Dir. Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa DJBC Nirwala Dwi Heryanto:

'Informasi Asimetris Jadikan Publik Menilai DJBC Pro Industri Rokok'

Dian Kurniati
Minggu, 30 Oktober 2022 | 10.45 WIB
'Informasi Asimetris Jadikan Publik Menilai DJBC Pro Industri Rokok'

Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa DJBC Nirwala Dwi Heryanto. (dokumen pribadi)

DITJEN Bea dan Cukai (DJBC) memiliki tradisi untuk berhasil mencapai target penerimaan setiap tahun, bahkan ketika pandemi Covid-19. Hingga September 2022, realisasi penerimaan kepabeanan dan cukai pun tercatat telah mencapai 77,6% dan diyakini bakal kembali mencapai target saat tutup buku.

Selain perkara penerimaan, isu yang selalu ramai dibahas tiap tahun yakni mengenai kebijakan cukai hasil tembakau (CHT). Proses pembahasannya tergolong alot karena mencakup berbagai aspek kepentingan, hingga dalam 5 tahun terakhir harus dibawa ke rapat terbatas (ratas) yang dipimpin Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa DJBC Nirwala Dwi Heryanto memberikan gambaran soal arah kebijakan CHT 2023. Ada pula pembahasan mengenai rencana ekstensifikasi barang kena cukai (BKC) yang belum terealisasi sejak 2017.

Adapun mengenai kepabeanan, DJBC melakukan berbagai langkah perbaikan pelayanan melalui implementasi National Logistic Ecosystem (NLE) dan pengembangan sistem aplikasi Customs-Excise Information System and Automation (CEISA). Seperti apa gambaran lengkap berbagai strategi yang disusun DJBC untuk menjalankan berbagai kebijakan tersebut? Berikut ini petikan wawancara DDTCNews kepada Nirwala:

Apa yang menjadi kesibukan DJBC pada saat ini?

Kalau bicara Bea Cukai, biasanya orang akan bicara paling gampang, targetnya tercapai atau tidak? Prinsipnya hanya itu saja. Alasannya, kalau bicara dengan teman-teman di Ditjen Pajak (DJP) atau Ditjen Bea dan Cukai (DJBC), pemahamannya pencapaian target. Memang [itu pemahaman tentang 'target'] dari sisi penerimaan.

Realisasi penerimaan kepabeanan dan cukai hingga saat ini masih sesuai trajectory yang ditetapkan. Hingga 30 September 2022, penerimaan yang dikumpulkan mencapai Rp232,1 triliun atau 77,6% dari target Perpres 98/2022. Realisasi penerimaan tumbuh 26,9% year-on-year. Capaian ini didorong oleh kinerja penerimaan bea masuk yang tumbuh 31,6%, bea keluar tumbuh 64,2%, dan cukai tumbuh 19,6%.

Hingga saat ini, kinerja penerimaan 2022 sudah lebih baik dibandingkan dengan kinerja penerimaan 2019 saat sebelum adanya pandemi Covid-19. Hal ini didukung oleh pemulihan ekonomi, tren kenaikan harga komoditas, serta pulihnya daya beli masyarakat akibat dari pengendalian pandemi Covid-19.

Selain penerimaan, portofolio Bea Cukai itu jauh lebih luas, terutama bicara industrial assistance, trade facilitator, dan community protection. Misalnya untuk industrial assistance dan trade facilitator, selain ada tugas penerimaan, di sisi lain kami disuruh memfasilitasi. Kami punya kawasan berikat, punya fasilitas kemudahan impor tujuan ekspor, segala macam. Jadi ini trade off.

Itulah kenapa Bea Cukai di bawah Kementerian Keuangan. Punya kapal, pegang senapan, tapi bicaranya di bawah Kementerian Keuangan. Bahkan saat Bu Menteri [Sri Mulyani] ikut acara pengungkapan sabu-sabu, ini berkaitan dengan fungsi community protection. Di sini yang mungkin masyarakat banyak tidak paham.

Apa saja strategi yang dilakukan DJBC untuk mencapai target penerimaan hingga akhir tahun?

