KEBIJAKAN PAJAK

Soal Wacana Pajak Ojol dan Olshop, Baiknya Diurus Pemerintah Pusat

Muhamad Wildan
Jumat, 20 Oktober 2023 | 15.15 WIB
Soal Wacana Pajak Ojol dan Olshop, Baiknya Diurus Pemerintah Pusat

Ilustrasi. Sejumlah pengemudi ojek online melakukan unjuk rasa di ruas Jalan S. Parman, Purwokerto, Banyumas, Jawa Tengah, Selasa (3/10/2023). ANTARA FOTO/Idhad Zakaria/foc.

JAKARTA, DDTCNews - Ide pengenaan pajak atas ojek online dan online shop (olshop) yang sempat diutarakan oleh Pemprov DKI Jakarta seyogianya diterapkan oleh pemerintah pusat sendiri, bukan oleh pemerintah daerah (pemda).

Director Fiscal Research and Advisory DDTC B. Bawono Kristiaji mengatakan pemda tidak memiliki kewenangan untuk menerapkan pajak selain jenis yang ditetapkan dalam UU Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD).

"Saya melihat lebih baik persoalan ini diselesaikan di pajak di tingkat pusat ketimbang diserahkan ke daerah masing-masing," katanya dalam Indonesia Menyapa Siang yang disiarkan oleh Pro3 RRI, Jumat (20/10/2023).

Bawono menjelaskan UU No. 7/2021 Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) sesungguhnya telah memberikan kewenangan kepada Ditjen Pajak (DJP) untuk menunjuk platform sebagai pemungut pajak.

Merujuk pada Pasal 32A UU KUP s.t.d.t.d UU HPP, pemerintah sudah memiliki kewenangan untuk menunjuk penyelenggara platform sebagai pemungut atau pemotong pajak atas transaksi secara online. Namun, ketentuan teknisnya belum diterbitkan oleh pemerintah pusat.

"Platform bisa diminta memungut atau memotong pajak dari pelaku usaha di ekosistem platform tersebut, tetapi aturan teknisnya belum menyasar ekosistem e-commerce. Jadi, belum ada ketentuan teknisnya di situ," tutur Bawono.

Pemda tidak memiliki kewenangan untuk mengenakan pajak atas ojek online ataupun online shop mengingat daftar jenis pajak dalam UU HKPD bersifat closed list. Artinya, pemda tidak mungkin mengenakan pajak di luar kewenangan yang diberikan oleh UU HKPD.

Kalaupun pemda hendak menerapkan pajak atas ojek online, online shop, dan transaksi-transaksi digital lainnya, setidaknya terdapat 2 hal yang perlu diperhatikan oleh pemerintah.

Pertama, kebijakan tidak boleh menimbulkan pengenaan pajak berganda. Bila suatu objek sudah dipajaki oleh pemerintah pusat, objek tersebut tidak boleh dipajaki juga oleh pemda.

"Di UU HKPD ini sudah ada pemisahan yang jelas. Misalkan, untuk pajak barang dan jasa tertentu (PBJT) atas makanan dan minuman yang disediakan restoran, itu tidak boleh PPN-nya diterapkan di pemerintah pusat karena sudah dipungut di pemda," ujar Bawono.

Kedua, basis dari jenis pajak yang menjadi kewenangan daerah seharusnya tidak bersifat mobile atau tidak mudah berpindah.

"Harus jelas ini berada di daerah tertentu dan tidak boleh terlalu mobile. Bayangkan misalnya online shop berdomisili di daerah tertentu, tetapi bisa jadi ada overclaim. Hak pemajakannya timbul di daerah mana nih? Ini bisa jadi polemik juga," kata Bawono.

Terlepas dari isu tersebut, Bawono mengapresiasi sikap Pemprov DKI Jakarta yang mewacanakan pengenaan pajak atas ojek online dan online shop. Menurutnya, kemunculan ide itu menunjukkan adanya semangat dari pemprov untuk mengoptimalkan penerimaan.

"Mindset seperti ini, mindset untuk ada ruang kreativitas untuk optimalisasi penerimaan pajak seharusnya menular juga. Banyak pemda-pemda lain yang belum optimal dari sisi kemandirian fiskalnya," tuturnya. (rig)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.