SEJAK 2018, pemerintah telah memulai agenda strategis yang disebut sebagai Pembaruan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (PSIAP). Agenda ini merupakan wujud kesinambungan reformasi di bidang administrasi pajak Tanah Air yang terus-menerus dilakukan.
Melalui PSIAP, proses bisnis administrasi perpajakan didesain ulang disertai dengan pembenahan basis data perpajakan. Alasannya, SIDJP (Sistem Informasi Direktorat Jenderal Pajak) sebagai sistem inti yang digunakan saat ini sudah tidak mampu lagi menjalankan proses bisnis perpajakan modern. Akibatnya, sistem cenderung tidak stabil ketika dilakukan peningkatan layanan berbasis elektronik, penambahan beban data, dan kenaikan akses pengguna.
Dengan menggunakan berbagai instrumen teknologi digital terkini, PSIAP berfokus pada sistem informasi administrasi perpajakan yang mudah, andal, terintegrasi, akurat, dan pasti untuk optimalisasi pelayanan dan pengawasan.
Lantas apa yang bisa kita maknai?
Setidaknya terdapat 5 hal penting mengapa kita perlu sepenuhnya mendukung dan menyambut agenda tersebut. Kelimanya juga menyiratkan akan datangnya era baru sistem pajak Indonesia.
Pertama, menjamin kepastian dalam sistem pajak. Salah satu elemen penting dalam pemanfaatan teknologi informasi dalam administrasi pajak kita ialah compliance risk management (CRM). Dalam CRM, upaya mendorong kepatuhan disesuaikan dengan perilaku dan risiko wajib pajak. Pengelompokan tersebut nantinya akan diikuti dengan kepastian bagi wajib pajak.
Meminjam model piramida strategi kepatuhan yang diperkenalkan OECD (2004), dapat disimpulkan perlunya treatment yang berbeda bagi tiap kelompok wajib pajak. Untuk kelompok wajib pajak patuh, otoritas bisa memberikan ‘karpet merah’ dari sisi pelayanan.
Kemudian, terhadap kelompok wajib pajak ingin patuh, otoritas bisa terus memberikan bimbingan dan arahan dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya. Sementara terhadap wajib pajak yang mencoba tidak patuh, otoritas bisa senantiasa mengingatkan. Lalu, untuk kelompok wajib pajak yang sudah berniat untuk tidak patuh, otoritas bisa melakukan tindakan tegas.
Saat ini, ada kemungkinan bahwa atas wajib pajak dengan profil risiko yang berbeda justru diperlakukan sama (mismatch treatment). Akibatnya, sistem pajak menjadi tidak pasti dan menciptakan ketidakpatuhan.
Dengan adanya CRM yang akan ditopang PSIAP, kepastian bagi wajib pajak menjadi lebih mudah terwujud. Terlebih, CRM secara lebih tepat sasaran dan terukur telah menjadi komitmen DJP dan tertuang dalam Surat Edaran (SE) Dirjen Pajak No. SE-39/PJ/2021 tentang Implementasi Compliance Risk Management dan Business Intelligence.
Pada akhirnya, kepastian tersebut sangatlah penting. Tanpa kepastian, keadilan yang telah dirancang ke dalam sistem perpajakan yang bersangkutan sulit untuk bisa dicapai (Smith dalam Mansury, 2002).
Kedua, membuat sistem pajak lebih adil. Salah satu persoalan fundamental pajak Indonesia ialah rendahnya tax ratio yang diakibatkan rendahnya partisipasi, kontribusi, dan kepatuhan dari masyarakat. PSIAP akan menjamin sistem pajak kita tidak hanya dipikul oleh pihak yang ‘itu-itu saja’.
Integrasi dan pengolahan data yang lebih baik dipercaya dapat mengikis persoalan shadow economy sektor pajak Indonesia, melalui pemetaan dan kegiatan ekstensifikasi. Padahal, menurut Medina dan Schenieder (2018), proporsi shadow economy di Indonesia sebesar 24% dari PDB. Selain itu, prospek pengembangan fitur kemudahan pelayanan hingga pembukuan bagi sektor UKM juga berpotensi mengurangi keengganan untuk berpartisipasi dalam sistem pajak.
Demikian halnya dengan pengelolaan kepatuhan pajak kelompok high net worth individual (HNWI). Salah satu strategi untuk menjamin kepatuhan pajak HNWI ialah melalui pemetaan berbasis data (Buchanan dan McLaughlin, 2017).
