Pekerja menjemur kain saat proses produksi kain pantai di Desa Laban, Mojolaban, Sukoharjo, Jawa Tengah, Sabtu (14/9/2024). ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha/agr
TEORI tak selalu mudah untuk diterapkan. Bagi Nurul (27 tahun), seorang pebisnis kuliner, konsep pembukuan dan pencatatan belum sepenuhnya diterapkan dalam bisnis yang dijalankannya. Baginya, selama bisnisnya berjalan dan menguntungkan, itu sudah cukup. Tak perlu lah, mencatat informasi keuangan usaha.
Namun, ketika tiba waktunya untuk melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan atas pajak penghasilan (PPh), Nurul kelimpungan. Ada kalanya dia lupa detail omzet yang diperoleh. Bahkan dia tidak sepenuhnya memahami mengenai kewajiban perpajakan yang perlu dipatuhi oleh pelaku UMKM. Ujung-ujungnya, Nurul tidak tahu persis berapa pajak yang perlu dibayarkan.
"Ternyata perlu ya, pencatatan? Selama ini saya sering terkendala karena uang pribadi dan uang usaha tercampur jadi satu," kata Nurul.
Ketidaktahuan Nurul mengenai aspek pajak bagi UMKM dan ilmu mengenai akuntansi perpajakan akhirnya terjawab melalui Business Development Services (BDS), sebuah program pendampingan UMKM yang dijalankan oleh Ditjen Pajak (DJP). Melalui BDS, Nurul mendapat penjelasan secara komprehensif mengenai kewajiban pajak yang perlu dijalankannya dan tip serta trik yang bisa dia lakukan agar bisnisnya lebih berkembang.
"Tak cuma soal informasi perpajakan, BDS juga memberi saya kesempatan untuk bertemu dengan pelaku UMKM lainnya dan saling bertukar pikiran mengenai usaha yang dijalankan. Salah satunya, bagaimana menjalankan promosi yang efektif," katanya.
Nurul tidak sendiri. Total, ada 65 juta pelaku UMKM di Indonesia hingga 2024, berdasarkan data Kementerian Koperasi dan UKM. Angka tersebut menyumbang lebih dari 60% PDB Indonesia dan menyediakan lapangan kerja bagi jutaan pekerja. Ujungnya, keberadaan UMKM ikut mengurangi pengangguran.
Keberadaan Nurul dan puluhan juta UMKM lainnya di Indonesia sudah terbukti tahan banting. Kementerian Keuangan merekam sektor UMKM ampuh bertahan hidup melewati krisis ekonomi skala besar pada 1998 dan 2008.
Pada 1998, di tengah krisis moneter dahsyat, hanya 34% pelaku UMKM yang omzetnya anjlok. Pada 2008, buntut dari kredit macet perumahan di Amerika Serikat, UMKM mampu menjaga pertumbuhan ekonomi sebesar 5,8%. Ada andil konsumsi rumah tangga yang masih tinggi pada saat itu.
Besarnya kontribusi UMKM terhadap perekonomian RI, membuat pemerintah memberikan perhatian khusus terhadap sektor ini. Sejumlah fasilitas telah diberikan, termasuk terkait dengan kebijakan pajak, untuk mendukung pengembangan UMKM.
Salah satu dukungan yang diberikan melalui DJP adalah program pengembangan usaha yang disediakan khusus bagi pelaku UMKM berjuluk Business Development Services (BDS). Program ini merupakan salah satu strategi pembinaan dan pengawasan terhadap wajib pajak UMKM utnuk mengembangkan usahanya.
Program BDS telah direncanakan melalui penelitian dan kajian sejak 2014. Namun, implementasi penuhnya baru berjalan mulai 2018 sebagai bagian dari edukasi pajak.
Saat ini, BDS telah diterapkan di seluruh kantor pelayanan pajak di Indonesia. Untuk mengembangkan bisnis UMKM, DJP menyediakan berbagai tema pendampingan dalam BDS. Antara laiun, business scale up, branding, digital marketing, ekspor, pengadaan, pembukuan dan akuntansi, legal dan perizinan, keuangan, dan perpajakan.
Ada dua metode dalam BDS. Metode independen dan kolaboratif. Dengan metode independen, KPP melakukan pembinaan usaha kepada UMKM secara mandiri tanpa ada kerja sama dengan instansi lain.
Dengan metode kolaborasi, DJP dapat bekerja sama dengan lembaga pemerintah, asosiasi bisnis, kementerian, serta pihak lain.
Sekjen Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo) Edy Misero mengapresiasi pendekatan yang dijalankan DJP terhadap pelaku UMKM. Namun, dia memberikan catatan perbaikan. Menurutnya, DJP harus memberikan intonasi yang menyejukkan bagi pelaku UMKM. Fiskus, menurutnya, harus memosisikan diri sebagai mitra bagi wajib pajak UMKM.
