Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Publik masih menunggu kepastian tentang kelanjutan insentif PPh final untuk orang pribadi UMKM dengan tarif 0,5%. Topik tersebut cukup mendapat sorotan dari netizen selama sepekan terakhir.
Wacana tentang dilanjutkannya insentif PPh final UMKM 0,5% memang sempat mencuat dalam rapat antara Menteri Keuangan Sri Mulyani dengan Komite IV DPD pada pekan lalu.
Merespons hal tersebut, Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu menyatakan masih mengevaluasi kebijakan insentif PPh final dengan tarif 0,5% bagi UMKM ini.
Kepala BKF Febrio Kacaribu mengatakan pemerintah rutin mengevaluasi kebijakan insentif pajak yang diberikan kepada masyarakat, termasuk PPh final 0,5% UMKM. Menurutnya, BKF masih menantikan arahan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengenai perpanjangan periode PPh final 0,5% UMKM untuk wajib pajak orang pribadi.
"Nanti kami lihat arahan Bu Menteri. Memang itu pasti akan selalu kita evaluasi, sama seperti insentif-insentif yang lain pasti selalu akan kami evaluasi," katanya.
Febrio mengatakan insentif PPh final 0,5% menjadi bentuk keberpihakan negara kepada UMKM. Kebijakan ini juga telah memberikan manfaat kepada banyak pelaku UMKM.
Dia menjelaskan data belanja perpajakan juga menunjukkan banyak pelaku UMKM telah menikmati insentif pajak. Nilai belanja perpajakan yang dinikmati UMKM rata-rata berkisar Rp60 hingga Rp70 triliun setiap tahun.
Selain PPh final bertarif 0,5%, Febrio menyebut pemerintah melalui UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) juga mengatur wajib pajak orang pribadi UMKM dengan omzet sampai dengan Rp500 juta dalam setahun tidak terkena pajak.
Perlu dicatat, sebagaimana diatur PP 55/2022, wajib pajak orang pribadi yang memanfaatkan skema PPh final UMKM sejak 2018 dapat memanfaatkan skema tersebut maksimal hingga tahun pajak 2024. Wajib pajak tersebut harus mulai menghitung dan membayar pajak sesuai dengan ketentuan umum pada tahun pajak 2025.
Selain bahasan mengenai PPh final UMKM, ada pula pemberitaan lain yang menarik untuk diulas kembali. Di antaranya, kebijakan kenaikan tarif PPN menjadi 12%, dibukanya kembali keran ekspor pasir laut, hingga ditundanya pemusahan PPN secara jabatan.
Pemerintah mengaku akan mempertimbangkan pandangan fraksi-fraksi di DPR atas kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12% pada tahun depan.
Dalam jawaban pemerintah atas pandangan fraksi-fraksi di DPR terhadap RABPN 2025, pemerintah menyatakan bahwa kenaikan tarif PPN pada tahun depan merupakan bentuk dari penerapan UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Meski demikian, pemerintah mengaku siap mengkaji konsekuensi dari kenaikan tarif tersebut.
"Pemerintah akan terus mengkaji dan akan sangat berhati-hati dalam melakukan implementasinya. Seluruh rancangan kebijakan akan mempertimbangkan berbagai aspek, terutama aspek ekonomi sehingga penerapannya akan tepat, efektif, dan terukur," ungkap pemerintah dalam jawabannya. (DDTCNews)
Pajak seharusnya dikenakan oleh otoritas pajak berdasarkan undang-undang yang telah disepakati oleh pemerintah bersama DPR, bukan berdasarkan pada diskresi.
Founder DDTC Darussalam mengatakan undang-undang adalah kesepakatan bersama antara pemerintah dan DPR selaku wakil wajib pajak. Pengenaan pajak berdasarkan undang-undang diperlukan untuk menciptakan kepastian hukum.
"Kesepakatan bersama itu adalah kepastian, jangan ada yang di luar kesepakatan bersama, jangan kami dikenai pajak berdasarkan diskresi. Pajak adalah kesepakatan bersama antara pemerintah yang mewakili negara dan DPR yang mewakili wajib pajak. Jadi sesederhana itu menurut kami [wajib pajak]," ungkap Darussalam dalam focus group discussion (FGD) bertajuk Pajak dan HAM: Mencari Keseimbangan antara Diskresi dan Kepastian Hukum yang Lebih Baik di Indonesia yang diselenggarakan oleh Komwasjak. (DDTCNews)
Pemerintah telah menerbitkan PP 26/2023 yang mengatur pembukaan kembali keran ekspor pasir hasil sedimentasi laut setelah disetop sejak 2003.
Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa DJBC Nirwala Dwi Heryanto mengatakan PP 26/2023 juga telah mengatur pengenaan bea keluar atas ekspor pasir laut. Menurutnya, besaran tarif bea keluar tersebut masih dikaji oleh Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan.
"Besaran tarif bea keluar dan mekanisme penerapannya masih dalam tahap pembahasan yang dipimpin oleh BKF atas usulan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP)," katanya. (DDTCNews)
DJP memutuskan untuk menunda pemusatan tempat PPN terutang secara jabatan sebagaimana dimaksud dalam PENG-4/PJ.09/2024.
Awalnya, pengusaha kena pajak (PKP) yang tidak menyampaikan pemusatan tempat PPN terutang sampai dengan 30 April 2024 akan dilakukan pemusatan tempat PPN terutang secara jabatan per tanggal 1 Juli 2024. Namun, kebijakan tersebut diputuskan untuk ditunda hingga implementasi coretax administration system.
"Pemberlakuan pemusatan tempat PPN terutang secara jabatan pada tempat tinggal atau tempat kedudukan akan dilakukan bersamaan dengan implementasi coretax administration system, yang akan ditentukan lebih lanjut oleh dirjen pajak," bunyi PENG-26/PJ.09/2024.
DJP kembali menekankan bahwa NPWP 15 digit masih bisa digunakan untuk memperoleh layanan administrasi serta dalam pelaksanaan hak dan kewajiban pajak.
Terhitung sejak 1 Juli 2024, wajib pajak dapat menggunakan NPWP 16 digit, NITKU, dan NPWP 15 digit dalam rangka mengakses 37 layanan administrasi yang sebelumnya telah diumumkan oleh DJP.
"Layanan administrasi selain yang telah disebutkan dalam publikasi kami terdahulu hanya dapat dimanfaatkan oleh wajib pajak dengan menggunakan NPWP 15 digit," tulis DJP dalam Pengumuman Nomor PENG-26/PJ.09/2024. (DDTCNews) (sap)