Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Pemerintah masih mempertimbangkan rencana perpanjangan periode pemberian PPh final 0,5% untuk wajib pajak orang pribadi UMKM. Topik tersebut menjadi salah satu ulasan media nasional pada hari ini, Rabu (11/9/2024).
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Febrio Kacaribu mengatakan BKF masih menantikan arahan menteri keuangan terkait dengan wacana perpanjangan masa berlaku PPh final 0,5% untuk UMKM wajib pajak orang pribadi.
"Nanti, kami lihat arahan Bu Menteri. Memang itu pasti akan selalu kita evaluasi, sama seperti insentif-insentif yang lain pasti selalu akan kami evaluasi," katanya.
Rencana evaluasi insentif PPh final 0,5% untuk UMKM sempat disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati saat rapat bersama Komite IV DPD beberapa waktu yang lalu.
Kala itu, anggota Komite IV DPD Evi Zainal Abidin meminta pemerintah memperpanjang jangka waktu pemanfaatan skema PPh final UMKM, utamanya bagi wajib pajak orang pribadi yang telah memanfaatkan skema PPh final UMKM sejak tahun pajak 2018.
Sebagaimana diatur PP 55/2022, orang pribadi yang memanfaatkan skema PPh final UMKM sejak 2018 bisa memanfaatkan skema tersebut maksimal hingga tahun pajak 2024. Tahun berikutnya, wajib pajak harus mulai menghitung dan membayar pajak sesuai dengan ketentuan umum.
Selain evaluasi PPh final, ada pula ulasan mengenai upaya pemerintah menjaga biaya operasional untuk pengumpulan pendapatan negara tetap rendah. Ada pula ulasan perihal tarif cukai minuman berpemanis dalam kemasan dan kelanjutan proses seleksi hakim agung.
Pemerintah menyatakan insentif PPh final 0,5% menjadi bentuk keberpihakan negara kepada UMKM. Nilai belanja perpajakan yang dinikmati UMKM rata-rata berkisar Rp60 hingga Rp70 triliun setiap tahun.
Selain PPh final bertarif 0,5%, pemerintah melalui UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) juga mengatur wajib pajak orang pribadi UMKM dengan omzet sampai dengan Rp500 juta dalam setahun tidak terkena pajak.
"Memang keberpihakan dari APBN sangat kuat terhadap UMKM," ujar Kepala BKF Febrio Kacaribu. (DDTCNews)
Badan Akuntabilitas Keuangan Negara DPR menyepakati usulan tarif cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) minimal sebesar 2,5% pada 2025 dan naik secara bertahap sampai dengan 20% pada tahun-tahun berikutnya.
Angka besaran cukai MBDK tersebut merupakan kesimpulan dari rapat kerja antara BAKN DPR dan Kementerian Keuangan serta Kementerian BUMN pada masa sidang I periode 2024 – 2025 di Kompleks Parlemen.
“BAKN merekomendasikan pemerintah untuk menerapkan cukai MBDK sebesar minimal 2,5% pada 2025, dan secara bertahap sampai dengan 20%,” kata Ketua BAKN DPR Wahyu Sanjaya. (Bisnis Indonesia/Kontan)
DPR memutuskan untuk menolak seluruh calon hakim agung (CHA) dan calon hakim ad hoc HAM yang diusulkan oleh Komisi Yudisial (KY).
Keputusan ini telah diambil oleh DPR melalui rapat paripurna setelah disampaikannya laporan oleh Komisi III DPR selaku komisi yang melaksanakan fit and proper test terhadap para CHA yang diusulkan KY.
Wakil Ketua Komisi III Pangeran Khairul Saleh mengatakan penolakan atas 12 CHA dan calon hakim ad hoc dilatarbelakangi adanya 2 CHA yang belum memiliki pengalaman 20 tahun menjadi hakim seperti diatur dalam UU 14/1985 s.t.d.t.d UU 3/2009. (DDTCNews)
Kementerian Keuangan menyatakan terus berupaya menjaga biaya operasional untuk pengumpulan pendapatan negara (cost of collection) tetap rendah.
Wakil Menteri Keuangan II Thomas Djiwandono mengatakan rasio biaya operasional terhadap penerimaan negara memang sempat di atas 1%. Namun sejak 2023, pemerintah menjaga agar rasio biaya operasional terhadap penerimaan negara bisa di bawah 1%.
"Cost of collection yang menjadi rasio biaya operasional DJP, DJBC, dan DJA terhadap pendapatan negara, terlihat bahwa rasionya relatif rendah di bawah 1% pada 3 tahun terakhir," katanya dalam rapat bersama Komisi XI. (DDTCNews)
Pajak seharusnya dikenakan oleh otoritas pajak berdasarkan undang-undang yang telah disepakati oleh pemerintah bersama DPR, bukan berdasarkan pada diskresi.
Founder DDTC Darussalam mengatakan undang-undang adalah kesepakatan bersama antara pemerintah dan DPR selaku wakil wajib pajak. Pengenaan pajak berdasarkan undang-undang diperlukan untuk menciptakan kepastian hukum.
"Kesepakatan bersama itu adalah kepastian, jangan ada yang di luar kesepakatan bersama, jangan kami dikenai pajak berdasarkan diskresi. Pajak adalah kesepakatan bersama antara pemerintah yang mewakili negara dan DPR yang mewakili wajib pajak. Jadi, sesederhana itu menurut kami [wajib pajak]," katanya. (DDTCNews)
Mahkamah Agung (MA) menggelar rapat pleno pembahasan Rancangan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana di Bidang Perpajakan, Jumat (6/9/2024) di Hotel Grand Aston Puncak Cianjur.
Rapat Kelompok Kerja Penanganan Perkara Tindak Pidana di Bidang Perpajakan tersebut turut dihadiri Dirjen Pajak Suryo Utomo. Wakil Ketua MA Bidang Non Yudisual Suharto mengatakan salah satu mandat dari kelompok kerja tersebut adalah mempersiapkan regulasi.
“Melalui rapat ini, ke depan [diharapkan] adanya konsistensi putusan dan adanya peningkatan kapasitas para hakim terkait pemahaman tindak pidana pajak,” ujar Suharto, dikutip dari keterangan tertulis di situs web MA. (DDTCNews)