Manager of DDTC Fiscal Research & Advisory (FRA) Denny Vissaro dalam International Tax Forum 2024 di Bali, Rabu (25/9/2024).
BALI, DDTCNews - Laporan belanja perpajakan (tax expenditure report) dinilai dapat menjadi salah satu sarana untuk mengevaluasi fasilitas perpajakan yang telah diberikan oleh pemerintah.
Manager of DDTC Fiscal Research & Advisory (FRA) Denny Vissaro mengatakan terdapat beberapa fasilitas perpajakan yang masih minim dimanfaatkan wajib pajak pada 2022. Misal, tax holiday dan tax allowance untuk pelaku usaha di kawasan ekonomi khusus dan kawasan industri, serta supertax deduction untuk kegiatan vokasi dan litbang.
"Keberadaan informasi ini seharusnya dapat digunakan untuk dikaitkan dengan informasi lain di lapangan untuk mengevaluasi penyebabnya dan solusi apa yang dapat dipilih," katanya dalam International Tax Forum 2024 di Bali, Rabu (25/9/2024).
Denny mengatakan penyaluran belanja perpajakan yang kurang optimal antara lain disebabkan ketidakpastian dalam beberapa fasilitas. Ketidakpastian terkait dengan keterpenuhan persyaratan dan kewajiban lanjutan dari memanfaatkan fasilitas pajak berpotensi menyebabkan wajib pajak berpikir ulang dalam memanfaatkan fasilitas tersebut.
Sebagai contoh, persyaratan nilai minimum investasi baru dalam beberapa fasilitas pajak yang sulit untuk ditentukan komponennya. Kemudian, rentang waktu realisasi investasi juga sering menjadi pertanyaan di antara wajib pajak.
Dia menilai evaluasi belanja perpajakan juga diperlukan sejalan dengan rencana penerapan Pillar 2: Global Anti Base Erosion (GloBE). Menurutnya, laporan belanja perpajakan dan informasi lainnya dapat dimanfaatkan untuk menganalisis efektivitas menu fasilitas perpajakan yang ada agar kinerjanya bisa dipertahankan.
Melalui Pilar 2, pajak minimum global dengan tarif efektif sebesar 15% akan dikenakan atas grup perusahaan multinasional dengan pendapatan minimal €750 juta per tahun. Ketentuan pajak minimum global tersebut salah satunya bakal berpengaruh terhadap ketentuan fasilitas pajak.
"Dengan adanya penerapan Pilar 2, sekarang momentum yang tepat untuk mengevaluasi rezim insentif pajak di Indonesia," ujarnya.
Walaupun memiliki banyak manfaat, Denny menilai penyusunan laporan belanja perpajakan bakal makin menantang. Hal itu terjadi seiring dengan peraturan pajak Indonesia yang lebih kompleks.
Pemerintah dalam upaya memperluas basis pajak telah menerbitkan sejumlah peraturan baru. Dalam peraturan tersebut, juga diatur pemberian fasilitas pajak yang semestinya turut tercakup dalam belanja perpajakan.
"Misalnya pemajakan atas natura dan/atau kenikmatan, diatur pula pengecualiannya. Apakah pengecualiannya termasuk tax expenditure? Jika iya, bagaimana cara menghitungnya?" katanya.
Dia menjelaskan penyusunan laporan belanja perpajakan menunjukkan adanya upaya transparansi pemerintah, khususnya Kementerian Keuangan. Laporan belanja perpajakan ini biasanya memuat berbagai informasi penting yang berharga dalam berjalannya suatu ekosistem pajak.
Sejak terbit secara rutin pada 2018, laporan belanja perpajakan Indonesia juga selalu mengalami perbaikan dan peningkatan, baik dari segi kualitas konten, metode perhitungan, maupun proyeksi. Menurutnya, perbaikan dalam penyusunan laporan belanja perpajakan ini tidak boleh terhenti, terutama dengan sistem dan peraturan pajak yang makin beragam.
Penerbitan UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) beserta peraturan turunannya telah mencakup berbagai perluasan basis pajak, termasuk pengecualiannya. Pemerintah pun pada akhirnya perlu menyesuaikan dan mengembangkan lebih lanjut terkait penentuan definisi belanja perpajakan, benchmark sistem pajak, serta aspek yang dihitung sebagai komponen belanja perpajakan.
Denny menambahkan berdasarkan jenis sektor usaha, belanja perpajakan relatif sudah terdistribusi secara merata. Sektor yang banyak berkontribusi terhadap pendapatan pajak, umumnya juga merupakan sektor dengan alokasi belanja perpajakan tinggi.
Hal ini setidaknya menjadi indikasi awal kontributor utama penerimaan pajak memang memanfaatkan fasilitas-fasilitas yang ditawarkan. Selain itu, terindikasi pula sektor yang mendapatkan banyak belanja perpajakan, misalnya melalui salah satu fasilitas pajak, menjadi berkontribusi lebih besar melalui jenis atau ketentuan pajak lainnya.
Meski demikian, masih terdapat pola yang tidak konsisten antara belanja perpajakan dan kontribusi ekonomi yang dihasilkan. Sebab, terdapat beberapa sektor yang memiliki kontribusi tinggi terhadap produk domestik bruto (PDB), tetapi mendapatkan alokasi belanja perpajakan yang relatif lebih rendah seperti pertambangan, konstruksi, serta teknologi dan informasi.
Sementara itu, sektor seperti jasa keuangan dan asuransi, transportasi dan logistik, serta manufaktur justru menikmati alokasi belanja perpajakan yang relatif lebih tinggi ketimbang kontribusinya terhadap PDB.
"Situasi ini perlu diselaraskan dengan prioritas pemerintah dan keseimbangan antara ekonomi dan masalah fiskal," katanya. (sap)