Ilustrasi.
SITUASI yang dibangun pemerintah saat menyodorkan RUU HKPD kepada DPR adalah adanya urgensi redesain kebijakan desentralisasi fiskal. Urgensi tersebut dimunculkan bersamaan dengan hasil evaluasi 2 dekade pelaksanaan desentralisasi fiskal yang masih menyisakan beberapa tantangan.
Bukan sebagai upaya untuk melakukan resentralisasi. Setidaknya pernyataan itulah yang beberapa kali dilontarkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati saat membahas Rancangan Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD) dengan DPR.
Pemerintah menegaskan kembali desentralisasi fiskal yang diterapkan di Indonesia lebih mengarah pada desentralisasi dari sisi belanja (expenditure assignment). Sementara itu, sisi pendapatan (revenue assignment) masih relatif terfokus di pusat.
Pilihan desentralisasi yang menitikberatkan pada kewenangan belanja tersebut dilatarbelakangi adanya ketimpangan potensi antardaerah, efisiensi pemungutan, dan urgensi peran pusat dalam melaksanakan redistribusi.
Sebagai pendukung arah kebijakan tersebut, pemerintah juga menyampaikan diskursus terkini terkait dengan desentralisasi fiskal yang dikenal dengan Second Generation of Fiscal Federalism (SGFF). Fokus SGFF bukan pada sumber keuangan, melainkan output dan outcome yang ingin dicapai.
Ditambah lagi, pemerintah mengutip penilaian Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada 2020 yang menyatakan walaupun angka kemandirian fiskal daerah masih cukup rendah, kualitas desentralisasi fiskal dikategorikan sangat baik.
Oleh karena itu, dalam RUU HKPD, fokus pemerintah lebih banyak pada penguatan disiplin belanja daerah dan penerapan target kinerja dalam transfer ke daerah. Sasarannya adalah mencapai tujuan bernegara, yakni pemerataan kesejahteraan di seluruh pelosok NKRI.
Pertanyaannya, apakah kemandirian fiskal daerah tidak lagi relevan?
Dalam laporan riset bertajuk Local Taxation: The Options and The Arguments yang ditulis Michael Ridge and Stephen Smith dinyatakan pengurangan ketergantungan pemerintah daerah pada dana transfer sangat penting untuk akan meningkatkan otonomi itu sendiri.
Nyatanya, selama 20 tahun terakhir, fiskal daerah tak kunjung mandiri. Melihat kondisi ini, agaknya pemerintah ingin mengubah arah kebijakan. Apalagi, UU Cipta Kerja – yang lebih banyak mengusung semangat kemudahan berusaha – telah disahkan.
Kapasitas daerah tetap diupayakan meningkat. Namun, dalam RUU HKPD, pemerintah mendorong local taxing power secara terukur dan hati-hati dengan tetap menjaga perekonomian. Artinya, pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah (PDRD) dijaga tetap sejalan dengan tujuan bernegara.
Pemerintah pusat terlihat ingin mengupayakan sinergi dan kolaborasi dengan pemerintah daerah. Pemerintah ingin mendudukkan kembali posisi transfer ke daerah serta PDRD merupakan satu-kesatuan dalam konteks pengaturan HKPD.
Hal ini juga sejalan dengan adanya usulan konsolidasi struktur PDRD, perluasan basis pajak seperti melalui opsen pajak, serta harmonisasi pengaturan sejalan dengan UU Cipta Kerja.
Dalam konsolidasi struktur PDRD, ada reklasifikasi 5 jenis pajak daerah berbasis konsumsi menjadi pajak barang dan jasa tertentu (PBJT). Salah satu tujuannya adalah menyelaraskan objek pajak antara pajak pusat dan pajak daerah sehingga menghindari duplikasi pemungutan pajak.
Kemudian, opsen atas pajak kendaraan bermotor (PKB) dan bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB) sebenarnya merupakan pengalihan dari bagi hasil pajak provinsi. Pemberian opsen pajak misalnya, ditujukan untuk meningkatkan kemandirian daerah tanpa menambah beban wajib pajak.
Penambahan opsen pajak mineral bukan logam dan batuan (MBLB) untuk provinsi menjadi sumber penerimaan baru. Skema opsen pajak MBLB juga untuk memperkuat fungsi penerbitan izin dan pengawasan kegiatan pertambangan di daerah.
Penyederhanaan retribusi daerah dilakukan melalui rasionalisasi jumlah retribusi daerah menjadi 3 jenis, yakni jasa umum, jasa usaha, dan perizinan tertentu. Rasionalisasi sejalan dengan implementasi UU Cipta Kerja untuk mendorong kemudahan berusaha dan penciptaan lapangan kerja.
Selain itu, dalam pengaturan PDRD, pemerintah pusat dapat menyesuaikan tarif. Pemerintah pusat juga melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap perda PDRD yang menghambat ekosistem investasi dan kemudahan dalam berusaha.
Kolaborasi itu juga masuk dalam formulasi dana bagi hasil (DBH). Alokasi DBH pada daerah penghasil dan nonpenghasil yang terdampak eksternalitas negatif. Kinerja daerah dalam optimalisasi penerimaan dan pemulihan lingkungan akibat ekstraksi sumber daya alam (SDA) juga jadi acuan.
Sinergi dan kolaborasi yang dikedepankan pemerintah dalam RUU HKPD tentu saja patut diapresiasi. Langkah ini menjadi jalan tengah upaya optimalisasi tanpa memperlebar disparitas pendapatan antardaerah. Selain itu, biaya administrasi pajak juga lebih efektif.
OECD dalam Making Decentralisation Work: A Handbook for Policy-Makers juga menyatakan peningkatan disparitas pendapatan dan penurunan efektivitas biaya administrasi pajak dari otoritas menjadi beberapa risiko upaya peningkatan pendapatan asli daerah.
Adanya sinergi dan kolaborasi menjadikan risiko itu bisa diminimalisasi. Tujuan dari desentralisasi fiskal pun harapannya bisa terwujud. Seharusnya langkah ini tidak dilihat sebagai upaya untuk membatasi kewenangan pemerintah daerah. (kaw)