WEBINAR SERIES DDTC

Laporan Tax Expenditure Indonesia Belum Sempurna, Ini Kata Akademisi

Nora Galuh Candra Asmarani
Kamis, 13 Agustus 2020 | 15.00 WIB
Laporan Tax Expenditure Indonesia Belum Sempurna, Ini Kata Akademisi

Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Jember Yulia Indrawati saat memberikan paparan dalam webinar bertajuk Insentif Pajak dan Tax Expenditure di Periode Pandemi Covid-19, Kamis (13/8/2020).

JAKARTA, DDTCNews—Dalam menghadapi krisis akibat pandemi Covid-19, pemerintah mengeluarkan berbagai insentif pajak. Meski begitu, pemerintah dinilai harus memperhatikan ketepatan dan keefektifan pemberian insentif pajak.

Demikian benang merah yang dapat ditarik dari sesi pemaparan yang disampaikan Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Jember Yulia Indrawati dalam webinar bertajuk Insentif Pajak dan Tax Expenditure di Periode Pandemi Covid-19, Kamis (13/8/2020).

“Saya mengapresiasi langkah pemerintah yang ofensif sehingga denyut nadi perekonomian tergerak kembali. Namun, kita harus memperhatikan apakah kebijakan pemerintah sudah sesuai dan efektif?” katanya.

Dalam kesempatan tersebut, Yulia memaparkan secara detail perihal definisi, jenis dan syarat terkait dengan tax expenditure. Adapun insentif pajak tergolong sebagai tax expenditure atau belanja perpajakan. Definisi ini dapat disimak dalam artikel ‘Apa Itu Tax Expenditure?’.

Tak hanya itu, Yulia juga menjabarkan indikator tata kelola, elemen yang harus ada dalam laporan serta komponen evaluasi tax expenditure. Simak juga artikel Kelas ‘Manajemen Tax Expenditure’.

Berdasarkan pemaparannya, terdapat dua kata kunci yang harus diperhatikan dalam pengelolaan tax expenditure. Pertama, perlunya melakukan estimasi yaitu menghitung sebenarnya seberapa besar tax expenditure pada setiap periode.

Kedua, seberapa besar dampak yang terjadi akibat adanya tax expenditure yang diperlukan untuk mengetahui biaya kehilangan dari tax expenditure yang harus ditanggung. Yulia juga menjabarkan tiga metode perhitungan tax expenditure.

Selanjutnya, ia menjelaskan perkembangan bentuk laporan tax expenditure di Indonesia. Dia menyatakan laporan tax expenditure Indonesia masih memiliki kekurangan meski sudah ada perbaikan ketimbang laporan periode sebelumnya.

“Kelemahannya masih belum ada laporan yang mengkorelasikan laporan belanja perpajakan dengan APBN 2019. Laporan selama ini masih bersifat historis, yaitu hanya menyampaikan belanja perpajakan yang sudah terjadi pada 2016 hingga 2018,” ujarnya

Dampak Ekonomi
LEBIH lanjut, Yulia juga menjabarkan bagaimana dampak tax expenditure terhadap perekonomian dan membahas efektif tidaknya insentif pajak dengan menggunakan teori ricardian equivalence.

Pada dasarnya teori ricardian equivalence menyatakan bahwa konsumen atau wajib pajak mengantisipasi kenaikan pajak masa depan atas adanya pemotongan pajak saat ini yang dibiayai oleh utang pemerintah.

Namun demikian, lanjutnya, teori tersebut mengasumsikan perilaku wajib pajak yang rasional. Padahal, kenyataannya bisa jadi tidak. 

“Konsumen bisa jadi tidak rasional. Banyak masyarakat atau dunia usaha tak akan berpikir atau melakukan antisipasi jika insentif pajak akan menyebabkan kenaikan pajak di masa yang akan datang,” ujar Yulia.

Yulia juga menambahkan terdapat empat tantangan yang kini dihadapi pemerintah. Pertama, mempertahankan adaptasi lebih lanjut terhadap keadaan yang berubah secara cepat. Kedua, melindungi pendapatan dan pekerjaan rumah tangga selama masa mitigasi.

Ketiga, bisnis semakin rentan terhadap risiko solvabilitas selain risiko likuiditas seiring dengan berlanjutnya krisis. Keempat, dukungan pajak harus ditujukan kepada segmen yang paling membutuhkan bantuan.

Berdasarkan tantangan yang ada Yulia memaparkan cara dan strategi untuk menciptakan kebijakan fiskal yang inklusif dan berkelanjutan. Selain itu, Yulia juga menawarkan enam saran opsi kebijakan pajak seusai krisis.

Enam usulan tersebut antara lain mendukung pertumbuhan yang solid dengan stimulus yang cukup kuat dan berkelanjutan; menyesuaikan tingkat penerimaan dan struktur pajak setelah pandemi; meninjau kembali kebijakan pajak baru.

Kemudian, mengatasi tantangan pajak dari digitalisasi ekonomi mengikuti dinamika ekonomi global; fokus pada insentif investasi sembari memperkuat basis perpajakan dan meningkatkan ketahanan ekonomi; dan kerjasama perpajakan untuk menghindari sengketa pajak yang memicu perang dagang yang akan merugikan pemulihan

“Kebijakan fiskal harus fokus dalam mengatasi kesulitan dan melindungi penerimaan pajak. Insentif fiskal yang dilakukan saat ini bagus untuk mempertahankan pendapatan rumah tangga dan dukungan pajak juga sudah ditujukan untuk sektor yang membutuhkan,” kata Yulia. (rig)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.