Salah satu slide yang dipaparkan oleh Director Fiscal Research and Advisory DDTC B. Bawono Kristiaj.
JAKARTA, DDTCNews – Meski tidak bersifat wajib, penerapan Pilar 1 Amount B dipandang dapat memberikan keuntungan bagi Indonesia.
Director Fiscal Research and Advisory DDTC B. Bawono Kristiaji mengatakan penerapan Pilar 1 Amount B dapat membawa keuntungan bagi Indonesia, terutama dalam penyederhanaan ketentuan yang berkaitan dengan transfer pricing.
"Mengenai penerapannya, Indonesia memiliki 2 pilihan yaitu pemerintah membolehkan wajib pajak memilih menerapkan simplified and streamlined approach sehingga elektif, atau menggunakan Amount B secara preskriptif," katanya dalam International Tax Conference 2024, Kamis (3/10/2024).
Menurut Bawono, setidaknya ada 4 hal yang dapat dipertimbangkan pemerintah Indonesia untuk menerapkan Pilar 1 Amount B. Pertama, Indonesia sebagai yurisdiksi pasar dan memiliki ekonomi berbasis konsumsi sehingga kegiatan pemasaran dan distribusi di Indonesia juga sangat besar.
Sekadar catatan, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa perdagangan besar dan eceran memiliki kontribusi sekitar 10% hingga 12% dari PDB selama 5 tahun terakhir.
Kedua, sengketa transfer pricing di Indonesia terus meningkat. Data OECD menunjukkan beberapa negara berkapasitas rendah melaporkan antara 30% hingga 70% sengketa transfer pricing terkait dengan kegiatan pemasaran dan distribusi.
Ketiga, kepatuhan transfer pricing masih menjadi area yang menantang dalam manajemen risiko pajak di Indonesia. Apalagi, Indonesia memiliki definisi yang luas tentang hubungan istimewa serta penerapan ALP bagi transaksi domestik, sehingga beban kepatuhan yang ditanggung wajib pajak menjadi lebih besar.
Keempat, pendekatan dalam Pilar 1 Amount B sejalan dengan tujuan reformasi perpajakan Indonesia. Melalui UU HPP, pemerintah berupaya meminimalisir dan mencegah penghindaran pajak, termasuk manipulasi transfer pricing. Namun, pada saat yang sama, pemerintah juga harus memberikan kepastian pajak bagi wajib pajak.
"Mandat dari Pilar 1 Amount B ialah menerapkan arm's length principle pada kegiatan pemasaran dan distribusi dalam negeri menggunakan simplified and streamlined approach dengan fokus khusus pada kebutuhan negara-negara berkapasitas rendah," ujar Bawono.
Apabila Indonesia mengadopsi Pilar 1 Amount B, lanjut Bawono, terdapat beberapa hal yang perlu disiapkan, utamanya soal kerangka hukum.
Indonesia saat ini telah memiliki dasar hukum untuk menerapkan Pilar 1 Amount B, yakni melalui Pasal UU PPh s.t.d.t.d UU HPP, yang kemudian diturunkan dalam Pasal 53 PP 55/2022 dan PMK 172/2023.
Namun, aturan transfer pricing dalam ketiga peraturan tersebut memang belum menyebutkan atau memberikan dasar hukum mengenai nilai arm's length yang bersifat rujukan (prescribed), safe harbours, atau pricing matrix.
Menurutnya, pemerintah tidak perlu merevisi UU PPh dan PP 55/2022 karena kedua peraturan hanya memuat ketentuan definisi hubungan istimewa, arm's length principle, dan metode transfer pricing. Proses revisi pun hanya dibutuhkan untuk PMK 172/2023 dan peraturan pelaksana di bawahnya.
Sementara itu, elemen yang perlu masuk dalam revisi antara lain mengenai kejelasan ruang lingkup dan wajib pajak yang memenuhi syarat, serta memprioritaskan Pilar 1 Amount B atau safe harbours untuk masalah penetapan transfer pricing dalam negeri.
Selain itu, revisi PMK juga perlu memuat perihal metode transfer pricing yang paling tepat; pricing matrix, konteks Amount B, transfer pricing documentation, Model of the Competent Authority Agreement (MCAA), serta dukungan studi kasus dan ilustrasi.
"Yang perlu kita catat, Pilar 1 Amount B adalah satu-satunya agenda BEPS 2.0 yang menawarkan jargon penyederhanaan," tutur Bawono.
Pilar 1 akan mengalokasikan kembali porsi hak perpajakan ke yurisdiksi pasar dengan memastikan distribusi laba dan pendapatan pajak yang adil sesuai dengan aktivitas ekonomi perusahaan di setiap yurisdiksi. Pilar 1 terdiri atas Amount A dan Amount B.
Amount A pada dasarnya mendistribusikan kembali sebagian dari laba residual ke yurisdiksi pasar melalui konvensi multilateral, sedangkan Amount B berupaya menyederhanakan arm's length principle sebagaimana diterapkan pada kegiatan pemasaran dan distribusi. (rig)