Foto udara area pengeboran sumur eksplorasi Buah Merah (BMR)-001, Distrik Klasafet, Kabupaten Sorong, Provinsi Papua Barat Daya, Senin (10/6/2024). ANTARA FOTO/Erlangga Bregas Prakoso/aww/tom.
JAKARTA, DDTCNews - Indonesia kini mengenggam 15 proyek potensial carbon capture and storage (CCS) serta carbon capture utilisation and storage (CCUS) yang ditargetkan mulai onstream atau beroperasi pada 2026 hingga 2030.
CCS/CCUS merupakan penerapan energi bersih yang memungkinkan penangkapan emisi gas rumah kaca untuk disimpan secara permanen di bawah tanah. Proyek ini menjadi salah satu solusi yang disiapkan pemerintah dalam menekan emisi karbon, selain sejumlah kebijakan lain termasuk penerapan pajak karbon.
"Ada dua cekungan yang sedang didorong untuk dijadikan CCS-hub di wilayah Asia Timur dan Australia, yakni Cekungan Sunda Asri dan Cekungan Bintuni," kata Direktur Pembinaan Usaha Hulu Migas Ariana Soemanto di sela Oil and Gas Session pada pertemuan Indonesia - Norway Bilateral Energy Consultation (INBEC), dikutip pada Selasa (2/7/2024).
Indonesia dikenal memiliki cekungan sedimen terbesar di kawasan Asia Tenggara. Jika diperinci, Indonesia memiliki potensi sumber daya penyimpanan karbon di 20 cekungan dengan kapasitas 573 giga ton saline aquifer dan 4,8 giga ton depleted oil and gas reservoir yang tersebar di berbagai wilayah di Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua.
Ariana juga menjelaskan bahwa skema pelaksanaan proyek CCS di Indonesia dibagi menjadi 2 pilihan. Pertama, penyelenggaraan CCS berdasarkan kontrak kerja sama migas. Dalam skema ini, rencana kegiatan CCS dapat diusulkan oleh KKKS dalam POD I maupun POD lanjutan atau revisinya.
Kedua, CCS dapat dikembangkan sebagai usaha tersendiri, melalui izin eksplorasi zona target injeksi, dan izin operasi penyimpanan karbon.
Untuk mendukung pengembangan CCS/CCUS, pemerintah juga telah mengimplementasikan berbagai kebijakan, antara lain pembentukan CCS/CCUS National Centre of Excellence bersama dengan lembaga penelitian dan universitas, memperkuat kerja sama internasional di bidang CCS/CCUS, serta menyusun regulasi dan kebijakan turunan.
"Saat ini, telah terbit Peraturan Menteri (Permen) ESDM 2/2023 dan Peraturan Presiden (Perpres) 14/2024 yang menjadi landasan hukum kuat untuk pengembangan dan penerapan penangkapan dan penyimpanan karbon (CCS) di Indonesia," pungkas Ariana.
Pasal 42 Perpres 14/2024 ikut mengatur bahwa pendapatan dari hasil monetisasi dalam bentuk imbal jasa penyimpanan [storage fee] diberlakukan sesuai dengan ketentuan perpajakan pada kegiatan usaha hulu migas.
Jika pelaksanaan CCS dilakukan berdasarkan izin operasi penyimpanan karbon maka KKKS dikenakan kewajiban penerimaan negara bukan pajak (royalti) yang wajib dibayarkan kepada pemerintah.
Pemegang izin operasi penyimpanan dikenai kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Besaran kewajiban PNBP (royalti) kepada pemerintah juga mengikuti ketentuan yang saat ini berlaku. Pemerintah juga menyediakan insentif perpajakan bagi investor yang mengembangkan CCS di Indonesia. (sap)