SETELAH Periode Pajak Pembangunan I (PPb I), Periode Pajak Peredaran 1950 (PPe 1950), dan Periode Pajak Penjualan 1951 (PPn 1951), kelas pajak kali ini akan memberikan penjabaran mengenai Periode Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Periode ini merupakan bagian terakhir dari empat periode sejarah dan perkembangan pemungutan PPN di Indonesia.
Kebutuhan akan sistem pajak yang lebih modern sudah dirasakan sejak perekonomian Indonesia berkembang. Terlebih, adanya tekanan untuk meningkatkan penerimaan negara dalam rangka menunjang perekonomian di masa yang akan datang, membuat Pemerintah bertekad untuk mengadakan reformasi perpajakan (Tim Surabaya Post, 1986).
Pada akhir 1983, Pemerintah Indonesia mencanangkan reformasi perpajakan yang kedua setelah reformasi perpajakan 1970 sebagai langkah mengoptimalkan penerimaan pendapatan dari sektor pajak. Pada reformasi perpajakan 1983 ini, di samping diperkenalkannya prinsip self assessment dalam menghitung Pajak Penghasilan (PPh), juga terjadi perubahan terhadap PPn (Fuad Bawazier, 2011).
Perubahan terhadap PPn ini merupakan perubahan yang menyeluruh dan mendasar atas UU PPn. Alasannya, UU PPn dianggap tidak lagi memungkinkan untuk dapat memenuhi kebutuhan atau menampung aktivitas ekonomi masyarakat yang terus berkembang.
Sebetulnya, sebagai upaya menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman, UU PPn telah mengalami beberapa kali perubahan dan penambahan. Akan tetapi, hanya secara tambal sulam.
Selain itu, adanya tren penerapan pajak konsumsi dengan sistem PPN oleh negara-negara industri maupun negara berkembang selama dua puluh tahun terakhir, juga menjadi pemicu perubahan penerapan PPn menjadi PPN di Indonesia.
Untuk mencapai sasaran kebutuhan pembangunan yang dikehendaki, seperti meningkatkan penerimaan negara, mendorong ekspor, serta pemerataan beban pajak, sistem PPn dianggap perlu diganti.
Akan tetapi, penggantian sistem yang baru ini pada dasarnya dimaksudkan untuk menghilangkan sisi negatif dari sistem PPn yang selama ini berlaku, yaitu menghilangkan efek pajak atas pajak (cascading effect) dari penerapan PPn.
Atas dasar alasan-alasan tersebut di atas, UU PPn dianggap tidak dapat digunakan lagi untuk memenuhi kebutuhan dan diganti dengan sistem PPN yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Barang Mewah (UU PPN Nomor 8 Tahun 1983).
Alasan UU PPn tidak lagi sesuai dengan perkembangan perekonomian dan adanya tuntutan penerimaan negara yang semakin tinggi dinyatakan dalam Bagian Umum dari Penjelasan UU PPN Nomor 8 Tahun 1983 sebagai berikut:
“Sistem Perpajakan yang berlaku dewasa ini, khususnya Pajak Penjualan 1951, tidak lagi memadai untuk menampung kegiatan kegiatan masyarakat dan belum mencapai sasaran kebutuhan pembangunan, antara lain untuk meningkatkan penerimaan Negara, mendorong ekspor, dan pemerataan pembebanan pajak.” (dengan penambahan penekanan)
Dalam pelaksanaannya, UU PPN Nomor 8 Tahun 1983 ini diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1983 yang pada awalnya akan diberlakukan pada tanggal 1 Juli 1984. Namun, melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1984 (Perppu), pemerintah memutuskan untuk menangguhkan pelaksanaan UU PPN Nomor 8 Tahun 1983 menjadi selambat-lambatnya tanggal 1 Januari 1986.
Penangguhan masa berlakunya UU PPN Nomor 8 Tahun 1983, menurut penjelasan Perppu ini, disebabkan karena belum siapnya berbagai pihak yang bersangkutan untuk melaksanakan undang-undang tersebut mulai 1 Juli 1984. Penundaan ini dilakukan karena ketidaksiapan tersebut dikhawatirkan dapat menimbulkan gangguan yang dapat merugikan negara dan masyarakat.
Meskipun demikian, pelaksanaan UU PPN yang ditangguhkan selambat-lambatnya pada 1 Januari 1986, telah mulai diberlakukan pada 1 April 1985. Ketentuan tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1985 sebagai pengganti dari Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1983 (Soerjono Sastrohadikoesoemo, 2004).
Pada awal penerapannya, UU PPN Nomor 8 Tahun 1983 hanya mengatur secara langsung penjualan pertama dari Barang Kena Pajak (BKP). Transaksi lanjutan, dari distributor ke sub-distributor dan lanjutannya ke konsumen, pengenaan PPN-nya diatur oleh Peraturan Pemerintah.
Demikian pula jenis jasa yang dikenai PPN, pengaturannya juga dikembalikan ke Peraturan Pemerintah (Soerjono Sastrohadikoesoemo, 2004).
Dalam kurun waktu 35 (tiga puluh lima) tahun sejak disahkan pada tanggal 31 Desember 1983, UU PPN Nomor 8 Tahun 1983 telah mengalami tiga kali perubahan:
Dalam konsiderans “Menimbang” UU Nomor 42 Tahun 2009 mencantumkan dasar pertimbangan perubahan ketiga UU PPN sebagai berikut:
Sementara itu, dalam memori penjelasan bagian UMUM dari UU PPN Nomor 42 Tahun 2009 dapat dilihat latar belakang dilakukannya perubahan UU PPN, yaitu sebagai berikut:
“PPN adalah pajak atas konsumsi barang dan jasa di daerah pabean yang dikenakan secara bertingkat di setiap jalur produksi dan distribusi. Pengenaan PPN sangat dipengaruhi oleh perkembangan transaksi bisnis serta pola konsumsi masyarakat yang merupakan objek Pajak Pertambahan Nilai. Perkembangan ekonomi yang sangat dinamis terus menciptakan jenis serta transaksi bisnis baru. Sebagai contoh, di bidang jasa, banyak timbul transaksi jasa baru atau modifikasi dari transaksi sebelumnya yang pengenaan Pajak Pertambahan Nilainya belum diatur dalam Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.”
Dari kutipan Penjelasan Bagian UMUM dari UU PPN Nomor 42 Tahun 2009 di atas dapat disimpulkan bahwa latar belakang dilakukannya perubahan terhadap UU PPN adalah karena terjadinya perkembangan transaksi bisnis dan ekonomi yang sangat dinamis sehingga dibutuhkan UU PPN yang mampu mencakup berbagai perkembangan tersebut.
Selain itu, dari penjelasan bagian UMUM dari UU PPN Nomor 42 Tahun 2009 juga dinyatakan secara tegas dan lugas bahwa PPN adalah pajak atas konsumsi barang dan jasa di dalam daerah pabean.
Tulisan ini disadur dari salah satu bab di Buku Konsep dan Studi Komparasi Pajak Pertambahan Nilai yang ditulis oleh Darussalam, Danny Septriadi, dan Khisi Armaya Dhora. Anda dapat mengunduh secara gratis di sini. *