsi akan tetap dan terus ada sepanjang manusia hidup. Kedua, PPN sebagai pajak tidak langsung. Pihak pemikul beban PPN (konsumen) dan pemungut PPN (penjual) merupakan dua pihak yang berbeda.
Ketiga wacana pembenahan ketentuan PPN perlu diapresiasi. Wacana itu menjadi bukti pemerintah sedang memperhatikan setoran PPN. Untuk membenahi hal tersebut tentu perlu merevisi UU PPN secara komprehensif sehingga butuh waktu tidak sebentar.
Profesor Daniel S. Goldberg dari University of Maryland Francis King Carey School of Law dalam bukunya berjudul The Death of the Income Tax: A Progressive Consumption Tax and the Path to Fiscal Reform juga menyentak pemikiran para pembuat kebijakan pajak.
Goldberg menyatakan bahwa pajak penghasilan (PPh) saat ini sangat rumit dan kompleks. Pengenaannya mengandung insentif yang merugikan terhadap tabungan dan investasi. Kemudian, ada kegagalan dalam pemanfaatan teknologi modern untuk meringankan beban kepatuhan dan penagihan.
Untuk itu, sudah sepantasnya PPN lebih diprioritaskan guna menyiasati penerimaan PPh yang tidak begitu bagus saat terjadi pandemi. Hal ini dikarenakan penghasilan merepresentasikan kemampuan potensial untuk melakukan konsumsi (potential buying power), sedangkan konsumsi mencerminkan realisasinya.
Menurut penulis, sebenarnya ada jurus ampuh guna menggenjot penerimaan pajak secara singkat tanpa harus menunggu revisi UU PPN. Jurus ampuh tersebut adalah melakukan intensifikasi objek PPN. Penulis mencermati banyak jasa kena pajak (JKP) yang selama ini belum tergali secara optimal.
SETIDAKNYAÂ ada 3 JKP yang dapat menjadi sumber penerimaan PPN. Pertama, jasa makelar properti. Sebagaimana diketahui, kebutuhan akan tempat tinggal/properti baik jual-beli maupun sewa-menyewa tidak ada hilang sepanjang keberadaan manusia.
Berbagai strategi marketing digencarkan pada masa pandemi, seperti program virtual tour dengan melibatkan selebgram, youtuber, key opinion leader (KOL), atau influencer lain produknya bisa dikomunikasikan kepada konsumen.
Tentu saja peredaran usaha jasa perantara atau makelar properti dalam setahun bisa mencapai Rp4,8 miliar sehingga dapat dikukuhkan menjadi pengusaha kena pajak (PKP). Alhasil, ada pemungutan PPN yang bisa dieksekusi.
Sebagaimana diketahui, Pasal 4 ayat (1) PMK 197/2013 menyatakan pengusaha melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP, apabila sampai dengan suatu bulan dalam tahun buku jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya melebihi Rp4,8 miliar.
Untuk menggalang PPN dari jasa makelar properti, pemerintah bisa bekerja sama dengan notaris dan asosiasi pengusaha properti. Langkah awal dari pengenaan objek PPN ini sudah diinisiasi dengan terbitnya SE-40/PJ.6/2002 terkait dengan perekaman data transaksi properti. Namun, SE itu belum mengakomodasi data pembeli dan penjual sehingga perlu direvisi.
Kedua, jasa bantuan hukum. Konsultan hukum dan advokat merupakan profesi yang tergolong high risk high return. Setiap instansi pasti membutuhkan bantuan hukum, tidak terkecuali DJP. Melalui PER-11/PJ/2014, DJP sudah membentuk unit bantuan hukum pusat dan/atau unit bantuan hukum wilayah.
Untuk menggenjot penerimaan, tidak ada salahnya bila pemerintah mulai concern terhadap PPN atas jasa bantuan hukum. Untuk menjalankan pemungutan PPN atas jasa bantuan hukum, perlu adanya perlakuan khusus. Sama juga dengan jasa broker/makelar properti.
Penggunaan deemed pajak masukan menjadi solusi dalam menjalankan pemungutan PPN atas jasa ini. Skema tersebut serupa dengan pengenaan PPN atas kendaraan bermotor bekas yang menetapkan pengkreditan pajak masukannya sebesar 90% dari pajak keluaran.
Alhasil, dengan ketentuan terkait dengan kendaraan motor bekas tersebut, tarif PPN yang wajib disetor setiap masa pajak adalah sebesar 1% dari peredaran usaha per bulannya Hal ini sesuai dengan ketentuan pada Pasal 4 PMK 79/2010. Â
Terakhir, PPN jasa platform digital dalam perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE). Hingga kini, sudah ada 83 pemungut PPN produk digital PMSE. Penerimaan pajak yang sudah dikumpulkan hingga akhir Agustus 2021 senilai Rp2,5 triliun.
Jumlah tersebut tentu cukup besar. Apalagi, ada proyeksi positif pada masa mendatang dengan mulai menjamurnya platfom PMSE. Untuk itu, dibutuhkan peran dari aparat KPP terdaftar untuk terus mengedukasi dan mengawasinya.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2021. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-14 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp55 juta di sini.