Petugas melakukan perawatan panel surya di PLTS Terapung Cirata, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, Sabtu (16/3/2024). Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jisman Hutajulu mengatakan total keseluruhan potensi energi terbarukan di Indonesia mencapai 3,6 terawatt (TW) yang didominasi oleh PLTS dengan potensi sebesar 3,3 TW. ANTARA FOTO/Fauzan/YU
JAKARTA, DDTCNews - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bakal memfasilitasi badan usaha dan memberikan rekomendasi kepada Kementerian Keuangan agar menambah fasilitas perpajakan atau insentif fiskal bagi pengembang energi baru terbarukan (EBT).Â
Fasilitas perpajakan dinilai penting untuk menarik minat investor dalam menjalankan proyek-proyek EBT di Indonesia.Â
"Fasilitas perpajakan bagi para pengembang dalam bentuk tax allowance, fasilitas bea masuk, dan tax holiday," tulis Kementerian ESDM dalam Laporan Kinerja Kementerian ESDM 2023, dikutip pada Selasa (9/4/2024).Â
Kementerian ESDM juga menyinyalir realisasi investasi di sektor EBT cenderung stagnan dalam beberapa tahun belakangan.
Berdasarkan dokumen Laporan Kinerja Kementerian ESDM 2023, stagnansi kinerja investasi di sektor EBT sudah terjadi sejak 2021. Pada tahun tersebut, realisasi investasi sektor EBT tercatat US$1,55 miliar. Sementara pada 2023 lalu, realisasinya US$1,48 miliar. Angkanya tersebut bahkan hanya 33,6% dari target yang dipatok pada tahun lalu, yakni US$4,39 miliar.
"Ada sejumlah faktor yang menyebabkan tidak tercapainya target investasi EBTKE," tulis Kementerian ESDM dalam laporannya.
Beberapa faktor itu, antara lain, pertama, terdapat keengganan beberapa badan usaha sektor EBT untuk menyampaikan data capaian realisasi dan rencana investasi yang telah dimintakan oleh dirjen EBTKE.
Kedua, biaya investasi relatif tinggi dan adanya kendala bagi investor untuk memperoleh pendanaan dari bank atau institusi keuangan lainnya.
Ketiga, mundurnya jadwal proses pengadaan pembangkit listrik tenaga EBT oleh PT PLN (persero). Keempat, adanya isu sosial yang terjadi di lapangan, khususnya di sektira pengembangan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP).
Kelima, adanya permasalahan teknis dan lahan yang masih dalam proses penyelesaian.
Keenam, rendahnya ketertarikan perbankan nasional untuk berinvestasi karena risiko yang tinggi dan aset yang dijaminkan oleh pengembang dinilai tidak sebanding dengan nilai pinjaman. (sap)