STAF AHLI MENTERI KEUANGAN BIDANG KEPATUHAN PAJAK YON ARSAL:

‘Agar CRM Efektif, Perlu Dikombinasikan dengan Komite Kepatuhan’

Dian Kurniati
Selasa, 27 Desember 2022 | 11.45 WIB
‘Agar CRM Efektif, Perlu Dikombinasikan dengan Komite Kepatuhan’

DALAM upaya meningkatkan kepatuhan wajib pajak, pemerintah turut memanfaatkan teknologi digital dalam proses bisnisnya. Berbagai layanan pajak juga telah beralih dari sebelumnya manual, kini menjadi serba elektronik.

Sejak 2019, Ditjen Pajak (DJP) menggunakan sistem compliance risk management (CRM) untuk melakukan pengawasan wajib pajak. Sejauh ini, sudah ada 9 jenis CRM yang telah dikembangkan oleh otoritas pajak

Jenis CRM tersebut antara lain CRM bidang pemeriksaan dan pengawasan, ekstensifikasi, penagihan, transfer pricing, edukasi perpajakan, penilaian, penegakan hukum, pelayanan, hingga keberatan. Dari 9 jenis CRM tersebut, hanya CRM bidang keberatan yang belum diluncurkan.

Nanti, 9 jenis CRM tersebut bakal diintegrasikan. Di sisi lain, DJP juga sedang melakukan pembaruan sistem inti administrasi perpajakan (core tax administration system/CTAS). Rencananya, CTAS akan diimplementasikan penuh pada 2024.

Kepada DDTCNews, Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal menjelaskan langkah yang sedang dijalankan pemerintah untuk mendorong kepatuhan wajib pajak. Dia juga memaparkan arah manajemen kepatuhan wajib pajak ketika CRM telah terintegrasi dan coretax system terimplementasi penuh. Berikut petikannya:

Secara umum, seperti apa manajemen kepatuhan pajak yang saat ini dijalankan pemerintah?
Kalau lihat kepatuhan formal seperti yang kita pahami, memang terdapat kebutuhan untuk terciptanya effective risk management. Kalau kita lihat di TADAT (tax administration diagnostic assessment tool) juga mencanangkan adanya effective risk management.

Kalau kita lihat ISO 31.000 tahun 2018 juga mencanangkan adanya effective risk management. Lalu, OECD guidelines juga mencanangkan adanya sebuah risk management di dalam sistem administrasi perpajakan.

Jadi, ketika berbicara sistem pajak yang self assessment, tentu masalah kepatuhan menjadi isu utama, baik voluntary compliance maupun enforce compliance. Voluntary compliance ini datang, baik dari wajib pajak sendiri maupun yang di-enforce petugas wajak.

Kalau kita cermati, dari sejak pertama melakukan reformasi 1983 hingga 2022, perkembangan jumlah wajib pajak memang sesuatu yang challenging. Tahun 2002, mungkin hanya 3-5 juta saja. Tahun ini, kita sudah punya 48 juta.

Sebaliknya, pegawai ndilalahnya tidak mungkin bisa berkembang secepat pertambahan wajib pajak. Untuk bisa mengimbangi itu, perlu teknologi. Mudah-mudahan, bisa mengompensasi kapasitas SDM kami sehingga bisa menangani keseluruhan wajib pajak yang sangat dahsyat tadi.

Kalau bicara mengenai risk management, pada prinsipnya adalah bagaimana melihat risiko wajib pajak. Selanjutnya, kami bisa memberikan treatment yang tepat kepada mereka.

Jadi, kalau kita baca OECD guidelines. Kalau jumlah WP banyak dan semua patuh, alhamdulillah. Tetapi faktanya kan tidak. Masih banyak yang tidak patuh. Yang tidak patuh ini, massa-nya masih sangat banyak.

Massa yang sangat banyak ini, bagaimana perlakuannya? Apakah harus kami periksa semua? Nonsense, tidak mungkin. Paling 1 orang pemeriksa, kapasitas pemeriksaan yang komprehensifnya paling 10 sampai 15 orang dalam 1 tahun.

