JAKARTA, DDTCNews – Saat ini pemerintah tengah menyusun rancangan revisi undang-undang pajak penghasilan (UU PPh) yang drafnya direncanakan rampung pada akhir tahun ini. Salah satu perubahan yang diagendakan adalah perubahan tarif pajak.
Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Peraturan dan Penegakan Hukum Pajak Awan Nurmawan Nuh mengatakan perubahan UU PPh tidak hanya bertumpu pada isu penurunan tarif, tapi juga penguasaan data wajib pajak guna menggenjot penerimaan dan mengatasi masalah penghindaran pajak.
“Jadi sebenarnya obatnya itu bukan hanya sekadar menurunkan tarif pajak, tapi mencari langkah agar kami bisa menguasai data wajib pajak serta meningkatkan kerja sama dengan negara terkait,” ujarnya di Hotel Four Points Jakarta, Selasa (16/5).
Awan menambahkan otoritas pajak di berbagai negara kini semakin meningkatkan kerja sama antarnegara untuk memperkaya data, atau disebut multinational channeling. Langkah itu, menurutnya, dapat menjadi langkah yang strategis selain menurunkan tarif pajak.
Salah satu bentuk kerja sama itu di antaranya melalui kerja sama pertukaran informasi perpajakan melalui mekanisme Automatic Exchange of Information (AEoI) yang diusung negara-negara anggota OECD dan G20, termasuk Indonesia.
Hal ini pun telah dibuktikan dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2017 sebagai bentuk komitmen keikutsertaan Indonesia pada AEoI. Menurutnya, pemerintah bisa memanfaatkan instrumen itu untuk menggali potensi pajak atas harta yang dilarikan ke luar negeri.
Kendati demikian, terkait dengan penururan tarif dalam revisi UU PPh, Awan mengungkapkan hal itu menjadi pertentangan yang cukup rumit. Pasalnya, jika pemerintah mengambil langkah menurunkan tarif pajak dalam mengatasi maraknya pelarian harta ke luar negeri, hal itu akan berdampak pada penerimaan negara.
“Tidak bisa dipungkiri, jika pemerintah menurunkan tarif, maka penerimaan negara juga akan turun. Maka dari itu, kami masih mengkaji UU PPh,” katanya. (Amu)