ANALISIS HUKUM PAJAK

Standar Pembuktian dalam Sengketa Pajak

Redaksi DDTCNews
Senin, 11 Februari 2019 | 13.40 WIB
ddtc-loaderStandar Pembuktian dalam Sengketa Pajak
DDTC Consulting

SISTEM pembuktian memang tidak diatur secara gamblang dalam sengketa pajak. Namun, ia bisa jadi merupakan salah satu faktor yang penting terkait dengan beban pembuktian pada sengketa pajak, terutama untuk memperoleh standar pembuktian (standard of proof) atau tingkat kepastian dan tingkat bukti yang diperlukan.

Pada umumnya, standard of proof memiliki standar bertingkat, dimulai dari yang paling tinggi, yaitu ‘tanpa keraguan’ (beyond reasonable doubt), ‘jelas dan meyakinkan’ (clear and convincing),  hingga paling rendah, yaitu ‘lebih mungkin terjadi’ (preponderance of evidence). Lantas, apa yang dimaksud dengan masing-masing standar tersebut?

Pertama, standar ‘beyond reasonable doubt,’ yang dalam Bahasa Indonesia dikenal dengan istilah ‘tanpa keraguan,’ adalah standar kepastian dan keyakinan yang harus dicapai dalam persidangan kasus pidana (Bakhri, 2012).

Jaksa Penuntut Umum wajib untuk bisa memberikan bukti-bukti yang mencapai standar ini dalam membuktikan tuduhannya terhadap terdakwa (Horowitz, 1997). Pada pihak lain, hakim juga harus mencapai standar yang sama ketika akan menjatuhkan hukuman pidana kepada terdakwa.

Dengan kata lain, berdasarkan keyakinan penuh dan bukti-bukti yang ada bahwa tuduhan atas terdakwa benar-benar terjadi, barulah hakim dapat menjatuhkan hukumannya (Bakhri, 2012). Ini dikarenakan asas ‘praduga tak bersalah’ ialah salah satu fondasi dari hukum pidana (Jeffries & Stephan, 1979).

Ketika seseorang dijatuhi hukuman pidana maka bersamaan dengan itu hak kebebasannya juga diambil. Oleh karena itu, masuk akal jika standar kepastian dan keyakinan yang tinggi itu harus dicapai. Dalam hukum acara pidana di Indonesia, hal ‘tanpa keraguan’ ini dapat disimpulkan dari Pasal 298 HIR dan Pasal 183 dalam Undang Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Kedua, standar ‘clear and convincing’ atau ‘jelas dan meyakinkan’ yang berada di bawah standar ‘tanpa keraguan’ (McBaine, 1944). Jika standar ‘tanpa keraguan’ dapat disamakan dengan hampir seratus persen yakin, ‘jelas dan meyakinkan’ ini berada di bawahnya.

Standar ini biasanya dikenal dalam kasus kelalaian atau dalam kasus perdata perbuatan melawan hukum. Penggugat yang membawa kasusnya ke pengadilan seharusnya dapat mempersiapkan dan memberikan bukti-bukti yang ‘jelas dan meyakinkan’ guna mendukung dalilnya. Oleh karena itu, hakim dalam mengeluarkan putusannya seharusnya didasari oleh keyakinan berbasis bukti-bukti yang ‘jelas dan meyakinkan’.

Ketiga, standar ‘preponderance of evidence’ atau ‘lebih mungkin terjadi’ merupakan standar pembuktian yang umumnya harus dicapai dalam persidangan kasus-kasus perdata (McBaine, 1944). Standar ini dianggap cukup rendah, dengan batas bawah persentase keyakinan pada angka 50,1% (Greene & Johns, 2001).

Lantas, bagaimana dengan standar pembuktian di Pengadilan Pajak?

Pengadilan Pajak sebenarnya merupakan ‘anak’ dari Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Dalam hukum acaranya, PTUN tidak mengatur ‘tingkat keyakinan’ untuk pembuktian. UU Pengadilan Pajak juga tidak mengatur standar pembuktian yang harus dicapai untuk sampai pada sebuah putusan.