Jadi, tidak banyak juga. Untuk itu, menjadi sangat penting kami memetakan wajib pajak sehingga kami benar-benar mempunyai profil wajib pajak yang baik sehingga perlakuan yang diberikan KPP menjadi lebih tepat.

Kalau nanti ini sudah kami exercise, bayangkan di dalam dashboard sudah bisa melihat peta wajib pajaknya. Ada yang berisiko sedang, ada yang berisiko tinggi. Berarti kami nanti bisa langsung fokus ke yang berisiko tinggi.

Itulah yang dinamakan risk management sehingga kami mampu memetakan wajib pajak yang berisiko dan yang tidak berisiko.

Ini dampaknya banyak. Kalau sudah bisa memetakan wajib pajak, treatment-nya akan pas. Kalau kita bicara perlakuan, dalam guideline juga sudah disebutkan kalau dalam piramida kepatuhan itu terdapat 4 kelompok.

Minimnya data kerap menjadi isu dalam meningkatkan kepatuhan, progresnya seperti apa?
Soal data sebenarnya sudah mulai mengalir masuk. Karena kalau cuma teknologi, tetapi tidak ada bensinnya [data], yah tidak ada gunanya mesin kita.

Kombinasi antara mesin dan bensin yang dalam hal ini data, menjadi kombinasi yang tepat kalau mau mengembangkan effective risk management.

Saya pribadi waktu 2004 ketika ditugaskan sebagai kepala seksi bimbingan pemeriksaan di Jakarta Selatan III. Tugas kami waktu itu adalah mendistribusikan berkas pemeriksaan berdasarkan arahan kantor pusat.

Waktu itu, kami sudah punya pemeriksaan berbasis risiko. Sudah ada SE [surat edaran] soal kriterianya. Namun, karena bensinnya tak memadai, jadinya tidak jalan.Terlepas dari keterbatasannya, ini sudah kita mulai, dan ada yang berhasil tertangkap juga.

Lalu, teknologi berkembang lagi. Ada behavioral benchmarking model atau BBM pada 2011. BBM ini sudah mulai mengadopsi strategi yang sifatnya sudah spesifik. Kalau total benchmarking dia one fits for all, BBM sudah mulai memetakan misalnya berdasarkan provinsi.

Contoh, ada perusahaan sawit, kebunnya di Kalimantan dan Sumatera tentu beda cost structure-nya. Kenapa? Kalau di Kalimantan sawit bisa dibawa dengan kapal karena banyak sungai, di Sumatera tidak bisa karena harus melalui jalan darat.

Jadi, tidak fair apabila industri sawit di Kalimantan kami matching-kan dengan industri sawit di Sumatera sehingga kami bikin behavioral benchmarking model. Jadi, ini kami pisahkan, termasuk tingkat omzet juga kami bedakan.

Masalahnya, ketika kami mau men-direct suatu rumusan yang sifatnya kompleks, berarti butuh data yang banyak. Tetapi data ini waktu itu belum ada. Kami baru punya data internal. Model sudah siap dan very sophisticated. Modelnya kami mengerti, tetapi informasi datanya belum tentu matching.

Itulah perbandingan waktu itu, behavioral benchmarking model lebih kompleks, tetapi interpretasinya juga sulit karena harus menggunakan data sehingga data itu harus dicari di SPT-SPT, which is itu enggak sehat juga. Risk management itu seharusnya by system. Kalau total benchmarking itu mudah, tetapi tidak mencerminkan.

Itulah sejarahnya kenapa saya bahas karena ini sangat memengaruhi kita sekarang. Dari pelajaran tadi, kita memasuki masa yang lebih baik. Di 2013, PKP [Direktorat Potensi, Kepatuhan dan Penerimaan] sudah mengolah yang namanya CRM ini, compliance risk management.

Kami juga sudah mulai bicara dengan OECD, ATO [Australia Tax Office], termasuk mengundang OECD untuk melihat perspektif Eropa. Kami bahkan cek juga Singapura, Thailand, seperti apa. Semua orang ternyata sudah mengarah ke CRM.

