Kurniawan Agung Wicaksono
Rabu, 02 Januari 2019 | 12.08 WIB
'Fasilitas Fiskal Daerah Harus Kuat'

Dirjen Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan Astera Primanto Bhakti. (foto: DDTCNews)

TERHITUNG sejak keluarnya UU 22/1999 dan UU 25/1999, desentralisasi, termasuk khusus untuk fiskal, praktis sudah berjalan sekitar 19 tahun. Desentralisasi fiskal terus diperkuat dari waktu ke waktu, salah satunya dengan terus memperbaiki regulasi.

Selain itu, anggaran transfer ke daerah dan dana desa terus menunjukkan tren peningkatan tiap tahunnya. Pada tahun depan, pemerintah mematok anggaran senilai Rp832,3 triliun. Angka ini jelas sudah meningkat signifikan dibandingkan dengan posisi pada 2001 senilai Rp82,4 triliun.

Sayangnya, kondisi itu tidak diikuti dengan peningkatan kapasitas daerah secara signifikan. Hingga saat ini, ketergantungan APBD terhadap guyuran dana dari APBN masih cukup besar. InsideTax (majalah perpajakan bagian dari DDTCNews) berkesempatan mewawancarai Dirjen Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan Astera Primanto Bhakti untuk mencari tahu kondisi fiskal daerah. Berikut kutipannya:

Seberapa besar ketergantungan pemerintah daerah terhadap guyuran dana transfer?

Porsi transfer ke daerah dalam APBD itu bisa lebih dari 60%. Pendapatan asli daerah (PAD)-nya kecil. PAD rata-rata bervariasi, sekitar 2,6%, 2,8%, dan 5%. Oleh karena itu, kami mendorong daerah-daerah supaya dapat memperkuat baik dari sisi aturan, administrasi, maupun sarana prasarana pendukung. Selama ini, pada saat kita ngomong kapasitas fiskal daerah kebanyakan potensinya tinggi, tapi realisasinya tidak bisa tinggi.

Bagaimana sikap Ditjen Perimbangan Keuangan (DJPK) Kemenkeu?

DJPK akan mendukung program-program peningkatan kapasitas. Ini karena jika kapasitas fiskal daerahnya kuat, tentunya dukungan dari pemerintah pusat ini akan semakin berkurang. Kuat ini juga dari sisi governance. Jadi, jangan sampai dia dapatnya gede, bocornya gede. Ini juga butuh suatu komitmen yang sangat kuat dari pemerintah daerah untuk betul-betul memperhatikan segala aspek. Kalau tidak, kapasitasnya akan segitu-segitu saja.

Hanya daerah-daerah tertentulah yang memang mendapatkan suatu rezeki yang luar biasa, misalnya daerah turis sehingga bisa mengembangkan kapasitas fiskal lebih cepat. Kalau dilihat sebenarnya daerah dengan kapasitas fiskal tinggi masih memiliki potensi yang besar. Kalau ini bisa dibangun lebih baik, maka kapasitasnya meningkat sehingga porsi anggaran pemerintah pusat bisa digunakan untuk proyek-proyek strategis lainnya.

Arsitektur desentralisasi fiskal Indonesia seakan membuat pemerintah daerah itu tidak terlalu progresif dalam membangun kapasitas fiskal daerahnya. Apakah dari DJPK ada tupoksi untuk mendorong peningkatan kapasitas fiskal daerah?

Ada, makanya kami punya direktur khusus yang berkaitan dengan peningkatan kapasitas fiskal daerah. Kita juga punya perhatian yang luar biasa, jadi tidak hanya nyalur-nyalurin saja. Selain penyaluran, kami juga menangani pembiayaan, jadi, kalau pemerintah daerah butuh obligasi, pinjaman daerah, dan lain-lain itu juga ada rules-nya. Selain itu ada juga bagian yang mengurusi peningkatan kapasitas daerah.

Seperti tadi disampaikan ini kapasitasnya masih kurang. Kalau kita lihat rata-rata ya antara 2,6%-2,8%, sampai 5% itu saja sudah bagus. Itu saja sebenarnya bukan karena daerahnya tidak progresif ya. Itu memang ada beberapa kendala.

Apa kendalanya?

Pertama, masalah cakupan pajak daerah yang sangat terbatas. Pajak daerah hanya mencakup bagian kecil dari consumption tax karena yang gedenya sudah diambil [pusat dengan] PPN [pajak pertambahan nilai]. Kalau dilihat dari PDRD [pajak daerah dan retribusi daerah] itu paling cuma bisa air tanah, hotel, restoran, dan hiburan.

Kedua, kompetensi yang jauh dibandingkan dengan pusat. Artinya, administrasi, baik dari sisi level of knowledge maupun perangkatnya masih kurang. Itu bisa dari sisi orang, organisasi, atau aturannya. Ini yang masih perlu diperbaiki agar pemungutan PDRD juga lebih optimal.