DJBC terus berusaha menjaga kinerja sumber utama penerimaan negara melalui pelayanan yang optimal, penguatan joint program DJBC-DJP-DJA (Ditjen Anggaran), serta penguatan kerja sama pengawasan dengan K/L dan aparat penegak hukum untuk pengamanan penerimaan. Didukung dengan kondisi ekonomi yang sudah pulih, pandemi yang sudah melandai dan harga komoditas yang cukup tinggi membuat target penerimaan bea masuk, bea keluar, dan cukai optimistis dapat dicapai.

Meski demikian, sebagai bentuk manajemen risiko, DJBC terus memantau faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan seperti harga komoditas, kondisi perekonomian domestik dan global, serta kebijakan-kebijakan lain yang dapat berpengaruh ke penerimaan seperti kebijakan larangan ekspor, kebijakan tarif cukai, dan sebagainya.

Bagaimana efektivitas instrumen cukai dalam mengurangi eksternalitas negatif selama ini?

Efektivitas instrumen cukai dalam mengurangi eksternalitas negatif suatu barang kena cukai [BKC], salah satunya dapat dilihat dari tren produksinya. BKC hasil tembakau atau rokok misalnya, tren pertumbuhan produksinya dari tahun ke tahun cenderung berkurang.

Sebagai informasi, selama periode tahun 2016 hingga 2020, tren produksi rokok selalu menurun, dengan rata-rata penurunan sekitar 1,5% setiap tahunnya. Kondisi tersebut menggambarkan bahwa instrumen cukai masih efektif sebagai fungsi pengendalian konsumsi atau mengurangi eksternalitas negatif.

Pada akhir tahun, pemerintah biasanya merilis kebijakan soal kebijakan cukai hasil tembakau untuk tahun berikutnya. Apakah sudah ada keputusan?

Soal cukai ini memang banyak masyarakat yang belum memahaminya. Kebanyakan tahunya [yang kena cukai] itu barang 'haram', barang yang merusak kesehatan. Tapi orang tidak banyak tahu bahwa kontribusi cukai itu 10%-13% dari total penerimaan perpajakan. Itu bukan kontribusi yang kecil. Hanya repotnya, lebih dari 96% disumbang oleh industri hasil tembakau. Tidak ada satu industri di Indonesia kontribusinya sampai 10%-13%. Ini seolah Bea Cukai 'dikutuk' di antara dilema. Satu pihak ingin ke sini, pihak lain ingin ke sana. 

Selama ini orang men-judge Bea Cukai lebih pro ke industri rokok. Sebetulnya tidak. Karena informasi yang tersebar di masyarakat itu, saya menilai asimetris. Orang belum paham cukai itu apa. Tujuan cukai itu sejatinya untuk mengendalikan konsumsi. Barang kena cukai itu kan yang konsumsinya perlu dikendalikan, peredarannya perlu diawasi, konsumsi atau penggunaannya menyebabkan eksternalitas negatif. Karenanya, konsumsinya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan.

Soal penentuan tarif cukai, ada kurva laffer, yang sebetulnya adaptasi dari backward-bending. Kalau bicara cukai, juga perlu bicara pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan upaya pengendalian. Pertumbuhan ekonomi untuk proxy daya beli. Kemudian, inflasi agar value pengendalian tidak turun. Dua hal ini sudah ada asumsinya di APBN. Sementara ketiga, ada fungsi pengendalian, yang oleh Bu Menteri ada 4 pilar, yakni kesehatan, industri, penerimaan, dan rokok ilegal.

Soal tarif cukai rokok ini harus melihat situasi, karena ada 4 faktor yang semua berpengaruh. Makanya sudah 5 tahun terakhir untuk menentukan tarif cukai sampai ke ratas presiden. Berarti bisa dilihat, industri tembakau bukan hal yang sepele karena sangat luas efeknya. Kalau sekarang, dengan ancaman resesi, dan kita tahun 2023 sudah kembali defisit tidak boleh lebih dari 3%, kesimpulannya apa? Kurvanya harus tetap bergerak di tengah. 

Kira-kira seberapa besar kenaikannya?

Around tahun lalu atau mungkin kalau berpikir penerimaan, pergerakannya dari R1, enggak akan lebih.

Apakah Anda memandang struktur tarif CHT yang berlaku saat ini sudah ideal?

Hingga saat ini pemerintah terus berupaya mewujudkan tarif cukai yang ideal. Kenaikan tarif cukai dilakukan melalui perumusan dengan mempertimbangkan 4 pilar yaitu aspek kesehatan melalui pengendalian konsumsi rokok, aspek keberlangsungan industri dan pertanian tembakau, aspek penerimaan negara, dan aspek pengendalian peredaran rokok ilegal.