Menariknya, aplikasi Smartweb yang telah diluncurkan DJP sebagai bagian dari PSIAP, mulai mengintegrasikan informasi beneficial owner, hubungan keluarga, serta grup perusahaan yang dimiliki HNWI. Sebagai hasilnya, penerimaan pajak kita akan ditopang secara bergotong royong dengan lebih adil.
Ketiga, simplifikasi di tengah kompleksitas. Sistem pajak yang kompleks merupakan hal yang sulit untuk dihindari di tengah iklim demokrasi (Dorn, 1985). Pasalnya, akan ada tarik ulur kepentingan, partisipasi kebijakan yang lebih luas, serta kebebasan untuk berpendapat.
Tidak hanya itu, berbagai tujuan yang ingin dicapai secara sekaligus melalui sistem pajak—daya saing, mobilisasi penerimaan, redistribusi, keselarasan dengan perkembangan global – diperkirakan membuat peraturan perpajakan di Indonesia kian dinamis, berubah-ubah, dan rumit.
PSIAP dan berbagai terobosan di bidang teknologi informasi administrasi perpajakan tentu bisa menjadi ‘obat penawar’. Penetrasi informasi yang lebih direct, pelayanan yang prima, implementasi AI, serta berbagai fitur-fitur yang ditawarkan memberikan kesederhanaan.
Intinya, walaupun peraturan perpajakan kian kompleks dan dinamis, administrasinya kian mudah dan berkepastian. Bagi kedua pihak, simplifikasi tersebut akan menjamin aspek prediktabilitas, transparan, efektif secara administratif, mudah untuk dipahami, dan mengurangi potensi atau ruang manipulasi untuk perencanaan pajak yang agresif (Tran-Nam, 2016).
Keempat, biaya dalam sistem pajak kian menurun. Ini mencakup baik dari sisi biaya kepatuhan maupun administrasi perpajakan (Sanford, Godwin, dan Hardwick, 1989).
Dari sisi wajib pajak, biaya kepatuhan (compliance cost) – yang disebabkan informasi sektor pajak yang asimetris (Kristiaji, 2013), kebutuhan tenaga ahli di bidang perpajakan, tingginya sengketa, hingga lamanya waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan kewajiban pajak – diperkirakan menurun. Rendahnya biaya kepatuhan akan mendorong kepatuhan sukarela.
Dari sisi otoritas pajak, biaya administrasi pemungutan pajak juga kian efisien. Dengan kehadiran teknologi administrasi, akan ada alokasi sumber daya manusia (SDM) Ditjen Pajak yang kian tepat sasaran dan berorientasi pada area yang selama ini belum optimal.
Kelima, momentum dan ikhtiar meningkatkan tax ratio. Pandemi covid-19 telah menjadi katalis reformasi pajak Indonesia, khususnya dalam rangka menjamin ketersediaan dana pembangunan dan mengurangi risiko fiskal dalam jangka menengah.
Pengalaman dari berbagai krisis ekonomi sebelumnya menunjukkan pola pemulihan penerimaan pajak umumnya berjalan lebih lambat dari pemulihan ekonomi. Oleh karena itu, tanpa adanya terobosan yang signifikan dalam sistem pajak, tax ratio tidak akan meningkat secara cepat dalam waktu dekat.
Adanya PSIAP tentu membawa angin segar. Reformasi dari sisi administrasi pajak Indonesia diperkirakan akan memberikan tambahan tax ratio sebesar 1,5% (de Mooij, Nazara, dan Toro, 2018). Namun demikian, perlu juga adanya reformasi dalam hal kebijakan pajak yang memiliki daya ungkit tax ratio lebih besar.
Dalam hal ini, PSIAP akan membuat berbagai perumusan kebijakan dan hukum pajak di masa mendatang berbasiskan data dan evidence-based. Hal ini akan memberikan rumusan yang lebih baik, well-targeted, dan terukur.
Sebagai penutup, era baru tersebut mungkin tidak berhenti pada uraian-uraian di atas. PSIAP membuka berbagai kemungkinan lain. Misalkan, relevansi skema withholding tax, perubahan rezim pengurang penghasilan orang pribadi yang tidak hanya berdasarkan PTKP, kepastian restitusi PPN dalam waktu cepat, dan sebagainya. Mari kita nantikan.