Ilustrasi. (foto: businesslive)
JAKARTA, DDTCnews – Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) mulai berkutat dengan salah satu rezim pemajakan yang disebut global minimum tax.
Rezim pemajakan ini menjadi pekerjaan rumah baru setelah adanya diskusi global mengenai regulasi perpajakan internasional menuju digitalisasi ekonomi. OECD sendiri mempertimbangkan rezim ini dalam draf Consultation Paper mengenai income inclusion rule.
Secara sederhana, global minimum tax merupakan nilai pajak minimum yang harus dibayarkan oleh setiap perusahaan multinasional domestik yang memperoleh penghasilan dari luar negeri. Amerika Serikat (AS) menjadi salah satu negara yang sudah sudah menerapkannya melalui skema Global Intangible Law Tax Income (GILTI). Berbeda halnya dengan AS, OECD memakai pendekatan antaryurisdiksi untuk sistem pemajakan ini
Lafayette G. ‘Chip’ Harter III, Wakil Asisten Treasury Amerika Serikat untuk urusan perpajakan internasional menekankan bahwa proses OECD bahwa masih dalam tahap awal. Semua opsi desain akan dibicarakan lebih lanjut.
“Semua opsi desain untuk yang berpotensi atas rezim minimum tax siap untuk didiskusikan, termasuk pendekatan pernegara maupun pendekatan tarif rata-rata,” komentarnya pada pertemuan tahunan International Fiscal Association di Washington pada akhir Februari 2019.
Seperti dilansir Tax Notes Indonesia Vol.93 No.9, Profesor di Georgetown University Law Center Itai Grinberg angkat bicara bahwa adopsi efektif dari rezim global minimum tax harus didahului dengan kesepakatan terhadap berbagai prasyarat.
“Penataan rezim global minimum tax yang seragam dan komprehensif bisa saja menjadi proses yang sulit secara teknis, bahkan pada tingkat OECD,” kata Grinberg.
Oleh karena itu, diperlukan kerja sama internasional terkait kesepakatan tarif pajak efektif minimum yang dikenakan pada pendapatan luar negeri dari perusahaan multinasional yang menetap di setiap yurisdiksi yang berpartisipasi.
Hal tersebut, sambung Grinberg, sudah sedikit dicerminkan oleh Proposal Franco-Germany yang diteken per 29 Februari 2019. Proposal antara kedua negara ini menyetujui ketentuan pemajakan atas ekonomi digital dan pemajakan minimum untuk menyokong reformasi keuangan di kedua negaranya. Persetujuan tersebut menggunakan pendekatan contry-by-country maupun pendekatanentity-by-entity untuk rezim pemajakan minimumnya.
Selain kesepakatan tentang tarif pajak, rezim ini juga paling tidak telah memiliki kesepakatan mengenai pedoman untuk mengatur alokasi biaya dan pembayaran pajak serta pedoman melakukan pembebasan kredit pajak di tingkat dunia.
Grinberg juga mengatakan perlunya pertimbangan adanya fitur tambahan. Beberapa diantaranya adalah mekanisme pengawasan antarnegara untuk menilai apakah sistem masing-masing negara memenuhi syarat. Lebih lanjut, terdapat pula upaya untuk mencegah negara-negara melakukan kecurangan seperti halnya melalaikan tanggung jawab audit.
“Namun demikian, apabila langkah defensif untuk mencegah kegagalan sebagaimana dinyatakan di atas telah dijalankan namun tidak ada kesepakatan antarnegara mengenai kualifikasi sistem pemajakan minimum ini, kekacauan dengan konsekuensi mengerikan lah yang akan timbul selanjutnya,” jelas Grienberg. (kaw)