Dari aspek kesehatan, kebijakan cukai hasil tembakau mempertimbangkan target penurunan prevalensi perokok usia di bawah umur sebesar 15%, sebagaimana tercantum dalam RPJMN 2020-2024. Dari aspek penerimaan negara, berdasarkan APBN tahun 2022, penerimaan cukai hasil tembakau di tahun 2022 ditargetkan sebesar Rp193 trilliun, atau naik sebesar 11,4 % dari tahun 2021, bahkan dalam Perpres 98/2022 targetnya dinaikkan lagi menjadi Rp209,9 triliun.

Dari aspek industri dan pertanian tembakau, kebijakan cukai hasil tembakau harus dapat memastikan industri tetap berkelanjutan karena terkait penyerapan tenaga kerja. Di samping itu, kebijakan cukai hasil tembakau juga harus mampu memastikan keterserapan tembakau dalam negeri.

Terkait peredaran rokok ilegal, pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan harus dapat memastikan bahwa kebijakan tarif cukai hasil tembakau tidak menjadi insentif bagi peredaran rokok ilegal.

Selanjutnya, proses penetapan tarif pun diatur dalam undang-undang yang memastikan proses penetapan berlangsung dengan sangat demokratis, data driven, rigorous, dan disertai kebijakan peredam dampak.

Sebenarnya, KLM ini contoh riil kenapa kita membuat layering. Kalau KLM [kelembak kemenyan] dianggap salah karena membuat layer baru, kita bisa cabut saja. Tetapi siapa yang menjamin tidak ada perusahaan lain yang memproduksi ini? Dari sini kelihatan layer ini ada untuk melindungi industri kecil. Kalau kita lihat Malaysia, mereka menerapkan single tariff dan rokok ilegalnya yang publish 50%. Tapi ini aslinya pasti lebih.

Cukai adalah skema fiskal. Memang lebih gampang jika terukur, tarif sekian naiknya sekian, makanya kita bicara kurva laffer. Tapi selain itu, apakah menjadi tanggung jawab Kementerian Keuangan juga kalau ada yang menjual rokok kepada anak di bawah 18 tahun? Apa hubungannya fiskal dengan ini? Atau ada yang jual rokok ketengan. Rokok ini urusannya fiskal dan nonfiskal, jadi harus menjadi tanggung jawab bersama dong.

Bea Cukai tidak mengizinkan ada rokok ketengan karena per paknya sudah diatur. Misal SKM, kemasan paling kecil adalah 12 batang, kemudian 16 batang, dan 20 batang. Sebenarnya ada 50 batang, tapi jarang. Kenapa diatur? Kemudahan untuk mengontrol.

Bagaimana soal rencana ekstensifikasi barang kena cukai?

Untuk bisa menjadi barang cukai, harus seizin teman-teman DPR dulu, atau dalam hal ini Komisi XI yang membidangi keuangan. Makanya dengan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan, suatu barang dapat menjadi barang kena cukai itu harus memenuhi syarat dulu. Harus dikonsultasikan ke DPR, setelahnya dibahas di Banggar, ditetapkan dalam APBN. Makanya kemarin presiden dalam nota keuangan menyebutkan target cukai sekian, jenis barangnya apa saja.

Terus kemarin sewaktu APBN diketok, dari situlah sebetulnya dasar hukum suatu barang yang tadinya barang umum menjadi barang kena cukai. Contohnya kalau di Indonesia barang kena cukai ada 3, hasil tembakau, minuman mengandung etil alkohol, dan etil alkohol.

Indonesia negaranya segede ini, BKC-nya cuma 3. Itu saja sumbangannya sudah 13% dari total penerimaan perpajakan. Sementara Thailand, ada 21 macam. Cuma hebatnya Thailand, selain barang juga ada jasa kena cukai.

Memang sebenarnya ada banyak yang bisa dikenakan barang kena cukai, tidak hanya rokok, minuman mengandung etil alkohol, dan etil alkohol. Tapi untuk menjadi barang kena cukai ada prosesnya tadi. Dasar hukumnya di UU APBN. Terus pelaksanaannya bagaimana? Karena undang-undang tidak bisa langsung jalan. Makanya dibikin PP, PMK, dan peraturan lainnya. Kalau sudah bicara PP ini harus ada panitia antarkementerian karena harus menggabungkan seluruh kepentingan, baik kesehatan, perindustrian, fiskal.

