KEBIJAKAN PAJAK

Bangun Kepatuhan Kooperatif, Penerapan CRM Perlu Didukung dengan TCF

Muhamad Wildan
Minggu, 30 Juni 2024 | 12.30 WIB
Bangun Kepatuhan Kooperatif, Penerapan CRM Perlu Didukung dengan TCF

Manager of DDTC Fiscal Research and Advisory Denny Vissaro saat memberikan paparannya dalam webinar Digitalisasi Kebijakan Perpajakan untuk Mendukung Transformasi Ekonomi yang digelar oleh Himpunan Mahasiswa Program Studi (HPMS) Perpajakan Universitas Sebelas Maret (UNS), Minggu (30/6/2024).

JAKARTA, DDTCNews – Implementasi compliance risk management (CRM) dalam pembaruan sistem inti administrasi pajak (coretax administration system) oleh Ditjen Pajak (DJP) perlu didukung dengan penerapan tax control framework (TCF) oleh wajib pajak.

Manager of DDTC Fiscal Research and Advisory (FRA) Denny Vissaro menilai implementasi CRM dan TCF secara bersamaan oleh kedua pihak diperlukan dalam rangka mewujudkan kepatuhan kooperatif (cooperative compliance).

"Ini belum umum diterapkan di Indonesia, tetapi ini bisa diantisipasi karena umumnya di banyak negara yang sudah menerapkan transformasi teknologi, nantinya diikuti dengan TCF pada wajib pajak," katanya, Minggu (30/6/2024).

Denny mengumpamakan TCF sebagai CRM yang diterapkan oleh wajib pajak atas dirinya sendiri. Dengan TCF, wajib pajak memiliki tata kelola internal guna memastikan seluruh transaksi dan keputusan bisnis yang diambil sudah sejalan dengan ketentuan pajak yang berlaku.

Dengan TCF, aspek perpajakan dari suatu transaksi dan keputusan bisnis bukanlah sesuatu yang baru dipikirkan belakangan, melainkan sudah dipertimbangkan dan dipetakan sejak awal. Melalui TCF, ketidakpatuhan-ketidakpatuhan yang bersifat insidental bakal bisa dihindari.

"TCF adalah suatu tata kelola untuk menjamin atau memberikan assurance bahwa wajib pajak ini mampu mengidentifikasi risiko-risiko pajak. Ini jalan untuk membuktikan ke otoritas bahwa saya adalah wajib pajak low-risk, syukur-syukur bisa zero-risk," ujar Denny.

Pada banyak negara, lanjut Denny, TCF sering kali hanya diimplementasikan terhadap wajib pajak-wajib pajak besar. Namun, dia berpandangan terdapat kemungkinan TCF diterapkan menyeluruh kepada seluruh wajib pajak secara umum.

"Ketika nanti proses CRM, TCF, dan PSIAP makin terimplementasi dengan baik, digitalisasi ini nanti bisa mencapai cooperative compliance atau bahkan seamless compliance untuk hal lainnya. Semua sudah terintegrasi dan ada asas timbal balik atau resiprokal antara wajib pajak dan otoritas, keduanya sama-sama memiliki hubungan yang kooperatif," ujar Denny.

Dengan cooperative compliance yang didukung CRM dan TCF, otoritas pajak bakal memiliki data yang terintegrasi dan lebih terstandardisasi. Peningkatan kualitas data tersebut pada akhirnya akan membantu DJP dalam proses pengambilan keputusan.

Bagi wajib pajak, lanjut Denny, kehadiran cooperative compliance bakal memberikan kepastian perlakuan dan menurunkan biaya kepatuhan (cost of compliance).

"Ada kepastian yang diberikan ke kita. Saya sudah aman karena tahu kalau saya patuh, atau sebaliknya saya tidak aman karena saya tahu menyembunyikan sesuatu," tuturnya.

Sebelumnya, Kepala Bidang Data dan Pengawasan Potensi Perpajakan Kanwil DJP Jakarta Khusus Yari Yuhariprasetia mengatakan kantor pusat DJP sedang menyiapkan regulasi khusus guna menerapkan cooperative compliance model.

"Ini adalah pendekatan yang agak berbeda untuk wajib pajak tertentu, hanya untuk wajib pajak yang sudah patuh," katanya. (rig)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.