MUDAH saja mengenali sosok Soekarno di tengah keramaian manusia di Sitihinggil, Keraton Yogyakarta siang itu. Peci hitamnya terlihat lebih miring dari biasanya, ke kiri tentu saja.
Pantovel hitam yang dikenakannya juga tampak lebih mengkilap, dengan kaki kiri yang dijulurkan melintang di atas kaki satunya. Sementara tangan kanannya menyiku menahan beban tubuh di atas sandaran kursi, dan tangan kirinya terangkat mendekati muka sembari memainkan jemari.
Tatapan tajamnya sesekali menyisir sekeliling. Mengecek ramainya mahasiswa, tenaga pengajar, dan guru besar Universitas Gadjah Mada (UGM) yang tumpah ruah di salah satu pendopo terbesar milik sultan yang menghadap ke alun-alun utara.
Siang itu, layaknya hari normal di Yogyakarta, udara hangat terbawa angin menembus pagar trancangan menuju bangsal yang ditopang tiang-tiang penuh ukiran. Deret pejabat terduduk mengenakan setelan jas lengkap, dengan dasi yang terikat rapat ke leher, terlihat kurang cocok dengan iklim tropis yang rawan bikin gerah.
Tapi, peristiwa penting siang itu ampuh mengantisipasi bulir keringat yang setetes-dua tetes mengalir dari kening para tamu undangan. Berisiknya suara obrolan mahasiswa—sebagian berdiri tak beraturan di tepi pendopo—spontan berhenti saat sosok yang dinanti-nanti muncul untuk bersiap membacakan pidatonya.
Mengenakan jas krem yang membalut kemeja putih, lengkap dengan peci tentunya, Mohammad Hatta berdiri menghadap mimbar kayu yang disandarkan di atas meja hitam panjang. Dengan kaca mata bulat khas miliknya, Hatta membacakan tulisan sepanjang 17 halaman yang telah disiapkannya.
Siang itu, pada Selasa Legi di akhir November 1956, di hadapan Soekarno dan para civitas academica UGM serta sejumlah tamu undangan, Hatta membacakan pidato berjudul Lampau dan Datang sebagai penerimaannya atas gelar doctor honoris causa.
Lewat pidato itu, Hatta mengajak masyarakat Indonesia merenungkan kembali kemerdekaan yang telah diraih 11 tahun sebelumnya. Republik yang saat itu masih berusia relatif muda, menurutnya, masih banyak mewarisi pola pikir kolonial.
Hatta memandang pemerintahan baru masih belum optimal menjalankan amanat Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. "Selama terjajah banyak bercita-cita, setelah merdeka kehilangan rupa," kata Hatta dalam pidatonya yang dibacakan di hadapan para guru besar UGM.
Lampau dan Datang secara khusus juga menyoroti derasnya arus kapitalisme masuk ke Indonesia pascamerdeka. Pemungutan pajak juga masuk dalam pidatonya. Menurutnya, kebutuhan pembangunan yang mendesak mau tak mau mendorong pemerintah melakukan pemungutan pajak yang lebih masif, termasuk kepada orang pribadi.
"Demikianlah wajah Indonesia, sekarang setelah sekian tahun merdeka. Nyatalah, bahwa bukan Indonesia Merdeka yang semacam ini, yang diciptakan oleh pejuang dahulu," kata Hatta.
Namun, protes Hatta itu bukan spesifik kepada sistem pemungutan pajak, melainkan kepada pengelolaan keuangan negara yang tak mampu mewujudkan pembangunan yang semestinya. Hatta memandang selama sedekade Indonesia merdeka, pembangunan masih jalan di tempat.
Salah satu penyebabnya, menurut Hatta, adalah belum optimalnya desentralisasi kekuasaan oleh pemerintah pusat. Padahal, Pasal 131 UUD Sementara jelas mengatur bahwa daerah diberikan otonomi seluas-luasnya untuk mengurus rumah tangga sendiri.
Keputusan Kementerian Dalam Negeri saat itu, yakni menaruh kewenangan otonomi kepada provinsi dianggap masih serupa dengan sistem hierarki Hindia Belanda. Gubernur jadi memiliki fungsi ganda seperti trait d'union, yakni sebagai kepala daerah dan 'pegawai pemerintah pusat'.
"Apabila mau mendekatkan demokrasi yang bertanggung jawab kepada rakyat, sebaiknya titik berat pemerintah sendiri diletakkan kepada kabupaten. Provinsi menjadi badan koordinasi dari segala kabupaten yang berada di lingkungannya," kata Hatta lantang.
Cita-Cita Hatta dan Desentralisasi Fiskal
Argumentasi Hatta soal distribusi kekuasaan dari pemerintah pusat ke daerah mencakup banyak aspek, termasuk di dalamnya adalah pengelolaan keuangan negara. Dalam hal ini, pentingnya desentralisasi fiskal tercermin dari masih rendahnya local taxing power yang dimiliki setiap daerah.
Sebagai respons terhadap tantangan tersebut, pemerintah telah menerbitkan UU 1/2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD). Beleid itu terbit untuk mendongkrak local taxing power, salah satunya dengan opsen perpajakan daerah antara provinsi dan kabupaten/kota.
Menteri Keuangan Sri Mulyani sempat menjelaskan bahwa pengaturan pemungutan opsen pajak diatur dalam UU HKPD guna mewujudkan sistem administrasi pajak daerah yang berjalan lebih baik, utamanya transparansi yang ikut meningkat.
Namun, reformasi desentralisasi fiskal diakui tak bisa kilat. Sejak zaman Hatta hingga sekarang, pemerintah terus berupaya mendorong kemandirian fiskal daerah. Keberadaan UU HKPD yang berlaku penuh pada 2024 mendatang diharapkan bisa mengharmonisasi hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah.
Hatta memang visioner. Pemikirannya nyaris 70 tahun lalu masih sangat relevan kini. Membangun keadilan fiskal bagi daerah terbukti tidak mudah. Meski begitu, sesuai kata Hatta dalam Lampau dan Datang, dibutuhkan optimisme dalam membangun pengelolaan keuangan negara yang adil.
"[Saya] percaya akan kekuatan regenerasi yang ada di dalam masyarakat kita. Bangsa kita sedang menempuh cobaan untuk merdeka dan bertanggung jawab atas nasib sendiri. Kemerdekaan telah dirasakan, tetapi tanggung jawab belum diinsyafi."