Staf Ahli Bidang Kepatuhan Pajak Kementerian Keuangan Yon Arsal dan sejumlah narasumber lain dalam Media Gathering DJP.Â
DENPASAR, DDTCNews - UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) perlu dipahami sebagai bagian dari proses reformasi berkelanjutan yang dilaksanakan oleh Ditjen Pajak (DJP).
Staf Ahli Bidang Kepatuhan Pajak Kementerian Keuangan Yon Arsal mengatakan ketentuan baru yang terdapat pada UU HPP merupakan cerminan dari evaluasi pemerintah atas kebijakan-kebijakan yang selama ini dinilai kurang tepat.
"UU HPP tak semata-mata hanya untuk penerimaan. Ini bagian dari reformulasi kebijakan yang berkelanjutan dari sekian banyak reform yang telah dilakukan," ujar Yon dalam Media Gathering DJP yang dilaksanakan di KPP Madya Denpasar, Rabu (3/11/2021).
Melalui UU HPP, pemerintah berharap untuk menciptakan sistem pajak yang adil, sehat, efektif, dan akuntabel. Yon mengatakan suatu sistem pajak harus menciptakan keadilan antarsektor dan antarkelompok pendapatan. Suatu sistem pajak juga harus sehat, yakni dapat menjadi sumber penerimaan yang berkelanjutan bagi negara.
Sistem pajak juga perlu sederhana dan mudah dipahami masyarakat agar biaya kepatuhan yang ditanggung oleh wajib pajak dan biaya administrasi otoritas pajak dapat diminimalisasi.
Meski demikian, tak dapat dipungkiri pula bahwa UU HPP juga memiliki peran untuk meningkatkan penerimaan. Sebagaimana yang diamanatkan oleh Perppu 1/2020, pemerintah perlu melakukan konsolidasi fiskal dengan mengembalikan defisit anggaran ke 3% dari PDB pada 2023.
Untuk mendukung pelaksanaan konsolidasi fiskal di tengah pendapatan yang menurun, belanja yang meningkat, dan utang yang bertambah, maka diperlukan reformasi pajak untuk mendukung target tersebut.
Seperti diketahui, UU HPP yang telah disetujui oleh pemerintah bersama DPR RI menetapkan beberapa klausul yang berpotensi meningkatkan penerimaan pajak pada tahun depan.
Beberapa ketentuan baru yang dimaksud antara lain mengenai kenaikan tarif PPN dari 10% ke 11% pada April 2022, penetapan bracket penghasilan kena pajak baru dengan tarif sebesar 35% untuk penghasilan di atas Rp5 miliar, penetapan tarif PPh badan sebesar 22%, hingga pajak karbon.
Meski demikian, pemerintah juga tetap memberikan fasilitas-fasilitas pada UU HPP seperti melalui penetapan batasan peredaran bruto tidak kena pajak bagi wajib pajak orang pribadi UMKM, pemberian fasilitas pembebasan PPN, hingga program pengungkapan sukarela (PPS). (sap)