Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Ditjen Pajak (DJP) mengeklaim munculnya klausul anti penghindaran dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 47/2024 bukan dilatarbelakangi oleh praktik penghindaran automatic exchange of information (AEOI) yang dilakukan perbankan.
Menurut Dirjen Pajak Suryo Utomo, terbitnya PMK 47/2024 sepenuhnya bertujuan untuk menyesuaikan regulasi AEOI yang berlaku di dalam negeri dengan hasil peer review dan common reporting standard (CRS).
"Iya itu standar aja, betul [penyesuaian dengan hasil peer review]," ujar Suryo ketika ditanya, dikutip Senin (19/8/2024).
Sebagaimana tercantum dalam bagian pertimbangan dari PMK 47/2024, pemerintah menjabarkan bahwa PMK 70/2017 s.t.d.t.d PMK 19/2018 belum memuat pengaturan soal anti penghindaran sesuai dengan CRS. Karenanya, PMK 47/2024 diperlukan untuk mengadopsi klausul anti penghindaran tersebut.
Merujuk pada laporan berjudul Peer Review of the Automatic Exchange of Financial Account Information 2022, Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) mencatat Indonesia belum pernah pernah menerapkan sanksi terhadap lembaga jasa keuangan yang belum memenuhi kewajiban pelaporan informasi keuangan sesuai dengan AEOI.
Meski demikian, OECD mencatat Indonesia memiliki komitmen untuk melakukan enforcement atas ketidakpatuhan-ketidakpatuhan dimaksud. "Contoh, Indonesia telah membuat saluran yang bagi masyarakat untuk melaporkan pelanggaran CRS. Indonesia juga telah melakukan pertemuan secara one-on-one dengan lembaga keuangan pelapor yang melaporkan undocumented account," tulis OECD dalam dokumen peer review dimaksud.
Seperti diketahui, PMK 47/2024 memuat klausul yang menegaskan sanksi bagi setiap orang yang bersepakat untuk menghindari kewajiban AEOI serta setiap orang yang menyembunyikan informasi yang seharusnya disampaikan berdasarkan AEOI.
Adapun yang dimaksud dengan setiap orang dalam PMK ini adalah lembaga jasa keuangan (LJK), LJK lainnya, entitas lainnya, pimpinan/pegawai LJK, pimpinan/pegawai LJK lainnya, pimpinan/pegawai entitas lain, pemegang rekening keuangan orang pribadi, pemegang rekening keuangan entitas, penyedia jasa, perantara, dan/atau pihak lain.
Dalam hal terdapat indikasi pelanggaran, DJP memiliki kewenangan untuk melakukan klarifikasi, memeriksa, hingga melakukan pemeriksaan bukti permulaan (bukper). Pemeriksaan bukper dilakukan bila hasil pemeriksaan menunjukkan indikasi adanya tindak pidana di bidang perpajakan. (sap)