Dirjen Pajak Suryo Utomo. (tangkapan layar Youtube Kemenkeu)
JAKARTA, DDTCNews - Dirjen Pajak Suryo Utomo menyampaikan beberapa poin perkembangan terkini reformasi perpajakan.
Suryo mengatakan sejarah panjang reformasi yang dilakukan Ditjen Pajak (DJP) telah dimulai sejak 1983. Modernisasi tahap pertama ditandai dengan pembentukan kantor wajib pajak besar dengan sistem pengawasan yang lebih sistematis dan terstandardisasi.
Kemudian, reformasi tahap kedua lahir sebagai upaya keluar dari krisis ekonomi global pada 2008. Lalu, reformasi pajak tahap ketiga ditandai dengan inisiatif akselerasi layanan pembayaran dan pelaporan pajak secara elektronik serta pelaksanaan program tax amnesty.
“Izinkan saya Suryo Utomo, Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Republik Indonesia menyampaikan perkembangan reformasi perajakan terkini,” ujar Suryo dalam sebuah video yang diunggah pada kanal Youtube Kementerian Keuangan, dikutip pada Jumat (19/7/2024).
Setidaknya ada 5 poin perkembangan terkini reformasi perpajakan yang disampaikan Suryo dalam video tersebut. Pertama, pajak sebagai sumber utama penerimaan negara. Upaya pengumpulan penerimaan pajak, sambungnya, tidak dapat dilakukan sendirian.
“Pencapaian target penerimaan 3 tahun turut-turut sejak 2021 adalah keberhasilan bersama seluruh helemen bangsa,” ujar Suryo.
Kedua, peningkatan kualitas layanan. Peningkatan ini dilakukan dengan memberi kemudahan dalam pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan. Sampai dengan saat ini, sebanyak 98 layanan sudah terautomasi dan terdigitalisasi.
Ketiga, edukasi wajib pajak sebagai investasi jangka panjang dalam upaya pembangunan budaya kepatuhan pembayaran pajak. Saat ini, mata ajar pajak telah dimasukkan dalam kurikulum pendidikan menengah dan tinggi sebagai program inklusi kesadaran pajak. Selain itu, 495 tax center telah dibentuk di berbagai universitas di Indonesia.
Keempat, interoperabilitas data. Suryo mengatakan data is the new mining. Oleh karena itu, otoritas pajak telah menandatangani sekitar 440 kesepakatan kerja sama pertukaran data dengan berbagai institusi.
“Dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan telah diinisiasi penggunaan NIK (Nomor Induk Kependudukan) sebagai NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak). Sampai saat ini, lebih dari 70 juta NIK telah padan dengan NPWP,” ungkap Suryo.
Kelima, reformasi administrasi DJP yang ditandai dengan pembangunan coretax administration system (CTAS). Menurut Suryo, implementasi CTAS akan meningkatkan kemampuan DJP dalam automasi dan digitalisasi layanan.
Hal tersebut diharapkan dapat menurunkan compliance cost wajib pajak. Di sisi lain, kredibilitas data dan penyederhanaan proses bisnis pada gilirannya akan menurunkan administration cost bagi otoritas pajak.
DJP juga melakukan perbaikan organisasi dengan menambah 34 kantor yang mengelola wajib pajak berskala menengah. Selain itu, DJP juga melakukan penajaman fungsi pengawasan pada kantor pajak pratama.
“Kami berkomitmen terus untuk melakukan perbaikan dan inovasi,” imbuh Suryo. (kaw)