Pengamat Pajak Darussalam saat memberi paparan dalam Seminar Reformasi Perpajakan 19th TST FEB UI di The Westin Jakarta (6/6). (Foto: DDTCNews)
JAKARTA, DDTCNews - Hiruk pikuk politik sudah mulai terasa saat ini yang terus akan memucak saat kontestasi pemilihan legislatif (Pileg) dan pemilihan presiden (Pilpres) dihelat tahun depan.
Beragam janji akan ditebar untuk meyakinkan pemilih. Namun, pendidikan politik masih minim pada sebatas pada program yang akan dijalankan pasca terpilih.
Lebih fokus pada aspek belanja ini yang menurut pakar perpajakan Darussalam sebagai bagian yang belum ideal dalam proses elektoral di Indonesia.
Menurutnya, kasus di Amerika Serikat dan Malaysia bisa menjadi contoh bagus bagaimana kontrak fiskal dijalankan dalam bingkai politik.
"Kita lebih fokus pada aspek belanja tanpa membahas lebih dalam dari mana sumber-sumber penerimaan," katanya dalam Seminar Reformasi Perpajakan 19th TST FEB UI di The Westin Jakarta, Rabu (6/6).
Karena itu, lanjutnya, praktik kontrak fiskal di AS dan Malaysia bisa jadi pelajaran tersendiri bagi Indonesia. Terutama untuk pendidikan politik warga negara.
"Reformasi pajak AS bagian dari kampanye Donald Trump untuk menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang kemudian lahir dalam produk hukumnya 'Tax Cut and Jobs Act'," terang Darussalam.
Kemudian, di Malaysia dengan politik reformasi pajaknya berhasil mengantarkan Mahatir Muhammad menjadi oposisi pertama yang menang pemilu dalam 6 dekade terakhir. Salah satu janji politiknya ialah menghapus sistem GST/PPN dan kembali pada sistem pajak penjualan.
"Kedua negara ini merupakan contoh menarik bagaimana kontrak fiskal dilakukan. Lalu bagaimana dengan Indonesia di mana tingkat kepatuhan yang masih rendah dan struktur pajak yang tidak berimbang menjadi salah satu hambatan dalam penerimaan pajak," tutupnya. (Amu)