Waktu itu mesinnya sudah ready, tetapi datanya belum bersih-bersih amat. Pada 2015, kami sudah mulai menerima data dari pihak ketiga.

Ini kesempatan sehingga kombinasi mesin dan data sebagai bensin sudah mulai tercipta. Memang tidak langsung jadi, tetapi proses. Itu yang secara konsisten DJP lakukan sejak 2013 sampai kami meluncurkan CRM pertama kali pada 2019.

Terkait dengan komite kepatuhan, urgensinya seperti apa?
Awal pelaksanaan CRM, memang terdapat task force khusus yang ditugasi. Sekarang secara resmi dibentuk dedicated unit (Komite Kepatuhan) yang memikirkan mengenai CRM ini.

Karena ini bukan proses yang sederhana. Mulai dari pemetaan risiko, penetapan konteksnya, penetapan skala prioritas, me-running variabelnya, dan evaluasi. Ini tidak boleh berhenti.

Hubungan antara CRM dan komite kepatuhan adalah saling melengkapi. CRM adalah satu mesin, tetapi kita menyadari betul masih panjang perjalanan. Kalau kita belajar dari ATO, mereka puluhan tahun juga prosesnya untuk mengembangkan.

Jadi, nanti kami harus dengar teman-teman di KPP. Misal, ada wajib pajak masuk daftar, padahal lagi bagus banget. Ini kenapa? Jangan-jangan ada variabel kita yang tidak pas. Kami pelajari lagi, putar lagi algoritmanya. Ini prosesnya berkelanjutan, sehingga butuh komitmen dari organisasi.

Komite kepatuhan saling melengkapi dengan yang CRM tadi. Kalau CRM mesin, sedangkan komite kepatuhan, misalnya bisa melihat perkembangan dunia internasional.

Pada saat ini, kami terus mencoba menyesuaikan terus dengan perkembangan yang ada. Pada 2019, kami punya CRM pemeriksaan dan pengawasan karena itu yang paling terpikir di awal. Walaupun kami kembangkan untuk ekstensifikasi, penagihan, dan lainnya.

Dengan mesin ini, berevolusi lagi. Sekarang dibagi 2, general risk untuk kepentingan pengawasan dan ada beberapa yang kita desain untuk specific risk yang semacam modul-modulnya. Ini enak karena kalau kita sudah punya general risk, membuatnya menjadi specific risk akan lebih mudah.

Contoh kalau sudah punya general risk kepatuhan WP secara umum. Tahun depan kita melihat ada sektor yang menghadapi risiko tertentu. Strategi nasional adalah sektor ini, jadi bikin saja modul untuk sektornya dan diturunkan ke KPP.

Inilah kenapa kita perlu komunikasi dan mendengarkan melalui komite kepatuhan tadi, karena setiap daerah punya local content yang berbeda-beda. Misalnya kita bilang tahun depan sektor X, tidak semua KPP ada sektor itu.

Ada program lokal yang harus kita akui dan kita serap. Jadi yang dimaksud komite kepatuhan artinya kita kombinasi antara kantor pusat, kanwil, dan KPP. Semua saling melihat. Kalau kantor pusat arahnya ke sini, pada prinsipnya semua harus ikut.

Cuma pada faktanya, tidak semua orang punya sektor itu. Contoh sektor tambang, di Jakarta enggak ada. Adanya perdagangan, yang mungkin berisiko, sedangkan tambang tidak berisiko. Ini kita perlu adanya local content, local knowledge dengan yang fokus dari pusat.

Makanya keputusan Pak Suryo [Dirjen Pajak Suryo Utomo] sangat tepat ketika kita menurunkan kebijakan ada komite kepatuhan tadi. Dengan mesin sudah mulai punya dan terus dikembangkan, kemudian juga dikombinasikan dengan komite kepatuhan.

KPP juga punya hak suara untuk menentukan mau ke sana, yang bisa saja itu menjadi lesson learn lagi nanti.

