JAKARTA, DDTCNews – Era keterbukaan informasi keuangan dimulai tahun ini dengan tonggak pelaporan lembaga keuangan domestik pada April 2018. Aspek transparansi menjadi nilai utama dalam pengelolaan keuangan dalam skala global.
Ketika otoritas pajak punya kewenangan untuk mengakses data perbankan tentu terjadi beragam respons, terutama sejak pertengahan 2017 di mana keterbukaan informasi keuangan mulai digaungkan melalui UU No.9/2017.
Agar tidak diintip otoritas pajak, muncul praktik bahwa nasabah akan memecah saldonya ke beberapa rekening agar tidak masuk ambang batas rekening yang bisa diakses Ditjen Pajak sebesar Rp1 miliar.
"Memecah rekening itu belum bisa dikategorikan penghindaran pajak, tapi memang bisa jadi modus untuk tidak membayar pajak dengan benar," kata Direktur P2 Humas Ditjen Pajak Hestu Yoga Saksama, Jumat (4/5).
Untuk itu, sejumlah jurus sudah disiapkan otoritas pajak untuk mempersempit peluang penghindaran pajak. Direktur Perpajakan Internasional Ditjen Pajak John Hutagaol membeberkan beberapa metode untuk memastikan kebenaran data yang diterima melalui lembaga keuangan.
"Data akan divalidasi dan diproses berbasis teknologi informasi mencakup analytics, descriptive dan prescriptive. Sehingga menghasilkan informasi untuk tujuan perpajakan," terangnya, Jumat (4/5).
Ditjen Pajak bisa mengecek rekening nasabah di bank hingga lembaga keuangan lainnya. Kebijakan ini mulai berlaku untuk domestik pada April 2018 dan pertukaran antarotoritas pajak pada September 2018 yang merupakan bagian dari pelaksanaan automatic exchange of information (AEoI).
Aturan intip rekening itu diatur lewat Perdirjen Pajak Nomor 04/PJ/2018 tentang Tata Cara Pendaftaran Bagi Lembaga Keuangan dan Penyampaian Laporan yang Berisi Informasi Keuangan Secara Otomatis. Kemudian diturunkan dalam Surat Edaran Nomor 7/PJ/2018 tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan Pendaftaran Lembaga Keuangan dan Pengelolaan Pelaporan Informasi Keuangan Secara Otomatis. (Amu)