LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2020

Memanfaatkan Data Uang Elektronik untuk Perpajakan

Redaksi DDTCNews
Kamis, 22 Oktober 2020 | 09.54 WIB
ddtc-loaderMemanfaatkan Data Uang Elektronik untuk Perpajakan

Qadri Fidienil Haq,

Jatinegara, Jakarta Timur

SEJAK beberapa tahun terakhir, penggunaan transaksi nontunai melalui uang elektronik berkembang pesat. Berdasarkan data Bank Indonesia, pada 2019, penggunaan uang elektronik mencapai 5,2 miliar transaksi meningkat jauh dibandingkan dengan posisi 2016 yang hanya 683 juta. 

Dalam kondisi pandemi Covid-19, jumlah uang elektronik di Indonesia tetap meningkat signifikan. Pada Juli 2020, jumlah uang elektronik beredar mencapai 359 juta instrumen. Pada akhir 2019 jumlah uang elektronik 292 juta instrumen. Sedangkan, pada akhir 2016 hanya 51 juta instrumen.

Salah satu alasan peningkatan uang elektronik beredar adalah penerimaan teknologi informasi (Neda, 2014). Di Indonesia, inklusivitas teknologi uang elektronik ini semakin luas seiring dengan kampanye masif dari penerbit uang elektronik, seperti diskon, cashback, dan loyalty point.

Tidak hanya di Indonesia, penggunaan uang elektronik juga populer di berbagai negara. Pada 2019, jumlah transaksi menggunakan uang elektronik di China telah mencapai 90% dari seluruh transaksi pembayaran, atau yang terbanyak di dunia (Klein, 2020).

Jepang telah mendorong penggunaan uang elektronik dengan mengembalikan pajak penjualan atas pembayaran dengan memakai uang elektronik. Di Amerika Serikat, penggunaan uang elektronik juga semakin populer sejak perusahaan seperti Apple dan Paypal memperkenalkan uang elektronik.

Dibandingkan dengan uang fisik, uang elektronik jauh lebih mudah dipantau. Teknologi informasi yang dipakai uang elektronik memudahkan penyimpanan data transaksinya. Data transaksi ini berupa identitas pengirim, identitas penerima, nilai transaksi, dan waktu terjadinya transaksi.

Pemanfaatan Perpajakan
DALAM konteks perpajakan, penggunaan uang elektronik ini memberikan keuntungan ke pemerintah dalam pengawasan kepatuhan wajib pajak. Menurut Immordino dan Russo (2020), penggunaan pembayaran nontunai dapat mencegah penggelapan pajak.

Pemerintah dapat mengumpulkan data penggunaan uang elektronik atas penjualan pada suatu wajib pajak. Data ini dapat dikombinasikan dengan data pembayaran nontunai lain yang disediakan wajib pajak. Dengan demikian, peredaran usaha wajib pajak dapat diketahui dengan lebih akurat.

Jumlah peredaran usaha ini dapat menjadi dasar informasi bagi pemerintah untuk melakukan imbauan atau penegakan hukum kepada wajib pajak agar melaksanakan kewajiban perpajakan dengan benar.

Wajib pajak dapat diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak atau dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak jika telah memenuhi ketentuan, tetapi belum melaksanakan kewajibannya. Peredaran usaha bisa menjadi bukti pemeriksaan apabila wajib pajak tidak melaporkan usahanya dengan tidak benar.

Selain itu, uang elektronik pada usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) juga dapat menjadi salah solusi atas shadow economy. Uang fisik adalah faktor berpengaruh dalam shadow economy dan penghindaran pajak. Tanpa uang fisik, shadow economy dapat menurun 15-20% (Schneider, 2019).

Selama ini banyak transaksi pada UMKM yang menggunakan uang fisik sehingga sulit dideteksi. Padahal, berdasarkan data Kementerian Koperasi dan UKM, kontribusi UMKM terhadap produk domestik bruto (PDB) pada 2019 mencapai 60% dari PDB.

Transaksi dengan uang fisik ini sulit diawasi oleh pemerintah karena sulitnya mendapatkan data yang akurat. Sebaliknya, uang elektronik dapat menyediakan data atas transaksi dengan mudah dan dapat diandalkan oleh pemerintah untuk mengetahui aktivitas ekonomi yang terjadi.

Dua Landasan
PEMERINTAH harus menangkap peluang peningkatan penggunaan uang elektronik ini untuk kepentingan perpajakan dengan mempersiapkan setidaknya dua landasan. Pertama, pemerintah harus menyempurnakan regulasi terkait dengan akses informasi keuangan.

Saat ini, regulasi tersebut diatur berdasarkan UU Nomor 9 Tahun 2017 dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 19/PMK.03/2018. Dalam PMK tersebut, objek akses informasi keuangan adalah lembaga jasa keuangan. 

Uang elektronik diawasi Bank Indonesia (BI) berdasarkan UU BI dan Peraturan BI No. 20/6/PBI/2018. Regulasi tersebut harus disempurnakan agar Ditjen Pajak (DJP) mempunyai landasan hukum yang jelas dan kuat untuk mengakses data uang elektronik yang diawasi Bank Indonesia.

Kedua, pemerintah, Bank Indonesia, dan penerbit uang elektronik perlu memiliki pemahaman yang sama dalam memanfaatkan data uang elektronik untuk kepentingan perpajakan. Dengan pemahaman yang sama, sinergi ketiganya dapat terlaksana dan memudahkan tatanan operasional.

Sosialisasi dapat dilakukan untuk memberikan pemahaman pentingnya data uang elektronik untuk kepentingan penerimaan negara. Di samping itu, pemerintah wajib memberikan jaminan penuh data uang elektronik tersebut terjaga kerahasiaannya dari pihak yang tidak berkepentingan.

Pemanfaatan data uang elektronik membutuhkan dukungan infrastruktur teknologi informasi yang memadai. Pemerintah perlu mengembangkan infrastruktur teknologi informasi untuk dapat mengolah data uang elektronik.

Infrastruktur ini juga dapat digunakan untuk mengolah berbagai data yang dikumpulkan DJP dengan mengintegrasikan data uang elektronik untuk membentuk database yang andal. Pemerintah juga perlu membangun suatu sistem akses informasi secara online atas data uang elektronik.

Akses secara online akan memudahkan penerbit uang elektronik untuk memberikan data dalam jumlah sangat besar dengan cepat. Saat ini, akses informasi keuangan masih menggunakan cara manual sehingga membuat pemberian data oleh lembaga keuangan kurang efektif dan efisien.

Pengembangan teknologi informasi dapat membantu analisis atas data uang elektronik yang cepat dan akurat sehingga akan mendukung pengawasan dan pendeteksian ketidakpatuhan wajib pajak terhadap aturan perpajakan dalam waktu singkat.

Dengan pemanfaatan data uang elektronik untuk perpajakan, pengawasan yang dilakukan pemerintah dapat mendorong peningkatan kepatuhan wajib pajak. Dampak akhirnya penerimaan pajak dapat bertambah seiring dengan meluasnya basis pajak.

Editor :
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
user-comment-photo-profile
D Virda T
baru saja
Fresh! Menginspirasi!
user-comment-photo-profile
Hendi
baru saja
👍👍
user-comment-photo-profile
Harib Luthfi F
baru saja
Betul, asal ada kemauan politik dari pemerintah. Kebijakan ini membutuhkan sinergi antarlembaga. Sama seperti data transaksi kartu kredit.
user-comment-photo-profile
Romax
baru saja
Tarik ses, semongko.