Untuk menentukan risiko, data yang dipakai hanya SPT?
Pada prinsipnya, kami sandingkan dengan data SPT. Data yang dilaporkan disandingkan dengan data yang diterima, baik dari data internal seperti bukti potong dan faktur pajak, maupun data pihak ketiga. Kemewahan data dari pihak ketiga ini juga kita optimalkan. Prinsipnya seperti itu.

Pintu masuknya tetap SPT?
Pasti, itu yang pertama. Pada prinsipnya yang kita uji adalah SPT.

Bagaimana progres integrasi 9 jenis CRM dan seperti apa tantangannya?
Saat coretax system diimplementasikan pada 2024, CRM-nya harus sudah terintegrasi. Tidak ada pilihan. Ini sekarang sedang dilakukan. Memang challenging karena membangun sistemnya tidak sederhana.

Seingat saya, sampai kemarin masih berproses. Banyak hal yang mesti dipetakan dulu untuk masing-masing variabel. Kami coba selesaikan integrasi itu. Teman-teman di rapim sudah paparan, sudah memperlihatkan kesiapan mereka untuk menunjukkan CRM integrasi.

Apakah data pada CRM bisa salah sehingga rekomendasi yang dikeluarkan keliru?
Exactly. That's the problem. Makanya untuk membuat CRM lebih efektif, di-combine dengan komite kepatuhan sehingga harapannya menjadi sesuatu yang sangat efektif. Paralel jalannya. Hasil analisis mesin, diturunkan, dianalisis, sampai di level KPP.

ATO bahkan yang lebih duluan [mengimplementasikan CRM] saja tidak pernah bisa 100% correct. Namanya juga analisis. Namun, dengan kombinasi tadi, kami berharap memang ada perbaikan terus.

Seharusnya sih makin jernih datanya, makin bersih variabelnya, makin cerdas algoritmanya maka gap antara yang diputuskan mesin dan dianalisis oleh lapangan tidak berbeda banyak.

Bagaimana pandangan Anda mengenai keterlibatan pihak ketiga dalam kepatuhan?
Kalau melihat perkembangan kita sampai saat ini dan melihat bagaimana organisasi pajak modern di negara lain, keterlibatan pihak ketiga sesuatu yang harus sangat mutlak diperlukan. Enggak ada cerita kantor pajak bekerja sendirian.

Termasuk dengan konsultan. Kalau kita kan ada PJAP [penyedia jasa aplikasi perpajakan]. Daripada DJP melakukan services semua which is costly dan itu juga bukan ranah DJP karena DJP lebih ke tax administration.

Jadi, kami terbuka jika orang menggunakan jasa dari luar. Itu akan sangat baik. Kalau di luar, kita lihat peranan konsultan pajak sangat besar. Australia, seingat saya, seluruh wajib pajak menggunakan jasa konsultan untuk orang pribadi maupun korporasi.

Jadi, bagus juga. Asal kita berada dalam tujuan sama. Negara pada prinsipnya tidak boleh mengambil 1 sen pun dari yang seharusnya tidak mereka ambil. Jadi harus pas. Kewajiban 100 ya jangan 99 tetapi juga jangan 101. Untuk mencapai ini, harus disama-samain.

Konsultan juga harus sama. Artinya, kalau tujuan konsultan untuk minimizing tax dengan cara ilegal, otomatis kita tidak satu ‘perahu’. Tetapi, kalau konsultan berada pada posisi mengarahkan wajib pajak membayar sesuai dengan yang benar, oke saja. Dan, tidak boleh lebih juga.

Kelompok wajib pajak mana yang lebih banyak tidak patuh? Apakah high net worth individual?
Sebenarnya tergantung. Kalau karyawan, relatif berisiko rendah karena sudah dipotong pajaknya. Jadi, makin banyak mekanisme withholding maka makin sedikit risiko ketidakpatuhannya. Risikonya jadi bergeser ke pemotongnya. Risiko karyawan paling tidak lapor SPT.

