PERPAJAKAN INDONESIA

Ini 5 Tantangan Perpajakan Versi Pemerintah

Redaksi DDTCNews
Selasa, 17 September 2019 | 14.08 WIB
Ini 5 Tantangan Perpajakan Versi Pemerintah

Staf Ahli Menkeu Bidang Kebijakan Penerimaan Negara Robert Leonard Marbun dalam Konferensi Perkumpulan PRAKARSA bertajuk '15 Years of Welfare Initiatives: Advancing Sustainable Mission’, Selasa (17/9/2019).

JAKARTA, DDTCNews – Kementerian Keuangan mengidentifikasi lima tantangan dalam bidang perpajakan yang harus dihadapi pada saat ini. Kelima aspek tersebut menjadi hambatan nyata bagi pemerintah untuk menggenjot penerimaan dari sektor perpajakan.

Kelima aspek tersebut diungkapkan oleh Staf Ahli Menkeu Bidang Kebijakan Penerimaan Negara Robert Leonard Marbun. Pertama, struktur penerimaan yang masih terbatas sehingga perlu upaya ekstra untuk memperluas basis pajak.

“Yang pertama itu penerimaan perpajakan yang bergantung pada komoditas dan hanya terkonsetrasi pada wajib pajak tertentu,” katanya dalam Konferensi Perkumpulan PRAKARSA bertajuk '15 Years of Welfare Initiatives: Advancing Sustainable Mission’, Selasa (17/9/2019).

Kedua, porsi underground economy yang masih besar. Underground economy tidak selalu berhubungan dengan aktivitas ilegal. Untuk Indonesia, underground economy mencakup sektor informal dalam struktur perekonomian yang tidak masuk dalam sistem administrasi parpajakan.

Ketiga, pengecualian dalam pemungutan pajak yang masih banyak, khususnya untuk pajak pertambahan nilai (PPN). Banyaknya pengecualian juga membuat otoritas kesulitan dalam mengejar pajak penghasilan (PPh) bila transkasinya tidak tercatat.

“Pungutan PPN ini ujungnya adalah agar kita bisa memungut PPh. Bila banyak pengeculian maka bisa dibaratkan banyak missing link dari anak tangga dalam transaksi yang dikecualikan,” paparnya.

Keempat, basis data dan sistem informasi perpajakan yang masih lemah. Contoh nyata dari tantangan ini adalah kegaduhan dari rencana Kemenkeu mengkases informasi dari pengguna kartu kredit. Recana kebijakan tersebut mendapat banyak resistensi. Padahal, data tersebut berguna bagi otoritas untuk melakukan proses bisnis seperti uji kapatuhan wajib pajak berbasis data.

Kelima, sinkronisasi antarpemangku kebijakan yang kurang. Sebagai akibatnya, kebijakan tidak dapat diterapkan secara optimal karena bertentangan atau tidak sejalan dengan kebijakan lain yang dihasilkan oleh institusi lain.

“Kami terbuka untuk menerima saran bagaimana susun kebijakan perpajakan dan dapat meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Reformasi organisasi juga terus kami lakukan saat ini,” imbuhnya. (kaw)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.