Ada yang menjadi pertimbangan hingga kini belum mengenakan cukai pada plastik dan minuman bergula dalam kemasan (MBDK)?

Dalam menerapkan ini, pemerintah harus peka terhadap lingkungan. Kita kan terus terang masih dalam posisi pembenahan pemulihan ekonomi nasional. Pandemi belum terakhir dan pelaku usaha masih membutuhkan insentif, baik insentif fiskal maupun prosedural. Karena banyak yang bicara, 'Pak fiskalnya sudah cukup, saya hanya butuh prosedural, misal dipercepat, dipermudah.' Pandemi belum selesai, terus ada masalah isu gagal ginjal akut, lalu resesi yang mengancam.

Dalam menetapkan suatu barang sebagai objek cukai, misalnya plastik, bagaimana? Pemerintah juga mendengar masukan berbagai pihak. Kita beli makanan juga di-wrap dengan plastik. Ini harus diperhatikan karena ini di hilir. Belum lagi tahun 2022 tarif PPN naik.

Hal ini yang menjadi pertimbangan pokok pemerintah kenapa kok plastik masuk UU APBN 2017 tetapi sampai sekarang belum dipungut. Ya karena itu tadi, semua persyaratan perundangan sudah memenuhi tetapi pemerintah harus hati-hati sekali, diperhatikan dari hulu hingga hilir. Termasuk minuman berpemanis dalam kemasan. Ini di UU APBN 2022 sudah masuk. Tapi masalah penerapannya ya kembali, jangan sampai ganggung momentum pemulihan ekonomi nasional yang bagus. Walaupun ini ada new inside, ancaman resesi bahkan tahun-tahun ke depan.

Maksud saya itu semua terjadi karena adanya intervensi international trade. Sekarang terjadi resesi karena inflasi tinggi. Selama ini inflasi di Indonesia, kontribusinya karena kenaikan demand. Tapi sekarang ini justru penyebab inflasi dari sisi supply. Ini harus disikapinya beda.

Artinya, ekstensifikasi barang kena cukai juga belum tentu terealisasi pada 2023?

Pemerintah posisinya melihat situasi, jangan sampai mengganggu momentum pemulihan ekonomi.

Bagaimana DJBC melindungi masyarakat dari barang berbahaya di perbatasan?

Dari international best practices, yang bertugas di border, ada CIQ, custom, immigration, dan quarantine. Custom mengawasi lalu lintas barang, immigration mengatasi lalu lintas orang, sedangkan quarantine mengawasi lalu lintas media pembawa penyakit yang dari barang tadi. Dari situlah, mulai timbulnya aturan-aturan titipan dari negara lain.

Misalnya yang kemarin soal besi baja, ini bagaimana sih Bea Cukai proyek sudah selesai kok masih diloloskan impornya? Itu kan bicara aturan titipan. Kalau Bea Cukai, urusannya baja ini bea masuknya berapa? Karena aturan turunan dititipkan di border, itu mulai ada aturan tata niaga. Misalnya harus pakai laporan surveyor, ada surat persetujuan impor. Seperti bom, senjata, boleh diimpor atau tidak? Boleh, asal ada izin dari instansi teknis terkait.

Makanya hal inilah yang sering masyarakat menjadi bingung. Bea Cukai maksudnya apa kok ditahan-ditahan? Bahwa perizinannya belum memenuhi. Belum lagi kalau 1 barang itu diatur oleh beberapa kementerian.

Apakah pengenaan bea masuk dan bea keluar selama ini sudah efektif melindungi kepentingan ekonomi nasional?

Tujuan pengenaan bea masuk dan bea keluar tidak hanya sebagai fungsi budgeter atau sumber penerimaan, namun juga sebagai fungsi pengendali/mengatur atau regulerend. Pertimbangan menjaga ketahanan industri dalam negeri, keterjaminan pasokan dalam negeri, hingga kelestarian sumber daya alam adalah sebagian dari implementasi fungsi regulerend tadi. Oleh karena itu, bea masuk maupun bea keluar masih menjadi instrumen penting dalam menopang pemulihan ekonomi nasional baik dari segi penerimaan, serta menjaga sekaligus mendorong keberlangsungan industri dalam negeri, dan melindungi kepentingan masyarakat.

