JAKARTA, DDTCNews – Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) percaya diri ekonomi Indonesia mampu bertahan di tengah gejolak pasar keuangan yang terjadi saat ini. Optimisme ini tercermin dari data indikator ekonomi domestik yang stabil pada triwulan I 2018.
Hal tersebut diungkapkan oleh Ketua KSSK, Menteri Keuangan Sri Mulyani seusai rapat bersama Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK).
Rapat dihadiri oleh Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso, Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo, dan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Halim Alamsyah.
"Fundamental ekonomi kita tetap kuat, kinerja lembaga keuangan juga membaik serta kinerja emiten di pasar modal yang stabil," katanya seusai Rapat Triwulan KSSK di BI, Senin (30/4).
Lebih lanjut, Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu menyebutkan gejolak ekonomi saat ini berupa volatilitas nilai tukar dan kenaikan harga minyak lebih banyak disebabkan oleh faktor eksternal. Bahkan dari gejolak tersebut, Indonesia masih menerima manfaat terutama dari sisi penerimaan hasil kenaikan harga minyak.
"Penerimaan dari sektor migas kita naik baik itu dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) maupun dari Pajak Migas. Ini yang akan kita kelola karena ada kebutuhan di dalam negeri untuk BBM bersubsidi," terang Sri Mulyani.
Menurutnya, meningkatnya penerimaan akibat melonjaknya harga minyak akan dimanfaatkan pemerintah untuk kelompok masyarakat yang paling rentan, dalam hal ini adalah kelompok miskin. Sri Mulyani menjelaskan strategi yang dilakukan adalah menjaga subsidi dalam bentuk Program Keluarga Harapan (PKH) dan jaminan pendidikan serta kesehatan.
Selain itu, optimisme menghadapi gejolak global juga berasal dari sisi penerimaan negara hingga April 2018 juga menunjukan perbaikan kinerja. Seperti penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang tumbuh sebesar 15,03%. Kemudian PPh Non-Migas tumbuh 20,12% tanpa memasukkan indikator tax amnesty.
Kemudian indikator lain adalah tingkat inflasi yang terjaga di angka 3,5%, cadangan devisa sebesar US$126 miliar, di mana cukup untuk pembiayaan 7,9 bulan impor. (Amu)