Suasana Head of Delegation Meeting. (foto: DJP)
JOGJAKARTA, DDTCNews – Tantangan pajak yang menyangkut masalah digitalisasi ekonomi menjadi salah satu topik yang menjadi sorotan dalam rapat tahunan ke-49 Study Group on Asian Tax Administration and Research (SGATAR).
Perwakilan dari OECD Grace Perez-Navarro dalam Head of Delegation Meeting sesi kedua rapat tahunan tersebut menyampaikan perhatiannya pada masalah perpajakan digital yang dirasakan bagi seluruh yurisdiksi di dunia.
“Ekonomi digital masih menjadi isu fundamental hingga saat ini karena akan terkait dengan hak pemajakan suatu negara. Kita perlu merumuskan aturan terkait alokasi perpajakan yang paling adil,” ujarnya membawakan materi ‘Taxation on Digital Economy: Development of Global Consensus’.
Menurutnya, perjalanan untuk merumuskan perpajakan digital masih jauh. Namun, selama terjadi kolaborasi antar anggota SGATAR, OECD optimis akan ditemukannya solusi atas masalah tersebut. OECD juga menawarkan unified approach adalah melalui pengenalan nexus baru serta revisi aturan terkait alokasi profit.
Seperti diketahui, sebelumnya, OECD meminta komentar publik terkait proposal yang diajukan oleh sekretariat untuk pendekatan terpadu (unified approach) di bawah pilar pertama terkait pemajakan ekonomi digital.
Adapun pertemuan konsultasi publik terpisah lain tentang masalah pilar kedua akan diselenggarakan pada Desember 2019. Dokumen konsultasi publik terkait pilar kedua diharapkan akan dirilis pada awal November 2019.
Sandra Farhat, Deputi Komisioner dari Australia menggarisbawahi metode pengukuran pajak dalam digital ekonomi khususnya terkait transaksi lintas batas (cross border). Australia, ungkapnya, sudah menggunakan empat ukuran yang berhasil membawa dampak yang baik bagi penerimaan dan kepatuhan wajib pajak.
“Australia saat ini telah menggunakan beberapa ukuran atas transaksi lintas batas negara yaitu Multinational Anti-Avoidance Law (2016), diverted profits tax (2017), GST on imported services and digital products (2017), serta GST on low value imported goods (2018),” paparnya.
Tsuguhiko Hoshino, Head of Delegations dari Jepang mengusung beberapa pilar pendekatan di NTA Jepang atas digital ekonomi. Pendekatan itu mencakup penyusunan legal frameworks, peningkatan kapabilitas administrasi, serta kerja sama internasional. Per Oktober 2019, Jepang telah memiliki tax treaty tentang pasal mutual assistance terkait pengumpulan utang pajak dengan 63 yurisdiksi.
Head of Delegation dari Korea Kim Hyun-jun memaparkan pengukuran domestik aspek perpajakan digital di Korea. Pada 2018, Korea berhasil mengumpulkan penerimaan pajak pertambahan nilai (PPN/VAT) senilai US$111 miliar melalui metode simplified registration regime.
Kim menyampaikan saran agar anggota SGATAR mampu meningkatkan kepatuhan sukarela atas penyediaan jasa digital lintas batas negara. Dia juga berpendapat perlunya pengenalan kepatuhan pajak sejak tahapan awal perkembangan industri e-commerce.
“Serta kerja sama internasional untuk mengurangi asimetri informasi antara pembayar pajak dan otoritas pajak,” imbuhnya.
John Hutagaol selaku Sekretaris Jenderal Rapat Tahunan ke-49 SGATAR memimpin jalannya Head of Delegations meeting sesi ke-2 tersebut. Dia menggarisbawahi beberapa masalah utama terkait dengan penyelenggaraan SGATAR ke-50 dan ke-51.
“Oleh karena itu, Head of Delegation dari Jepang telah mengemukakan kesediaannya untuk menjadi penyelenggara atas rapat tahunan ke-50 SGATAR di Jepang,” kata John, seperti dilansir laman resmi DJP.
Dalam kesempatan tersebut, Tsuguhiko Hoshino dan Sabin bin Samitah selaku The Head of Delefations dari Malaysia mengungkapkan kesediaannya untuk menjadi penyelenggara dalam SGATAR ke-50 dan ke-51. (MG-avo/kaw)