"Memang approach-nya yang harus kita ubah, dan percayalah bahwa pelaku UMKM punya prinsip yang wise, mau memberikan kontribusi bagi bangsanya. Semuanya tergantung bagaimana cara kita mengkomunikasikan kebijakan. Daripada mengatakan 'ayo membayar pajak', lebih baik UMKM diajak memberikan kontribusi bagi pembangunan bangsanya," kata Edy.
BESARNYA jumlah pelaku UMKM di Tanah Air juga meninggalkan tantangan bagi otoritas pajak. Banyaknya pelaku UMKM belum sejalan dengan pemenuhan kewajiban perpajakannya.
DJP mencatat hingga 2022, dari 65 juta pelaku UMKM di Indonesia, baru sekitar 2,3 UMKM yang telah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Jumlah wajib pajak terdaftar dalam sistem administrasi perpajakan dan angka penerimaan pajak yang berasal dari UMKM terbilang jauh dari kondisi yang seharusnya.
Kontradiksi yang terjadi menunjukkan UMKM masih tergolong sebagai shadow economy di Indonesia. Shadow economy, atau kerap juga disebut underground economy, merupakan sektor ekonomi yang selama ini tak tersentuh sistem perpajakan.
Belum cakapnya pelaku usaha dalam menjalankan pembukuan menjadi salah satu faktor yang membuat UMKM masuk hard-to-tax sector. Pengenaan pajak bagi pelaku UMKM pun belum bisa diperlakukan dengan ketentuan umum atau normal seperti sektor formal.
MERESPONS fakta basis pajak pada sektor UMKM yang belum terpetakan dengan baik, pemerintah pun melakukan modifikasi pendekatan. Konsep presumptive tax digunakan untuk meningkatkan kepatuhan pajak para pelaku UMKM.
Simplifikasi perhitungan pajak dikenalkan melalui konsep pajak penghasilan (PPh) final. Rezim ini sekaligus menjadi jembatan bagi sektor informal untuk beralih ke sektor formal agar mulai masuk sistem administrasi perpajakan.
Jurus pendekatan pertama diluncurkan pada 2013 melalui Peraturan Pemerintah (PP) 46/2013. Pemerintah menawarkan perhitungan pajak secara sederhana dengan tarif PPh final 1% dari omzet. Beleid ini menyasar wajib pajak yang menjalankan usahanya dengan peredaran bruto di bawah Rp4,8 miliar.
Namun, keringanan yang ditawarkan melalui PP 46/2013 masih memunculkan celah penghindaran pajak. Salah satunya dikarenakan tidak adanya batas waktu penggunaan rezim PPh final. Selama wajib pajak memiliki bisnis dengan omzet di bawah Rp4,8 miliar per tahun, mereka bisa menggunakan tarif PPh final.
Skema tersebut lantas memungkinkan pelaku usaha untuk dengan sengaja tidak melakukan ekspansi bisnisnya menjadi lebih besar. Bisa saja mereka menjaga omzet di bawah Rp4,8 miliar agar tetap bisa menikmati PPh final 1%. Artinya, PPh final 1% yang disodorkan melalui PP 46/2013 bersifat abadi.
Perubahan kemudian dilakukan pemerintah melalui PP 23/2018 yang mencabut PP 46/2013. Tarif PPh final dipangkas dari 1% menjadi 0,5%. Menyikapi munculnya 'PPh final abadi' maka PP 23/2018 memberlakukan batas waktu pemanfaatan. Beleid ini kemudian terakhir diperbarui melalui PP 55/2022 tanpa mengubah aturan soal batas pemanfaatan PPh final UMKM.
Batas waktu 7 tahun untuk wajib pajak orang pribadi; 4 tahun untuk wajib pajak badan berbentuk koperasi, persekutuan komanditer (CV), atau firma; dan 3 tahun untuk wajib pajak badan berbentuk perseroan terbatas (PT).
Selepas jangka waktu pemanfaatan PP 23/2018 habis, wajib pajak harus menghitung PPh-nya berdasarkan pada tarif normal sesuai Pasal 17 UU PPh. Artinya, wajib pajak perlu melakukan pembukuan dan menghitung pajak sesuai dengan tarif normal.
Hal ini sejalan dengan hasil kajian yang disampaikan dalam DDTC Working Paper bertajuk Meninjau Konsep dan Relevansi PPh Final di Indonesia. Pengenaan PPh final secara terus-menerus bisa berisiko menimbulkan suatu perencanaan pajak.
Bagi otoritas pajak, pemberlakuan jangka waktu atas pemanfaatan PPh final 0,5% merupakan pendorong bagi UMKM agar bisa naik kelas. UMKM diharapkan bisa berkembang dengan menaikkan omzet serta skala usahanya menjadi lebih besar.
