(Ilustrasi) Seorang anak mengenakan pakaian Jalur Gemilang dengan memakai masker saat merayakan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-64 Malaysia di Dataran Merdeka, Kuala Lumpur, Malaysia, Selasa (31/8/2021). ANTARA FOTO/ Rafiuddin Abdul Rahman/foc.
KUALA LUMPUR, DDTCNews – Mantan Perdana Menteri Malaysia, Datuk Seri Najib Razak, menyampaikan bahwa pemerintah harus mulai merancang pajak digital. Kebijakan ini memungkinkan pemerintah Malaysia memungut pajak dari aktivitas perusahaan teknologi raksasa seperti Amazon, Google, Netflix, dan Facebook.
Selama bertahun-tahun, perusahaan itu memperoleh penghasilan jutaan ringgit di Malaysia. Namun hingga kini, ujar Najib, negara belum menerima imbal balik dari aktivitas ekonomi raksasa teknologi tersebut.
"Negara-negara lain sudah melakukannya. Kini giliran Malaysia untuk melakukan langkah yang sama," ujar Najib dalam pidatonya di Dewan Rakyat sekaligus di hadapan Yang di Pertuan Agung, dikutip Rabu (15/09/2021).
Malaysia merancang pemungutan pajak atas laba perusahaan yang menjalankan aktivitas ekonominya di negara tersebut. Dengan demikian, konsumsi masyarakat tidak akan terdistorsi. Daya beli pun dipastikan terjaga karena masyarakat tidak dikenakan pajak tambahan.
Menurutnya, Malaysia seharusnya mengikuti jejak negara lain yang telah memungut pajak digital. Ia memberi contoh Australia dan Indonesia yang lebih dulu mengimplementasikan pajak digital.Â
Dalam kesempatan yang sama, Najib juga menyinggung kondisi fiskal Malaysia yang disebutnya terburuk se-Asia Pasifik. Bahkan menjadi kedua terburuk sedunia, di bawah Venezuela.
Untuk itu, Najib menyarankan beberapa instrumen fiskal yang dapat digunakan pemerintah untuk mempercepat pemulihan ekonomi. Misalnya pengenaan pajak atas perolehan jumlah besar yang tidak terduga (windfall profit), bea meterai, pajak warisan, dan pajak atas perdagangan saham.
Selain itu, mantan perdana Menteri ini juga memberikan usulan terkait peningkatan tarif untuk pajak penghasilan orang pribadi yang memiliki penghasilan sangat tinggi atau high wealth individual (HWI).
"Setelah 2 tahun, kita bisa menghentikan pemajakan-pemajakan tersebut," pungkasnya, seperti dikutup dari malaymail.com.
 Sebagai informasi, Indonesia memang sudah lebih dulu memungut pajak digital. Pemerintah membuat daftar perusahaan yang masuk kriteria dan selanjutnya ditunjuk sebagai pemungut PPN perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE).
Pada praktiknya, Indonesia lebih dulu menunjuk perusahaan-perusahaan digital besar seperti Amazon, Google, Netflix, dan Spotify sebagai pemungut PPN PMSE. Secara gradual, jumlah perusahan digital yang wajib memungut PPN PMSE terus bertambah.
Melalui PMK 48/2020 dan PER-12/PJ/2020, pemerintah mengatur pelaku usaha PMSE yang ditunjuk sebagai pemungut PPN PMSE adalah pelaku usaha PMSE yang memiliki nilai transaksi dengan pembeli Indonesia melebihi Rp600 juta dan jumlah traffic lebih dari 12.000 transaksi dalam setahun.
Sebelum memungut PPN PMSE, pelaku usaha PMSE yang memenuhi kriteria harus terlebih dahulu ditunjuk oleh Dirjen Pajak sebagai pemungut PPN PMSE melalui Keputusan Dirjen Pajak. (tradiva sandriana/sap)