Ilustrasi. Gedung DJP.
JAKARTA, DDTCNews – Ketentuan pemungutan pajak pertambahan nilai (PPN) atas pemanfaatan produk digital luar negeri lewat perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) mulai berlaku hari ini, Rabu (1/7/2020). Topik tersebut menjadi bahasan media nasional pada hari ini.
Terkait dengan pemungutan PPN PMSE, Ditjen Pajak (DJP) juga sudah menerbitkan aturan turunan dari PMK 48/2020, yaitu Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-12/PJ/2020. Melalui beleid itu, otoritas mengatur batasan kriteria tertentu pemungut dan prosedur teknis lainnya.
Adapun batasan kriteria tertentu pemungut PPN PMSE meliputi pertama, nilai transaksi dengan pembeli di Indonesia melebihi Rp600 juta dalam setahun atau Rp50 juta dalam sebulan. Kedua, jumlah traffic atau pengakses di Indonesia melebihi 12.000 dalam setahun atau 1.000 dalam sebulan. Kriteria tersebut bisa dipakai salah satu atau keduanya.
“Penunjukan pemungut PPN didasarkan semata-mata atas besaran nilai transaksi dengan pembeli di Indonesia, atau jumlah traffic atau pengakses dari Indonesia tanpa memandang domisili atau yurisdiksi tempat kedudukan pelaku usaha,” demikian pernyataan DJP dalam keterangan resminya.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo mengatakan pada awal Juli 2020 akan menunjuk sekitar 6 pelaku usaha PMSE sebagai pemungut PPN. Setelah ditunjuk pada awal Juli 2020, para pelaku usaha PMSE tersebut bisa memungut PPN produk digital dari luar negeri 10% mulai 1 Agustus 2020.
Selain mengenai pemungutan PPN PMSE, ada pula bahasan tentang beleid baru tentang penetapan satu tempat atau lebih sebagai tempat pemusatan PPN terutang. Simak artikel ‘Soal Ketentuan Baru Pemusatan PPN Terutang, Ini Penjelasan Resmi DJP’.
Berikut ulasan berita selengkapnya.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Hestu Yoga Saksama mengatakan penentuan ambang batas transaksi Rp600 juta setahun untuk penunjukan pemungut PPN PMSE didasarkan pada hasil benchmarking pengalaman negara lain yang sudah lebih dahulu memungut PPN PMSE.
“Kami punya benchmark, seperti di Australia threshold-nya adalah AU$75.000 atau sekitar Rp750 juta. Jadi kira-kira Indonesia sudah setara,” katanya. (DDTCNews)
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Hestu Yoga Saksama mengatakan DJP mempunyai alasan pengenaan PPN atas barang kena pajak (BKP) tidak berwujud atau jasa kena pajak (JKP) dari luar daerah pabean lewat PMSE berbeda dengan impor BKP berwujud yang tidak mengenal ambang batas.
“Ini mempertimbangkan bahwa pelaku usaha luar negeri yang ditunjuk nanti harus ada administrative effort-nya untuk memungut, menyetor, dan melapor PPN," ujarnya.
Karena ada beban administrasi yang ditanggung oleh pelaku usaha PMSE, ambang batas disusun agar kebijakan dapat diterapkan dengan efektif, termasuk hubungannya dengan pengawasan. Simak artikel ‘Awasi Implementasi PPN PMSE, Ini yang Dipakai DJP’. (DDTCNews)
Managing Partner DDTC Darussalam menilai ketentuan PPN PMSE sudah tepat. Apalagi, aktivitas ekonomi platform digital meningkat di tengah masa pandemi Covid-19. Selama ini, konsumsi BKP tidak berwujud dan JKP lintas yurisdiksi sulit dideteksi untuk kepentingan pajak.
"Sebagai kita ketahui, adanya pandemi justru meningkatkan aktivitas ekonomi melalui platoform digital. Artinya, sektor digital justru meraih windfall gain di tengah pandemi. Selain itu, PPN juga merupakan jenis pajak yang relatif stabil di tengah krisis," katanya.
Dia juga menilai besaran batasan transaksi yang ditetapkan otoritas sudah ideal. Dia mengatakan setiap negara memiliki keleluasaan untuk menentukan threshold. (Kontan)
Berdasarkan PMK 48/2020 dan PER-12/PJ/2020, pemungut PPN dalam perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) wajib menyampaikan laporan secara triwulanan untuk periode tiga masa pajak. Laporan disampaikan paling lama akhir bulan berikutnya setelah periode triwulan berakhir.
“[Ketentuan] ini untuk keperluan evaluasi pelaksanaan skema pemungutan ini,” ujar Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Hestu Yoga Saksama. (Bisnis Indonesia/Kontan/DDTCNews)
Sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Dirjen Pajak No.PER-11/PJ/2020, pengusaha kena pajak (PKP) yang memiliki lebih dari satu tempat PPN terutang, jelas DJP, dapat memilih satu tempat atau lebih sebagai tempat pemusatan PPN terutang dengan cara menyampaikan pemberitahuan kepada DJP.
“[Penyampaian pemberitahuan] secara elektronik melalui situs web Direktorat Jenderal Pajak atau secara tertulis kepada Kepala Kantor Wilayah DJP yang wilayah kerjanya meliputi tempat pemusatan,” demikian tulis DJP dalam keterangan resminya.
Untuk meningkatkan kemudahan bagi PKP, keputusan pemusatan PPN berlaku seterusnya tanpa batasan waktu. Dengan demikian, lanjut DJP, PKP yang telah menerima keputusan pemusatan PPN tidak perlu lagi menyampaikan pemberitahuan perpanjangan pemusatan secara berkala. (Kontan/DDTCNews)
Dirjen Pajak Suryo Utomo memperbarui ketentuan sekaligus memperluas cakupan layanan yang dapat disediakan penyedia jasa aplikasi perpajakan (PJAP). Perubahan dan perluasan tersebut tertuang dalam Perdirjen Pajak No.PER-10/PJ/2020.
Sebelumnya, terdapat 6 layanan yang wajib disediakan PJAP, Namun, saat ini, selain 6 layanan yang wajib disediakan, PJAP juga dapat menyediakan 3 layanan lainnya. Simak artikel ‘Ketentuan Diubah DJP, Cakupan Layanan PJAP atau ASP Diperluas’. (DDTCNews)
Pemberian nomor pokok wajib pajak (NPWP) secara jabatan oleh Dirjen Pajak kepada debitur UMKM yang memanfaatkan fasilitas subsidi bunga bakal dilakukan berdasarkan hasil penelitian administrasi. Ketentuan ini diatur dalam Peraturan Dirjen Pajak No. PER-13/PJ/2020.
Sesuai ketentuan dalam beleid itu, penyalur kredit juga dapat melakukan konfirmasi data NPWP dalam rangka kepentingan validasi atas kebenaran data NPWP. Konfirmasi melalui saluran tertentu yang ditetapkan oleh Dirjen Pajak; dan/atau melalui PJAP. Simak artikel ‘Penyalur Kredit Bisa Konfirmasi NPWP UMKM Penerima Subsidi Bunga’. (DDTCNews) (kaw)