Bagaimana DJBC membangun pendekatan dengan para pengguna jasa, terutama ketika mereka yang sempat tertekan akibat pandemi?

Ketika pandemi Covid-19 menyerang Indonesia di tahun 2020, sektor industri mengalami tekanan yang sangat besar, mulai dari kesulitan bahan baku akibat lockdown negara asal barang, kesulitan pemasaran akibat lemahnya daya beli, hingga akhirnya kesulitan cash flow. Untuk mengetahui kebutuhan pengguna jasa, khususnya untuk meminimalkan dampak pandemi, sekaligus agar stimulus fiskal maupun prosedural yang akan diberikan lebih tepat sasaran.

Pada masa awal pandemi, DJBC melakukan survei dampak ekonomi kepada seluruh perusahaan pengguna jasa kepabeanan dan cukai. Dari survei ini, diketahui bahwa pengguna jasa cenderung lebih membutuhkan insentif prosedural terkait kepabeanan dan cukai, selain tetap dibutuhkan insentif fiskal.

Selanjutnya, untuk menindaklanjuti hasil survei ini, DJBC telah mengeluarkan berbagai insentif prosedural dan fiskal. Insentif tersebut di antaranya pembebasan cukai alkohol untuk penanganan Covid-19, relaksasi fasilitas impor berupa simplifikasi penyerahan dokumen FTA [free trade agreement] secara online, relaksasi PPh impor untuk perusahaan KITE, relaksasi pelunasan cukai hasil tembakau, relaksasi penjualan lokal produk alkes bagi perusahaan kawasan berikat dan KITE, serta percepatan logistik melalui sistem NLE.

Sejak awal pandemi, pemerintah memberikan banyak fasilitas kepabeanan. Bagaimana evaluasinya?

Kementerian Keuangan melalui DJBC telah memberikan insentif fiskal untuk jenis barang berupa alat kesehatan dalam rangka penanganan Covid-19 sejak bulan Maret 2020 sampai dengan saat ini. Selain insentif fiskal, juga diberikan insentif prosedural berupa percepatan pengeluaran barang impor, dan penyederhanaan perizinan tata niaga impor, yang dapat diberikan oleh BNPB dengan pengajuan permohonan secara elektronik melalui Online Single Submission.

Sebagai bentuk evaluasi serta untuk mengetahui tingkat kemanfaatan yang diberikan dan mendapatkan data yang akurat mengenai pemberian fasilitas kepabeanan yang tepat sasaran serta sesuai dengan kebutuhan masyarakat, DJBC bersama DJP dan Badan Kebijakan Fiskal telah melaksanakan survei stimulus fiskal dan nonfiskal program pemulihan ekonomi nasional di tahun 2021.

Pada survei tersebut, diperoleh hasil mayoritas atau sebanyak 64% responden menyatakan manfaat terbesar insentif adalah manfaat likuiditas, disusul manfaat operasional 22%, dan manfaat produksi 14%. Kemudian, berdasarkan penilaian per jenis fasilitas, sebanyak 89% dari responden pengguna fasilitas menganggap insentif impor alat Kesehatan bermanfaat dan 87% responden tertarik untuk memanfaatkan insentif serupa di masa mendatang.

Insentif tambahan untuk perusahaan KITE dan kawasan berikat telah disetop. Bagaimana dengan insentif pembebasan bea masuk dan PDRI atas impor vaksin dan alat kesehatan?

Fasilitas untuk alkes masih diberikan berdasarkan PMK 34/2020 dan perubahan-perubahannya sampai dengan adanya penetapan mengenai berakhirnya status bencana non-alam Covid-19 sebagai bencana nasional. Saat ini, tengah diajukan RPMK perubahan keempat untuk penyesuaian HS code dan hasil evaluasi dengan BNPB [Badan Nasional Penanggulangan Bencana], Kemenkes, BPOM [Badan Pengawas Obat dan Makanan], dan Kemenperin terhadap daftar barang-barang yang diberikan fasilitas.

Fasilitas untuk vaksin masih diberikan berdasarkan PMK 188/2020. Hingga saat ini, belum terdapat rencana pencabutan PMK vaksin. Lain halnya ketika terdapat keputusan yang menyatakan bahwa Covid-19 bukan bencana nasional lagi maka PMK tersebut dapat dipertimbangkan untuk dicabut.