Ketiga, masalah data. Ini juga hal yang luar biasa. Selama ini kita hanya ngomong data pemerintah pusat, pertukaran informasi dan lain-lain. Namun, untuk daerah, ini sebenarnya juga penting untuk memberi efek positif bukan hanya daerah, tetapi juga pusat. Dengan demikian, data daerah juga perlu dibangun.

Menurut Anda, aspek apa yang menjadi kendala atau masalah utama?

Dari tiga permasalahan besar yang sudah saya sebutkan, kalau diranking, ya yang paling besar itu sebenarnya kapasitas dari sisi administrasi yang sangat kurang. Mengapa? Jumlah pegawai yang menangani kalau dihitung sedikit sekali. Daerah juga jarang yang punya spesialis karena bisa berpindah dari unit satu ke unit yang lain. Dengan demikian, pada saat seseorang belum mempunyai pemahaman yang penuh sudah dirotasi lagi. Ini menjadi masalah.

Selanjutnya, pembangunan kompetensi juga terlihat kurang memadai. Kalau di pusat, banyak sekali instrumen yang bisa digunakan, mulai dari diklat dasar, menengah, hingga advance. Sementara, hal ini tidak bisa didapat di daerah sehingga orang yang memahami bidang kapasitas fiskal daerah sangat kurang. Oleh karena itu, kami punya program untuk mendukung peningkatan kapasitas yang masih belum maksimal tersebut.

Apa saja program yang diberikan?

Misalnya, kita mencoba untuk memberikan bimbingan teknis untuk daerah-daerah yang kurang dari segi kapasitas, baik itu knowledge yang substansi maupun formalitas. Salah satu contoh kelemahan daerah biasanya dia seharusnya bisa menundukkan diri pada KUP [Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan]. Namun, ini kan kelihatannya belum menjadi rules yang jelas. Akhirnya, saat mereka ingin melakukan law enforcement, pemahamannya masih sangat kurang.

Ada rekomendasi dari IMF dan OECD untuk mengembalikan ke pemerintah pusat atas beberapa jenis pajak yang tidak optimal. Bagaimana pandangan Anda?

Saya sih balik lagi ke jawaban saya tadi daerah itu harus meningkatkan kapasitasnya. Dengan demikian, bukan berarti kalau belum optimal terus dibalikin. Kalau dibalikin, akhirnya ya sama saja, yang kapasitasnya semakin kecil. Saya terus terang enggak sependapat [dengan rekomendasi] itu. Hal yang seharusnya dilakukan adalah peningkatan kapasitas.

Oleh karena itu, kami melakukan bimbingan teknis dan konsolidasi antara otoritas fiskal pusat dan otoritas fiskal daerah. Konsolidasi ini dilakukan dengan mengumpulkan data-data yang seharusnya bisa dikaitkan. Dengan demikian, pemerintah pusat juga enggak susah jika ingin mencari data proyek daerah, bendahara, dan lain-lain. Di sisi lain, daerah juga mendapat manfaat.

Beberapa penerimaan di pusat, seperti PPh Pasal 21, menjadi bagian dari DBH. Namun, sejauh ini tidak ada upaya dari pemerintah daerah untuk turut meningkatkan penerimaan ini. Bagaimana Anda melihat kondisi ini?

Itu masuk program kami, yang sedang piloting. Intinya, kita sama-sama tahu. Daerah tahu apa kurangnya, apa lebihnya, begitu pula dengan pusat. Nah, ini disatukan. 

Ke depan, kita tentunya akan membuat transfer ke daerah ini lebih berhasil guna, apakah itu yang sifatnya block grant atau program, hibah, bantuan, atau apapun namanya, bisa digunakan sesuai dengan yang seharusnya. Dengan demikian, program yang terlaksana bisa nyambung antara pusat dan daerah. Bagaimanapun, pembangunan yang dilakukan melalui APBD harus konsisten dengan yang ada di APBN.

Makanya, di situ ada untuk pembangunan infrastruktur, untuk DAU itu tidak boleh kurang dari sekitar 25%, maksudnya apa? Ya kita harus berkomitmen untuk membangun infrastruktur. Untuk 2019 misalnya, komitmen ke arah sumber daya manusia (SDM). Ya semuanya harus dihubungkan ke SDM, mulai dari pendidikan, kesehatan, dan aspek lainnya seperti infrastruktur yang terkait. Dirigennya adalah pemerintah pusat. Pemerintah daerah semuanya harus ikut. Jadi, jangan sampai yang harusnya bunyi malah tidak atau musiknya malah jadi ‘fals’.

Simak wawancara Dirjen Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan Astera Primanto Bhakti selengkapnya dalam majalah InsideTax edisi 40. Unduh majalah InsideTax di sini. (kaw)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.