UU Pengadilan Pajak hanya mengatur mengenai hakim yang menganut asas pembuktian bebas untuk menemukan kebenaran materiel, menentukan beban pembuktian, dan menilai pembuktian tanpa mengatur tingkat keyakinan hakim yang harus dicapai dalam menjatuhkan putusan.

‘Pembuktian bebas’ sendiri berarti hakim bebas melakukan penilaian sesuai kesadaran hukum yang dimilikinya untuk mencari kebenaran (Panggabean, 2014). Berangkat dari teori pembuktian bebas ini, cukup disayangkan bahwa standar pembuktian tidak cukup sering disinggung dalam sengketa-sengketa di Pengadilan Pajak.

Padahal, hakim memiliki tugas untuk melakukan penilaian. Dengan demikian, ketika majelis hakim mengeluarkan putusan dengan alasan ‘tidak meyakinkan’, pihak yang dalilnya ditolak dengan alasan tersebut mempertanyakan seharusnya bukti-bukti seperti apa yang dapat ‘meyakinkan’ hakim.

Tidak dapat dimungkiri bahwa masalah keyakinan ini lebih merupakan masalah kualitatif dan bukan kuantitatif semata. Namun, perihal keyakinan ini akan menjadi lebih krusial ketika dalam pembagian beban pembuktian terjadi ketimpangan barang bukti yang diproduksi, baik secara kuantitas maupun kualitas.

Misalnya, salah satu pihak sudah memberikan bukti-bukti yang melimpah, tetapi pihak lain yang memiliki bukti terbatas dapat dimenangkan oleh majelis hakim. Tanpa indikator tingkat keyakinan yang harus dicapai, persepsi yang timbul adalah putusan yang dijatuhkan oleh hakim hanya berbasis pada bukti-bukti seadanya tanpa memperhitungkan tingkat kebenaran dan keyakinan yang adil bagi para pihak.

Dalam kasus ini, ada baiknya jika hakim menganut prinsip ‘in dubio contra fiscum’, yaitu sebuah prinsip interpretasi peraturan perpajakan yang dikenal dalam sistem common law. Prinsip ini merumuskan bahwa ketika suatu hukum memiliki ambiguitas atau ketidakjelasan, majelis hakim seharusnya menginterpretasikan peraturan yang lebih mendukung wajib pajak dan bukan otoritas pajak yang merupakan wakil negara (fiscum). Rasionalitas di balik prinsip ini cukup jelas dan sudah sepatutnya dianggap adil, yaitu wajib pajak berada pada posisi yang lebih lemah dibandingkan dengan otoritas pajak.

Kesimpulannya, standar pembuktian penting untuk dikaji ulang mengingat tujuan utama sengketa dibawa ke muka pengadilan adalah demi mendapatkan keadilan dan kepastian hukum. Namun, tak hanya sebatas keadilan dan kepastian hukum, tetapi juga kebahagiaan.

Satjipto Rahardjo dalam Membedah Hukum Progresif (2008) berpendapat bahwa hukum memiliki tujuan lebih besar, yaitu keadilan dan kebahagiaan. “Bukan hanya rasionalitas, tapi kebahagiaan yang hendaknya ditempatkan di atas segalanya,” tulisnya dalam buku tersebut.

Kondisi ini juga berlaku untuk persengketaan pajak. Dengan standar pembuktian yang lebih jelas, para pihak yang bersengketa di Pengadilan Pajak dapat mempersiapkan dengan baik bukti pendukung untuk mencapai standar ‘keyakinan’.

Kemudian, jika tiba saatnya putusan dijatuhkan, setidaknya putusan tersebut ‘membahagiakan’. Artinya, para pihak yang bersengketa merasa puas dan dapat menerima secara sportif putusan tersebut karena majelis hakim menggunakan parameter ‘keyakinan’ yang jelas dalam mengimplementasikan asas pembuktian bebas dan asas hakim aktif untuk mencapai ‘kebenaran materiel’.

Sebagai penutup, menyangkut masalah kebahagiaan ini, apakah perlu dibuatkan survei tingkat kepuasan terhadap putusan dari pihak-pihak yang bersengketa?*

Editor :
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.