Muhammad Kamarullah,
SEPANJANG 2020, perekonomian Indonesia terkontraksi cukup dalam hingga akhirnya resesi tidak terhindarkan. Pada kuartal II/2021, Indonesia akhirnya keluar dari resesi dengan capaian pertumbuhan ekonomi 7,07% secara tahunan.
Di tengah momentum pemulihan ekonomi nasional, pemerintah terus melanjutkan reformasi perpajakan. Berbagai usulan kebijakan dimasukkan dalam RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Salah satunya terkait dengan kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN).
Usulan kenaikan tarif PPN ini disebut-sebut sebagai kebijakan lanjutan untuk mengompensasi penurunan penerimaan akibat pemangkasan tarif pajak penghasilan (PPh) badan. Bagaimanapun, kenaikan tarif PPN akan mampu menambah penerimaan pajak.
Selain itu, perlu juga untuk mencermati sudah optimalkah kontribusi penerimaan PPN dalam pendapatan negara? Berdasarkan pada kinerja pada 2020, total penerimaan PPN tercatat senilai Rp439,14 triliun atau setara dengan 36,63% penerimaan pajak.
Beberapa negara, seperti Arab Saudi, Nigeria, dan Moldova, juga telah memutuskan kenaikan tarif PPN. Kebijakan ini ditempuh pada saat krisis dan pascakrisis karena pajak berbasis berbasis konsumsi dinilai relatif lebih stabil dibandingkan dengan pajak penghasilan (PPh).
Penyesuaian, termasuk kenaikan, tarif PPN tidak melanggar ketentuan karena sudah diberikan ruang dalam UU PPN. Sesuai dengan ketentuan, pemerintah memiliki ruang untuk menaikkan tarif PPN hingga maksimal 15%. Namun, kenaikan harus didahului dengan pembahasan dengan DPR.
Usulan kebijakan ini juga dapat diletakkan dalam konteks upaya pemerintah melakukan konsolidasi fiskal secara bertahap. Dengan adanya tambahan penerimaan pajak dari pos PPN, pemerintah bisa mengurangi pembiayaan lewat utang untuk mencukupi kebutuhan belanja negara.
Pada dasarnya, keberlangsungan APBN dibutuhkan untuk membiayai berbagai program pembangunan yang telah direncanakan pemerintah. Berbagai tujuan seperti peningkatan lapangan kerja, pertumbuhan ekonomi berkelanjutan, dan kestabilan harga juga jadi sasaran.
Urgensi peningkatan penerimaan pajak muncul untuk menjaga keberlangsungan APBN. Apalagi, dengan pemberian berbagai stimulus pajak, pemerintah telah memperlebar defisit anggaran lebih dari 3% terhadap produk domestik bruto (PDB). Patokan defisit itu harus kembali normal mulai 2023.
NAMUN demikian, tetap perlu disadari, PPN merupakan kategori pajak tidak langsung (indirect taxes). Jika tarif dinaikkan, tetap akan ada risiko terpukulnya daya beli masyarakat. Apalagi, pandemi Covid-19 telah lebih dahulu menghantam daya beli masyarakat.
Daya beli, yang berkorelasi dengan konsumsi masyarakat, memang harus dibangkitkan kembali. Apalagi, kontribusi terbesar PDB Indonesia hingga saat ini masih berasal dari konsumsi masyarakat. Oleh karena itu, kenaikan tarif PPN berisiko memperberat beban masyarakat.
Kondisi itu perlu disadari. Di tengah situasi ekonomi yang masih belum pasti, pemangku kebijakan tetap harus objektif dalam mengambil keputusan. Jangan sampai keputusan kebijakan yang diambil justru membebani masyarakat.
Dengan demikian, kenaikan tarif PPN tentu membutuhkan kajian mendalam. Apalagi jika kenaikan PPN berimplikasi pada kenaikan harga pangan seperti daging, cabai, bawang, dan sebagainya. Ekspektasi inflasi juga harus diperhatikan. Jangan sampai kenaikan tarif PPN justru menjadi ironi.
Kembali lagi, rencana pemerintah ini bisa dipahami untuk menjaga keberlangsungan fiskal pascapandemi. Justifikasi yang disampaikan memang rasional. Namun, pemerintah tetap harus memastikan adanya antisipasi atas berbagai risiko yang mungkin muncul dan justru menekan ekonomi.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2021. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-14 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp55 juta di sini.