PROFESOR MIRANDA STEWART:

'Proses Bargaining Sangat Penting untuk Memajaki Ekonomi Digital'

Redaksi DDTCNews
Jumat, 07 Desember 2018 | 10.35 WIB
'Proses Bargaining Sangat Penting untuk Memajaki Ekonomi Digital'

Dua Spesialis DDTC, Dea Yustisia & Hessy Erlisa Frasti, berfoto bersama Prof. Miranda Stewart dalam Annual International Tax Seminar yang diselenggarakan oleh International Fiscal Association (IFA) Cabang Indonesia, Jakarta, Rabu (5/12/2018). (Foto: DDTCNews)

HINGGA saat ini, pemajakan ekonomi digital masih sulit untuk dilakukan. Banyak tantangan dan hambatan bagi otoritas pajak, terutama atas transaksi lintas yurisdiksi. Konsensus global pajak ekonomi digital yang ditunggu banyak negara pun masih dalam ruang ketidakpastian.

Untuk itu, pada kesempatan Annual International Tax Seminar yang diselenggarakan oleh International Fiscal Association (IFA) Cabang Indonesia, dua Spesialis DDTC yakni Dea Yustisia dan Hessy Erlisa Frasti dari DDTC Fiscal Research mewawancarai Prof. Miranda Stewart untuk memperoleh pandangan terkait pemajakan ekonomi digital tersebut.

Selain berperan sebagai akademisi di Crawford School of Public Policy Australia National University dan pengajar di berbagai institusi bergengsi lainnya, Miranda juga aktif melakukan penelitian dalam bidang pajak dalam konteks globalisasi bisnis. Berikut kutipannya:

Bagaimana perkembangan pemajakan ekonomi digital sejauh ini?

Secara umum ada tiga pendekatan pemajakan ekonomi digital berdasarkan OECD. Kelompok pertama ialah adanya perubahan bentuk pemajakan atas bisnis-bisnis yang menggunakan teknologi digital yang konsepnya secara spesifik akan cukup berbeda dengan ekonomi konvensional.

Kelompok kedua biasanya akan menyamakan pemajakan atas ekonomi digital dengan ekonomi konvensional. Selanjutnya, kelompok ketiga ialah negara-negara yang tidak melakukan perubahan mendasar atas pemajakan ekonomi digital dengan penambahan regulasi tertentu di mana biasanya hanya melakukan perubahan redaksi pasal.

Apa saja bentuk-bentuk sistem pemajakan yang menentukan besaran pajak atas ekonomi digital?

Bentuknya beragam. Ada yang menentukan ambang batas alternatif untuk bentuk usaha tetap (BUT) bisnis digital seperti misalnya di Israel dengan significant economic presence test. Ada negara yang mengenakan withholding taxes terlebih dengan adanya Pasal 12A UN Model mengenai technical service fee.

Selain itu jenis pajak umum lainnya ialah turnover taxes seperti equalization levy pada kasus India. Negara maju biasanya mengenakan rezim spesifik untuk perusahaan multinasional. Contoh kasusnya diverted tax profit yang diterapkan di Inggris.

Sejauh mana perkembangan ekonomi digital di Indonesia dalam pandangan Anda?

Sepengamatan saya mengenai tingkat keterbukaan komersialiasi bisnis digital Indonesia masih tergolong restriktif (restrictive on digital trade). Kepemilikan bisnis yang bentuknya online retailing didominasi oleh pihak asing. Namun, beberapa kebijakan bisnis digital Indonesia juga masih dibatasi dengan tidak boleh adanya kepemilikan asing. Sementara, pelaku bisnis online yang domestik masih beroperasi dalam skala kecil.

Jenis kontrak fiskal semacam apa yang bisa diberikan pemerintah kepada wajib pajak dalam konteks pemajakan di era digital sejauh ini?

Penarikan pajak untuk ekonomi digital sangat bergantung pada sejauh mana power pemerintah untuk menarik pajak atas bisnis digital. Apakah pemerintahnya hanya akan menarik pajak dari pelaku bisnis digital yang sudah skala besar atau akan menarik pajak dari pelaku bisnis digital konvensional juga, misalnya langsung menerapkan witholding tax untuk e-commerce. Hal ini tentu sangat bergantung pada proses bargaining apa yang mampu pemerintah sediakan untuk pelaku bisnis tersebut.

Bagaimana proses bargaining yang biasanya terjadi?

Pemerintah biasanya menyediakan adanya akses untuk dapat memperoleh pasar di negaranya sebagai imbalan. Tapi ini akan sangat bergantung apakah akhirnya perusahaan tersebut mampu merelakan pajaknya.

Adakah isu dan permasalahan lainnya atas pemajakan ekonomi digital?

Ya, ada isu keadilan distributif untuk jenis pajak ini yang sangat bergantung pada kondisi alokasi pemajakan antara kedua negara. Hal ini menentukan bagaimana akhirnya kedua negara dapat mengalokasikan hak pemajakan secara adil.

Proses bargaining yang dilakukan oleh pemerintah dan pelaku bisnis kemudian memainkan peranan penting. Masalah utamanya kemudian ada pada transfer pricing karena kebanyakan perusahaan-perusahaan digital yang memenuhi standar minimum untuk dipajaki itu perusahaan besar.

Masalah international distributive justice kemudian juga dapat menjadi perhatian dalam konteks pemajakan atas ekonomi digital mengingat negara besar seperti AS juga mulai mengenakan pajak atas ekonomi digital. Ada ketimpangan bagi negara-negara kecil yang punya pasar besar. Perebutan bisa saja tidak hanya dalam alokasi hak pemajakan tapi juga basis pajak kalau berbicara masalah distribusi keadilan pemajakan ekonomi digital.

Perlukan Indonesia menunggu konsensus global terkait pemajakan atas ekonomi digital?

Pada kenyataannya tampaknya tidak akan ada konsensus global. Secara praktik, banyak negara yang sudah memulai mengenakan pajak atas aktivitas digital apalagi pengguna internet di Indonesia sangat tinggi pasarnya. Pada umumnya, negara-negara yang menerapkan pajak unilateral atas bisnis digital saling copy kebijakan satu sama lain. Keputusan ini kemudian akan sangat bergatung pada otoritas yang membuat kebijakan terutama pada kondisi perpolitikan.

Saya rasa mayoritas negara memilih untuk melakukan bargaining. Trennya adalah menerapkan jenis pajak atas bisnis digital yang bersifat interim sebelum adanya konsensus. Konsensus global sendiri, menurut saya, akan sangat sulit tercapai. (Amu)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.