Menyinggung withholding, terkadang aturannya memberatkan. Menurut Anda?
Ini artinya cost of compliance pada pemotongnya menjadi besar. Dalam reformasi yang kita lakukan sekarang ini, termasuk nanti ketika coretax diimplementasikan, kita buat sesederhana mungkin.

Bagaimana pun, betul, pertanyaannya. Kalau saya tidak memotong, saya tidak harus lapor. Kenapa tidak karyawannya saja langsung yang membayar masing-masing.

Sekarang dengan kewajiban potput, harus bikin laporan. Kalau salah, ada sanksinya lagi. Kami paham betul ada risiko di sana, dalam artian biaya kepatuhan yang ditanggung wajib pajak.

Cara paling gampang, selama ini kan dokumennya banyak, formulirnya banyak. Ini yang sedang kami sederhanakan juga nanti dalam coretax ini. Mulai dari cara pelaporannya hingga formulir-formulir yang mereka harus siapkan. Memang ini akan berevolusi terus.

Seperti apa kondisi kepatuhan wajib pajak saat ini?
Kepatuhan itu ada 4 jenis, kalau menurut Carlos Silvani. Mulai dari kepatuhan pendaftaran diri, pelaporan, pembayaran, dan kepatuhan konten. Kalau kepatuhan pendaftaran sudah relatif mudah. Kami lakukan dengan NIK menjadi NPWP itu sudah menjadi sasaran.

Dulu mungkin gap-nya terlalu besar. Ada orang yang tidak terdeteksi makanya regulasi kita siapkan. Orang yang tidak kena NPWP dikenakan pajak lebih tinggi. Kami sudah memagari, orang sudah tidak berani lagi.

Kalau saya mau dipotongnya 10%, saya harus punya NPWP. Itu juga sangat mengurangi. Makanya itu tidak dimungkiri kenaikan jumlah wajib pajak karena ada kebijakan yang kami susun. Apalagi sekarang dengan menetapkan NIK sebagai NPWP sudah menjadi clear.

Tinggal dikukuhkan saja, divalidasi siapa yang punya [NIK]. Sekalian dengan data dari pihak ketiga. Dan orang kalau mau dapat proyek pemerintah, enggak punya NPWP, bukan PKP, ya tidak dikasih proyek juga.

Kami punya KSWP dengan pemda. Kalau orang tidak punya NPWP, tidak akan diterbitkan izin usahanya. Itu kami bisa menutup celah untuk registration gap.

Lalu, soal pelaporan. Kalau sekarang yang wajib SPT sekitar 19 juta dan tingkat kepatuhan kita makin lama makin bagus secara agregat. Kalau lihat standar negara lain, korporasi 95% dan total kepatuhan 85%. Menurut saya kita sudah ke arah itu.

Selanjutnya, kepatuhan pembayaran. Dia patuh membayar tepat waktu atau tidak? Ini kita awasi. Memang yang paling sulit adalah apakah dia sudah memenuhi kepatuhan pajaknya dengan benar atau tidak? Nah ini, CRM tadi salah satunya [untuk mengawasi].

Semakin maju administrasi perpajakan suatu negara, komposisi voluntary compliance lebih besar daripada additional assessment. Paling hanya 3%-4% dari penerimaannya yang berasal dari kegiatan pemeriksaan. Karena semua orang sudah patuh.

Bagaimana dengan Indonesia?
Kita rata-rata, masih sekitar 4%-5% yang lewat kegiatan extra effort atau PKM [pengawasan kepatuhan material].

Dalam pengembangan CRM ini, negara mana yang dijadikan benchmark? Apakah Australia?
Sebenarnya yang kita ambil best practice internasional. Best practice ini bisa dari mana-mana. Pegawai kami tidak dikirim ke hanya 1 negara dan kami tidak berkomunikasi dengan 1 negara saja. Kami ambil best practice.

Dalam konteks tertentu, pengembangan CRM kami memang lebih banyak komunikasi dengan ATO karena dari awal mereka banyak sharing ke kami. Tetapi, kami juga belajar dari OECD, belajar dari Singapura, Thailand, yang memang relatif setara. (rig)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.