PAJAK DAERAH (17)

Simak, Ini Ketentuan Pemungutan BPHTB oleh Pemda

Hamida Amri Safarina
Kamis, 24 September 2020 | 14.22 WIB
Simak, Ini Ketentuan Pemungutan BPHTB oleh Pemda

KEGIATAN pembangunan dari tahun ke tahun berpengaruh pada peningkatan kegiatan jual beli tanah dan/atau bangunan.

Dalam kegiatan jual beli tersebut terjadi pengalihan hak atas tanah dan bangunan.  Pengalihan hak atas tanah tersebut merupakan kegiatan yang dapat memberikan pemasukan bagi pemerintah daerah (Pemda).

Mulanya, pemungutan bea perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan (BPHTP) diatur dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 1997 s.t.d.t.d. Undang-Undang No. 20 Tahun 2000. Saat itu, kewenangan pemungutan BPHTB masih berada di tangan pemerintah pusat.

Namun, dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD), kewenangan pemungutan dialihkan ke pemerintah daerah. Berdasarkan Pasal 1 angka 41 UU PDRD, BPHTB adalah pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan.

Perolehan hak atas tanah/dan bangunan diartikan sebagai perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau bangunan oleh orang pribadi atau badan.

Sementara itu, hak atas tanah dan/atau bangunan ialah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan beserta bangunan di atasnya. Ketentuan, definisi, dan jenis hak atas tanah diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UU Pokok Agraria).

Sesuai dengan ketentuan Pasal 85 ayat (1), BPHTB dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan. Hak atas tanah dan/atau bangunan yang dimaksud termasuk hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak milik atas satuan rumah susun, dan hak pengelolaan.

Objek BPHTB adalah perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan. Hak atas tanah adalah hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak milik atas satuan rumah susun, dan hak pengelolaan. Perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan meliputi dua hal.

Pertama, pemindahan hak karena jual beli, tukar-menukar, hibah, hibah wasiat, waris, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain, pemasahan hak yang mengakibatkan peralihan, penunjukan pembeli dalam lelang, pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, atau hadiah. Kedua, pemberian hak baru karena kelanjutan pelepasan hak atau di luar pelepasan hak.

Perlu dipahami, tidak semua perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan dapat dikenakan BPHTB. Adapun objek yang tidak dipungut BPHTP ialah sebagai berikut:

  1. objek yang diperoleh perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
  2. objek yang diperoleh negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum;
  3. objek yang diperoleh badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan atau perwakilan organisasi tersebut;
  4. objek yang diperoleh orang pribadi atau badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;
  5. objek yang diperoleh orang pribadi atau badan karena wakaf; dan
  6. objek yang diperoleh orang pribadi atau Badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah.

Sebagaimana diatur dalam Pasal 86 ayat (1) UU PDRD, subjek BPHTB adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan/atau bangunan. Sementara orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan/atau bangunan ditetapkan sebagai wajib pajaknya.

Dalam pemungutan BPHTB, nilai perolehan objek pajak (NPOP) menjadi dasar pengenaan BPHTB. Jika NPOP tidak diketahui atau lebih rendah dari nilai jual objek pajak (NJOP) yang digunakan dalam pengenaan pajak bumi dan bangunan (PBB) pada tahun terjadinya perolehan maka dasar pengenaan yang digunakan yaitu NJOP PBB.

Penghitungan besaran BPHTB harus memperhatikan nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak (NPOPTKP). NPOPTKP tersebut ditetapkan paling rendah sebesar Rp60.000.000 untuk setiap wajib pajak.

Dalam hal perolehan hak karena waris atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, NPOPTKP paling rendah sebesar Rp300.000.000. Masing-masing Pemda berhak menentukan sendiri besaran NPOPTKP tersebut yang nantinya ditetapkan dalam peraturan daerah.

Dalam Pasal 87 dan Pasal 90 UU PDRD telah mengatur terkait NPOP dan saat terutangnya BPHTP yang disesuaikan dengan objek pajaknya sebagai berikut.

Tarif BPHTB ditetapkan paling tinggi sebesar 5%. Tarif pajak ini akan ditentukan lebih detail oleh masing-masing pemerintah daerah sesuai dengan potensi pajak yang dimilikinya. Namun, mayoritas pemerintah daerah memilih untuk menetapkan tarif paling tinggi untuk BPHTB, seperti di Kota Palembang, Kota Makassar, Kota Kupang, dan Kota Medan.

Besaran pokok BPHTB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif dengan dasar pengenaan pajak setelah dikurangi NPOPTKP. Adapun BPHTB dipungut di wilayah daerah tempat tanah dan/atau bangunan berada.

Untuk memenuhi unsur legalitas, proses pemindahtanganan hak atas tanah dan/atau bangunan dibantu oleh pejabat pembuat akta tanah (PPAT)/notaris. Terdapat beberapa ketentuan yang perlu diperhatikan dalam memperoleh hak tersebut secara legal sebagaimana diatur dalam Pasal 91 dan Pasal 92 UU PDRD.

Pertama, setelah wajib pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak, pejabat pembuat akta tanah (PPAT)/ notaris dapat menandatangani akta pemindahan hak atas tanah dan/atau bangunan.

Kedua, kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara dan kepala yang membidangi pertanahan juga hanya dapat menandatangani risalah lelang perolehan hak tersebut setelah wajib pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak.

Ketiga, pembuatan akta atau risalah lelang akan dilaporkan kepada kepada kepala daerah paling lambat pada tanggal 10 bulan berikutnya. Adapun risalah lelang adalah kutipan risalah lelang yang ditandatangani oleh kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara. Tata cara pelaporan bagi pejabat diatur lebih lanjut dengan peraturan kepala daerah.

Sesuai dengan Pasal 93 ayat (1) sampai dengan ayat (3) UU PDRD, apabila terdapat PPAT/notaris dan kepala kantor tersebut terbukti melanggar ketentuan maka dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp7.500.000 untuk setiap pelanggaran.

Atas pelanggaran yang dilakukan, kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara juga akan dikenakan denda sebesar Rp250.000 untuk setiap laporan.*

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
user-comment-photo-profile
As'adi Febriyan
baru saja
mohon diberikan contoh kejadian yang tidak dikenakan BPHTB pada point "objek yang diperoleh orang pribadi atau badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama", apakah peningkatan surat girik (adat) mjd surat hak milik (sertifikat) dikenakan BPHTB? trims penjelasannya