Dengan program pemulihan ekonomi nasional yang berakhir tahun ini, apakah pemberian fasilitas kepabeanan akan berlanjut pada 2023?

Pada tahun 2023 diharapkan kondisi kesehatan masyarakat sudah kembali normal sehingga tidak membutuhkan fasilitas impor alat kesehatan dan vaksin. Namun, di sisi lain pemberian fasilitas terus dipantau dan dievaluasi terkait dengan naik turunnya pandemi. Apabila kembali terjadi lonjakan, sangat mungkin pemberian fasilitas tersebut akan kembali dilaksanakan.

Selain faktor kesehatan, pemberian fasilitas kepabeanan untuk pemulihan ekonomi terutama dalam bidang investasi terus diberikan. Pemberian fasilitas kepabeanan melalui bea masuk ditanggung pemerintah (DTP), kawasan berikat, dan KITE akan terus diberikan guna menarik investasi dan mendorong kinerja ekspor sehingga mampu menggerakkan roda perekonomian.

Pada 2023, harga komoditas diperkirakan kembali turun ke level normal sehingga dapat memengaruhi penerimaan bea keluar. Bagaimana pandangan Anda?

Pemerintah sangat menyadari bahwa commodity boom tidak akan selamanya terjadi. Penerimaan bea keluar diperkirakan akan termoderasi pada tahun 2023 akibat dampak penurunan harga CPO maupun mineral. Namun, penerimaan kepabeanan dan cukai 2023 diyakini masih tetap tumbuh. Pulihnya ekonomi nasional dapat mendorong kinerja penerimaan baik di bea masuk maupun cukai.

Setelah CEISA 4.0 Layanan Impor diimplementasikan secara mandatory, kini CEISA 4.0 Layanan Ekspor mulai diuji coba. Bagaimana progresnya sejauh ini?

Ceisa 4.0 Bagian Pelayanan sudah memasuki tahapan terakhir dari seluruh rangkaian implementasinya di seluruh Satuan Kerja (Satker) DJBC. Layanan Impor sudah terimplementasikan seluruhnya hingga menyisakan 5 kantor saja yang masih piloting, yakni Pelabuhan Tanjung Priok, Pelabuhan Tanjung Perak, Pelabuhan Tanjung Emas, Bandara Soekarno-Hatta, dan Pelabuhan Belawan, serta sisanya semua satker vertikal sudah mandatori.

Layanan Ekspor pun telah terimplementasikan seluruhnya dengan status piloting untuk seluruh satker vertikal DJBC. Sementara untuk Layanan TPB [Tempat Penimbunan Berikat] tinggal menyisakan 1 tahap lagi di bulan November 2022 untuk melengkapi seluruh tahapan implementasinya dengan status piloting. Jadi, di tahun 2022 ini seluruh Satker Vertikal DJBC sudah mengimplementasikan Ceisa 4.0 Layanan Impor, Ekspor dan TPB.

Terakhir, seperti apa kira-kira arah kebijakan dan tantangan yang akan dihadapi DJBC tahun depan?

Bea Cukai sadar bahwa ke depan masih akan menghadapi tantangan yang tidak mudah. Tantangan atas pengawasan barang-barang membahayakan masyarakat misalnya, yang saat ini pemasukannya atau upaya penyelundupannya tidak hanya melewati bandara namun juga perbatasan antar negara.

Tantangan lainnya adalah peningkatan pelayanan kepada masyarakat dan pelaku usaha. Bea Cukai dituntut untuk terus melayani stakeholder-nya, hingga merasa bahwa untuk legal itu adalah mudah. Dukungan kepada industri yang sangat dibutuhkan saat ini agar ekspor nasional terus tumbuh, dengan meningkatkan fasilitas dan berkreasi dengan instrumen dan kebijakan.

Tantangan yang tidak kalah penting adalah penerimaan negara. Bea Cukai dituntut untuk dapat berkontribusi maksimal untuk peningkatan pendapatan negara. Langkah-langkah strategis melalui program reformasi kepabeanan dan cukai berkelanjutan yang meliputi penguatan integritas dan kelembagaan, penguatan pelayanan dan pemeriksaan, penguatan pencegahan dan penindakan pelanggaran, serta peningkatan penerimaan negara dan dukungan ekonomi akan terus digalakkan ke depannya. (sap)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.