Hal ini memang selaras dengan tujuan pemerintah memberlakukan PPh final terhadap entitas usaha beromzet kurang dari Rp4,8 miliar per tahun. Kelompok usaha UMKM diharapkan secara bertahap bisa masuk ke dalam sistem perpajakan dan memberikan kontribusinya terhadap penerimaan.
Sebenarnya, selepas pemanfaatan tarif PPh final 0,5% melalui PP 55/2022, pelaku UMKM masih berpeluang mendapat keringanan melalui Pasal 31E UU PPh. Beleid itu menyebutkan bahwa wajib pajak dalam negeri beromzet sampai dengan Rp50 miliar mendapat fasilitas pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif umum (Pasal 17) yang dikenakan atas penghasilan kena pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp4,8 miliar.
Pelaku UMKM juga masih bisa menggunakan skema norma penghitungan penghasilan neto (NPPN) agar penghitungan pajak terutang tetap berbasis omzet usaha.
MERESPONS kondisi tersebut, Sekjen Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo) Edy Misero memandang pemberian perlakuan pajak khusus bagi UMKM melalui PPh final PP 55/2022 dan Pasal 31E UU PPh masih perlu dilanjutkan. UMKM masih butuh stimulus.
Pemerintah, ujar Edy, perlu mengevaluasi kembali apakah tujuan dari pemberian fasilitas PPh final 0,5% sudah tercapai. Paling mudah adalah dengan menjawab pertanyaan, apakah UMKM benar-benar sudah naik kelas?
"Kalau memang belum tercapai, ya harus dilanjutkan dulu," katanya.
Ahli Utama Pengembangan Kewirausahaan Kementerian Koperasi dan UKM Hanung Harimba Rachman menilai berbagai insentif dari sisi pajak memang masih diperlukan pelaku UMKM.
Namun, menurutnya ada aspek lain yang perlu diperhatikan ketimbang semata-mata berbicara soal tarif pajak. Menurutnya, aspek krusial yang justru paling dibutuhkan UMKM adalah kepastian berusaha dan kemudahan perizinan. Pelaku UMKM juga membutuhkan jaminan rasa aman saat menjalankan usaha.
“Jadi, self-assessment terkait pajak ini bisa berjalan dengan baik saat wajib pajak UKM ini merasa dijamin,” katanya.
Di sisi lain, Hanung juga berharap agar sosialisasi terkait pelaksanaan pembukuan bagi pelaku UMKM makin digencarkan. DJP, menurutnya, sebagai otoritas yang punya gawe terkait dengan perluasan basis pajak dari sektor UMKM perlu menggenjot lagi pelaksanaan pendampingan pembukuan dan menyederhanakan administrasi perpajakan.
Project Leader UKM Indonesia LPEM FEB Universitas Indonesia (UI) Dewi Meisari Haryanti, dalam sebuah wawancara, mengatakan sudut pandang pemberdayaan perlu diarahkan untuk pengembangan kapasitas pelaku usaha. Pendampingan terhadap pelaku UMKM memang tidak bisa diserahkan sepenuhnya kepada DJP melalui program Business Development Services (BDS).
Dari sisi urusan pajak, menurutnya, perlu sosialisasi yang lebih masif. Sosialisasi terutama dari sisi teknis pajak. Pasalnya, dari pengalaman pendampingan yang dilakukan Dewi, masih banyak yang mengalami kebingungan dalam pelaporan dan pembayaran pajak.
Menurut dia, persoalan administrasi pajak akan lebih efektif jika tidak melakukan pendekatan langsung kepada pelaku UMKM. Pelaku UMKM bisa mendapatkan bantuan dari konsultan pajak. Oleh karena itu, rasio konsultan pajak terhadap jumlah UMKM perlu ditingkatkan.
“Mereka pusing diajarin pajak. Bagaimana caranya agar jasa pendampingan pajak bisa dibuat lebih available sehingga nilai jasanya bisa turun juga. Dengan demikian, affordable bagi UMKM. Bisa juga melalui skema konsultan bisa reimburse subsidinya ke pemerintah. Detailnya perlu dipikirkan,” jelasnya. Baca 'Ketika UMKM Sudah Harus Meninggalkan Rezim PPh Final'.
Alur kebijakan pemerintah untuk mendorong pelaku UMKM masuk ke sektor formal memang menarik untuk ditinjau. Perluasan basis pajak memang mutlak diperlukan oleh negara ini demi menarik penerimaan yang lebih optimal.
Hanya saja, bukan perkara mudah untuk 'memaksa' pelaku UMKM menjalankan kewajiban perpajakannya secara normal dengan optimal. Pemerintah perlu memastikan pelaku UMKM memang siap menuju ketentuan pajak normal. (sap)