JAKARTA, DDTCNews – Pagi ini, Senin (5/3), berita datang dari Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) yang menganggap Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 15 Tahun 2018 tentang kewenangan fiskus menghitung nilai pajak atas wajib pajak justru membuka ruang penyimpangan yang lebih besar.
Ketua HIPMI Bidang Tax Center Ajib Hamdani mengatakan metode seperti itu sepatutnya hanya bersifat alternatif atau data sekunder. Dia meminta dalam penetapan berapa besaran peredaran bruto, data primer yakni laporan keuangan yang harus menjadi rujukan utama.
Menurutnya kurang adil jika hanya mengandalkan analisis hitungan secara matematika, karena jika metode yang digunakan kurang pas, maka akan berpotensi menghasilkan output yang tidak tepat atau bahkan tidak mencerminkan keadaan sebenarnya.
Benchmarking, data pembanding yang dijadikan rujukan belum tentu sama atau apple to apple dengan kondisi wajib pajak yang ada. Banyak faktor yang bisa menjadi pembeda, seperti skala bisnis, jumllah produksi, harga jual, harga beli dan lainnya.
Kabar lainnya masih mengenai peraturan pajak PER 31/PJ/2017 dan keadilan pajak. Berikut ringkasannya:
Terbitnya Perdirjen Pajak 31 tahun 2017 terkait transparansi data wajib pajak dalam faktur elektronik per 1 April 2018 cukup membuat pengusaha resah. Pasalnya seorang pembeli yang tidak memiliki NPWP diharuskan mencantumkan Nomor Induk Kependudukan (NIK) dalam faktur elektronik saat transaksi jual beli.
Wakil Ketua Komite Tetap Bidang Perpajakan Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia Herman Juwono menyatakan sudah memprediksi sejak awal jika penerapan aturan ini berpotensi membuat kegaduhan yang baru.
Sementara Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Humas Ditjen Pajak Hestu Yoga Saksama mengatakan para wajib pajak seharusnya tidak perlu khawatir dengan penerapan kebijakan tersebut. Mengingat, kewajiban pencantuman NIK oleh wajib pajak atau pembeli itu sudah diumumkan sejak tahun lalu.
Pasalnya tujuan implementasi beleid ini semata-mata adalah menciptakan keadilan dan perlakuan setara antara wajib pajak yang sudah patuh dengan yang terindikasi belum patuh. Hestu menjelaskan hal ini juga untuk memperbaiki iklim kegiatan usaha karena terjadi persaingan usaha yang sehat.
Bursa Efek Indonesia (BEI) usul kepada pemerintah untuk menghapus pajak dividen bagi investor yang sudah melakukan investasi besar di pasar saham. langkah ini diambil untuk mendorong investor ritel berinvestasi di pasar saham.
Dirut Bursa Efek Indonesia (BEI) Tito Sulistio mengusul jika orang berinvestasi maksimum Rp10 juta per bulan selama 1 tahun dan secara rutin, pajak dividennya boleh ditiadakan. Dia mengatakan usulan itu bisa menjadi insentif bagi investor ritel agar mengubah perilaku berinvestasi.
Ia menyontohkan investor yang tadinya hanya berinvestasi jangka pendek, bisa ebih berminat untuk berinvestasi jangka panjang. Hal ini sejalan dengan visi BEI yang tengah menggalakan program Yuk Nabung Saham.
Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia (BI) Bali Causa Iman Karana mengatakan penyelenggaraan Annual Meeting IMF-World Bank 2018 berpotensi menghasilkan manfaat ekonomi kepada Indonesia sekitar Rp5,7 triliun, estimasi dampak ekonomi dan jumlah uang berputar yang utama disumbang dari akomodasi.
Selama 5 hari mulai 12-14 Oktober mendatang, dan 15 ribu peserta dengan asumsi membawa keluarga dengan spending Rp566 miliar. Kemudian, asumsi tiket pesawat sebesar Rp38 miliar, belanja kuliner, paket hiburan dan suvenir bisa mencapai Rp146 miliar.
Sementara dana yang dihabiskan untuk pembangunan infrastruktur pendukung setara Rp3,77 triliun yang dibelanjakan untuk pembangunan underpass Ngurah rai Rp289 miliar, Apron Bandara Ngurah Rai Rp1,34 triliun, Benoa Tourism Port Rp1,7 triliun, dan Patung GWK mencapai Rp450 miliar
Pemerintah menilai penurunan inflasi inti lebih disebabkan oleh pergeseran pola konsumsi masyarakat. Namun, pengamat meminta pemerintah untuk mengantisipasi sejumlah faktor internal dan eksternal yang bisa menggerus daya beli di tengah pennurunan tingkat konsumsi masyarakat.
Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Adriyanto mengatakan kalau melihat inflasi secara umum sebenarnya tidak ada indikasi pelemahan daya beli. Akan tetapi, memang ada indikasi ada kelompok menengah atas yang menahan belanja.
Menurutnya kalau tingkat inflasi bergerak turun akan berdampak positif pada daya beli. Penurunan inflasi inti tidak berarti terjadi pada penurunan daya beli. Padahal kalau dilihat, tingkat tabungan itu tumbuh tinggi cuma bagaimana pola konsumsinya.
Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Eko Listiyanto mengatakan faktor internal dan eksternal sangat mempengaruhi proses pertumbuhan baik konsumsi maupun indikator daya beli lainnya.
Faktor internal seperti Pilkada tampaknya memiliki dua sisi mata uang, pertama momentum politik memang akan mendorong konsumsi. Kedua, perpajakan di mana berbagai akrobat di sektor pajak yang secara kebetulan memang sedang jadi fokus pemerintah, sedikit akan berpengaruh ke konsumsi kalangan menengah.
Meski begitu keterbukaan informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan memang menjadi salah satu hal yang diperlukan apalagi basis data perpajakan juga masih perlu ditambah. (Gfa/Amu)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.