LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2022

Saatnya Mengenakan Pajak Progresif atas Tanah?

Redaksi DDTCNews
Rabu, 28 September 2022 | 14.36 WIB
ddtc-loaderSaatnya Mengenakan Pajak Progresif atas Tanah?

Benny Gunawan Ardiansyah,

Kota Jakarta Timur, DKI Jakarta

KONFLIK Rusia dan Ukraina memunculkan kekhawatiran dunia terhadap ketahanan pangan, sebagaimana dinyatakan Presiden Joko Widodo. Salah satu penyebab terganggunya ketahanan pangan Indonesia adalah hilangnya lahan produktif pertanian sekitar 100.000 hektar per tahun.

Selain pangan, pemerintah Indonesia juga menghadapi permasalahan pemenuhan kebutuhan dasar lain, yakni penyediaan rumah tinggal. Berdasarkan pada data Lembaga Demografi Universitas Indonesia, sebanyak 20,5% penduduk Indonesia tidak memiliki rumah.

Kurang lebih 50 juta penduduk belum memiliki rumah dengan angka backlog cukup tinggi, yakni sekitar 15 juta unit. Permasalahan yang mendesak adalah penyediaan lahan bagi generasi milenial. Ada kekhawatiran tentang nasib generasi muda yang makin sulit membeli rumah.

Mantan Menteri Perekonomian Darmin Nasution menyatakan kenaikan gaji pegawai paling tinggi sebesar 10% per tahun tidak akan mampu mengejar kenaikan harga tanah antara 20%-50%, terutama di kota-kota besar.

Salah satu konsep yang digunakan di seluruh dunia adalah penerapan land banking (bank tanah) sebagai sarana manajemen pertanahan. Konsep ini digunakan sebagai salah satu solusi untuk memperoleh tanah, sekaligus meredam gejolak tanah di perkotaan.

Bank tanah sebagai manajemen pertanahan biasa diterapkan untuk mengonsolidasikan tata ruang pertanahan, mengendalikan gejolak harga tanah, mengefektifkan manajemen pertanahan, mencegah terjadinya pemanfaatan yang tidak optimal, dan mengembangkan tata perkotaan baru.

Guru Besar Hukum Agrarian UGM Maria Soemardjono merumuskan bahwa bank tanah adalah setiap kegiatan pemerintah untuk menyediakan tanah yang akan dialokasikan peggunaannya pada kemudian hari.

Akan tetapi, penyelesaian dengan regulasi dan manajemen aset harus dilengkapi dengan instrumen lainnya. Salah satunya adalah instrumen fiskal berupa pengenaan pajak yang berkaitan dengan fungsi regulerend.

Salah satu tujuan utamanya adalah menekan pembelian tanah untuk kepentingan spekulatif. Hal ini menjadi suatu tindakan yang diambil hampir seluruh penduduk dengan kekayaan di atas rata-rata. Selain itu, perlu ada dorongan kepada sektor swasta agar lebih berani melakukan pengembangan kawasan, baik itu kawasan industri, bisnis, maupun pemukiman penduduk.

Penggunaan Instrumen Fiskal

TIDAK bisa dimungkiri, perkembangan pesat kawasan industri, perumahan, pusat perdagangan, atau bisnis banyak dikembangkan sektor swasta. Lahan banyak dikuasai para developer. Mereka pun masih tetap berlomba untuk mencari cadangan lahan (landbank) baru agar ekspansi bisnis tetap berlanjut. Penimbunan cadangan lahan inilah yang mengakibatkan ketersediaan lahan untuk pemukiman makin menipis.

Salah satu instrumen fiskal yang bisa diterapkan adalah pengenaan pajak progresif terhadap tanah yang menganggur (idle). Berdasarkan pada Undang-Undang Pokok Agraria, pemerintah memiliki hak mencabut izin kepemilikan tanah yang menganggur dan menjadikannya sebagai milik negara.

Alih-alih pencabutan izin, pengenaan pajak progresif diharapkan membuat pemilik lahan segera memanfaatkan tanah-tanah yang dimilikinya agar lebih produktif. Pengenaan pajak progresif dalam jangka waktu beberapa tahun ke depan dapat membuat para pemilik lahan berpikir tentang makin besarnya beban pajak.

Terdapat tiga skema yang dapat diterapkan. Pertama, skema tarif pajak progresif atas tanah. Makin banyak tanah yang dimiliki maka tarif pajak akan makin besar.

Kedua, laba atas penjualan tanah akan dikenakan pajak capital gain. Kebijakan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2016 dengan tarif terbesar 2,5% menjadi kontra produktif karena terjadi penurunan tarif pajak.

Ketiga, tanah tidak produktif–tanah yang menganggur atau tanpa rencana pembangunan yang jelas–akan dikenakan pajak.

Pada 2017, pemerintah berencana mengenalkan jenis pajak ini. Sofyan Djalil, Menteri Agraria dan Tata Ruang saat itu, berpendapat pajak progresif atas tanah yang dianggap menganggur tidak akan mengganggu iklim investasi. Pengenaan pajak akan dibebaskan atas kawasan industri dan tanah yang memiliki tujuan pembangunan jelas.

Sebagaimana pajak karbon yang sudah ditetapkan sebagai jenis pajak baru di Indonesia, terdapat permasalahan tentang implementasi konsep jenis pajak progresif atas tanah.

Hasil kajian World Bank menunjukkan terdapat hambatan terkait dengan definisi, identifikasi, struktur objek pajak, dan pelaksanaan pemungutan pajak. Hampir seluruh negara yang menerapkan jenis pajak ini memberikan hak pemajakan kepada pemerintah daerah. Oleh karena itu, hambatan berikutnya yang muncul berkaitan dengan kapasitas pemajakan.

Untuk itu, pemungutan pajak ini seharusnya dilakukan oleh pemerintah pusat. Jenis pajaknya dikaitkan dengan capital gain yang dilakukan tanpa menunggu realisasinya. Dibutuhkan suatu terobosan mengingat pajak ini juga berkaitan dengan redistribusi kepemilikan lahan. Adanya pajak progresif atas tanah diharapkan bisa menjadi solusi bagi kesejahteraan masyarakat.

*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2022. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-15 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp55 juta di sini.

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.