JAKARTA, DDTCNews – Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menyoroti masih besarnya porsi impor kebutuhan pangan di tanah air. Bila tidak dibenahi, pertumbuhan ekonomi diprediksi tidak akan beranjak dari angka 5%.
Peneliti INDEF Eko Listiyanto mengkritik sikap pemerintah yang terus membanggakan angka Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia yang disebut semakin baik. Namun, tidak ada langkah konkret untuk melakukan perbaikan di sektor pertanian.
"Importasi pangan ini berdampak pada penurunan GDP (gross domestic product)Â riil. Artinya kebijakan ini akan menurunkan pertumbuhan ekonomi. Tidak heran pertumbuhan kita stagnan di angka 5%, sulit untuk menaikkan angka pertumbuhan jika hanya mengandalkan sektor perdagangan," katanya, Rabu (18/4).
Data INDEF menunjukan sampa akhir 2017, neraca perdagangan sektor pertanian masih mencatat surplus. Namun, hal tersebut ditopang sektor perkebunan yang surplus US$26,7Â miliar.Â
Sementara perdagangan tanaman pangan defisit US$6,23Â miliar, holtikultura defisit US$1,79Â miliar dan peternakan defisit US$2,74 miliar.
"Kita masih jauh dari kemandirian pangan, jika pemerintah membanggakan PDB terus tapi masih impor pangan, sama saja. Kalau dibedah sampai ke level mikro, semakin kelihatan kelemahan agregat kita," terangnya.
Eko melanjutkan negara ASEAN seperti Thailand misalnya, yang PDB-nya terbilang rendah daripada Indonesia, namun stabilitasasi harganya terjaga.Â
"Kaitannya dengan ekonomi makro, misalkan inflasi rendah, namun harga pangan tak murah maka daya beli akan rendah. Hal ini tentu saja berdampak kepada pertumbuhan ekonomi Indonesia tadi," paparnya.
Untuk itu, INDEF memberi beberapa rekomendasi kepada pemerintah, di antaranya dengan mengevaluasi kebijakan impor pangan secara menyeluruh, baik terkait sistem perencanaan, pemberian ijin, formula dan prosedur maupun aturan teknis impor. Termasuk mengevaluasi sistem kuota dalam pemberian dan penunjukan izin impor. (Amu)