BABAK baru kebijakan pajak pertambahan nilai (PPN) akan dimulai 1 April 2022. Babak baru ditandai dengan mulai berlakunya perubahan Undang-Undang (UU) PPN yang masuk dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Salah satu perubahan kebijakan yang mendapat banyak sorotan adalah dihapusnya sejumlah barang dan jasa dari daftar objek yang tidak dikenai PPN. Perubahan ketentuan ini terlihat pada Pasal 4A UU PPN s.t.d.t.d UU HPP. Artinya, sejumlah barang dan jasa itu menjadi objek PPN.
Namun, penghapusan tersebut tidak secara otomatis membuat seluruh barang dan jasa itu dikenakan PPN. Dalam UU PPN s.t.d.t.d UU HPP, pemerintah memberikan fasilitas PPN terutang tidak dipungut sebagian atau seluruhnya serta fasilitas PPN dibebaskan terhadap sejumlah barang dan jasa.
Lantas, apa itu fasilitas PPN terutang tidak dipungut dan fasilitas PPN dibebaskan?
PPN terutang tidak dipungut sebagian atau seluruhnya dan PPN dibebaskan merupakan fasilitas yang diatur dalam Pasal 16B UU PPN s.t.d.t.d UU HPP. Baik fasilitas tidak dipungut maupun dibebaskan bukanlah jenis fasilitas baru karena telah diatur dan diberikan sebelum UU HPP terbit.
Kedua fasilitas tersebut dapat diberikan baik untuk sementara waktu maupun untuk seterusnya. Namun, pemberian kedua fasilitas PPN ini terbatas untuk:
Perincian ketentuan mengenai fasilitas PPN terutang tidak dipungut dan PPN dibebaskan ini akan diatur dalam peraturan pemerintah. Berdasarkan pada penjelasan Pasal 16B, UU PPN tidak membedakan latar belakang pemberian fasilitas tidak dipungut atau dibebaskan.
Kedua fasilitas itu pada hakikatnya dimaksudkan mendukung keberhasilan sektor kegiatan ekonomi yang berprioritas tinggi dalam skala nasional serta mendorong ekspor yang merupakan prioritas nasional di kawasan tertentu atau tempat tertentu.
Pemberian fasilitas PPN terutang tidak dipungut dan dibebaskan juga ditujukan untuk mendorong perkembangan dunia usaha dan meningkatkan daya saing, membantu dalam penanganan bencana alam nasional dan bencana nonalam nasional, serta memperlancar pembangunan nasional.
Lebih lanjut, melalui UU HPP, pemerintah menambahkan ayat baru yaitu Pasal 16B ayat (1a) dalam UU PPN. Ayat baru tersebut menerangkan fasilitas PPN terutang tidak dipungut sebagian atau seluruhnya dan fasilitas PPN dibebaskan diberikan terbatas untuk 10 tujuan.
Pertama, mendorong ekspor dan hilirisasi industri yang merupakan prioritas nasional. Kedua, menampung kemungkinan perjanjian dengan negara lain dalam bidang perdagangan dan investasi, konvensi internasional yang telah diratifikasi, serta kelaziman internasional lainnya.
Ketiga, mendorong peningkatan kesehatan masyarakat melalui pengadaan vaksin dalam rangka program vaksinasi nasional. Keempat, meningkatkan pendidikan dan kecerdasan bangsa dengan membantu tersedianya buku pelajaran umum, kitab suci, dan buku pelajaran agama dengan harga yang relatif terjangkau masyarakat.
Kelima, mendorong pembangunan tempat ibadah. Keenam, menjamin terlaksananya proyek pemerintah yang dibiayai dengan hibah dan/atau dana pinjaman luar negeri. Ketujuh, mengakomodasi kelaziman internasional dalam importasi BKP tertentu yang dibebaskan dari pungutan bea masuk.
Kedelapan, membantu tersedianya BKP dan/atau JKP yang diperlukan dalam rangka penanganan bencana alam dan bencana nonalam yang ditetapkan sebagai bencana alam nasional dan bencana nonalam nasional.
Kesembilan, menjamin tersedianya angkutan umum di udara untuk mendorong kelancaran perpindahan arus barang dan orang di daerah tertentu yang tidak tersedia sarana transportasi lainnya yang memadai, yang perbandingan antara volume barang dan orang yang harus dipindahkan dengan sarana transportasi yang tersedia sangat tinggi.
Kesepuluh, mendukung tersedianya barang dan jasa tertentu yang bersifat strategis dalam rangka pembangunan nasional. Fasilitas PPN untuk tujuan ini diberikan dengan sangat selektif dan terbatas, serta mempertimbangkan dampaknya terhadap penerimaan negara. Fasilitas ini antara lain diberikan untuk:
Kendati menyesuaikan ketentuan mengenai fasilitas PPN terutang tidak dipungut dan dibebaskan, UU HPP tidak mendefinisikan keduanya secara harfiah. Namun, kedua fasilitas tersebut dapat dibedakan berdasarkan perlakuan pengkreditan pajak masukannya yang diatur dalam Pasal 16B ayat (2) dan (3) UU PPN.
Adapun pajak masukan yang dibayar atas perolehan BKP dan/atau perolehan JKP yang atas penyerahannya tidak dipungut PPN dapat dikreditkan. Sementara pajak masukan yang dibayar untuk perolehan BKP dan/atau perolehan JKP yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN tidak dapat dikreditkan.
Dari sisi administrasi, fasilitas PPN tidak dipungut dan PPN dibebaskan tidak menggugurkan kewajiban untuk menerbitkan faktur pajak bagi PKP yang menyerahkannya. Hal ini disebabkan karena pada mulanya, transaksi tersebut terutang PPN dan PKP tersebut wajib memungut PPN.
Namun, ketika ketentuan perpajakan menetapkan transaksi tersebut masuk dalam lingkup yang menerima fasilitas PPN maka kewajiban untuk memungut PPN tersebut menjadi gugur, tetapi tidak dengan kewajiban menerbitkan faktur pajak. Untuk kode faktur pajaknya, PPN dibebaskan memiliki kode transaksi 08, sedangkan PPN tidak dipungut memiliki kode transaksi 07. (kaw)