JAKARTA, DDTCNews - Implementasi coretax administration system ikut berdampak terhadap jangka waktu pengkreditan pajak masukan. Topik tersebut menjadi salah satu bahasan media arus utama pada hari ini, Senin (30/9/2024).
Melalui modul tutorial yang dirilis Ditjen Pajak (DJP), coretax system mengharuskan faktur pajak masukan dikreditkan dalam masa pajak yang sama dengan masa pajak saat faktur pajak dibuat.
"Hal ini dikarenakan faktur pajak masukan tidak dimungkinkan diterima secara terlambat oleh pembeli," sebut DJP.
Dengan adanya batas waktu upload faktur pajak maksimal tanggal 15 bulan berikutnya sebagaimana diatur dalam PER-03/PJ/2022, DJP menyebut faktur pajak masukan bulan sebelumnya harus diterima oleh PKP pembeli pada tanggal 15 bulan berikutnya.
DJP menilai PKP pembeli memiliki waktu yang cukup untuk mendeklarasikan pengkreditan pajak masukan sebelum jatuh tempo pelaporan SPT pada akhir bulan berikutnya.
"Namun, jika pembeli masih membutuhkan waktu untuk deklarasi pengkreditan hingga melewati jatuh tempo penyampaian SPT, pembeli masih dapat mengkreditkan dan melakukan pembetulan SPT masa pajak diterbitkannya faktur pajak," jelas DJP.
Sebagai informasi, fitur mengkreditkan pajak masukan tersedia pada menu eTax Invoice submenu Input Tax pada aplikasi Portal Wajib Pajak. Semua wajib pajak baik PKP maupun non-PKP dapat mengakses menu ini. Alhasil, semua transaksi yang terkena PPN bisa diketahui.
Selain bahasan mengenai pengkreditan pajak masukan pada coretax, ada pula pemberitaan mengenai imbas coretax terhadap tax ratio, rencana pengelompokan wajib pajak grup ke dalam satu KPP, hingga rencana pembuatan pita cukai digital.
Implementasi coretax system diyakini akan berimbas positif terhadap kinerja rasio pajak atau tax ratio. Wakil Menteri Keuangan II Thomas Djiwandono mengeklaim penerapan coretax administration system bakal meningkatkan rasio pajak dari 10% menjadi 12%.
Meski demikian, Thomas mengatakan peningkatan rasio perpajakan dimaksud memerlukan dukungan dalam bentuk peningkatan pertumbuhan ekonomi.
"Rasio pajak itu rasa-rasanya bisa didorong terus dengan cara kita mempunyai pertumbuhan ekonomi yang lebih besar, dengan catatan bahwa kita bisa mendapatkan engine of growth yang baru," ujar Thomas. (DDTCNews)
Rencana DJP untuk mengelompokkan dan mengelola wajib pajak grup ke dalam 1 KPP yang sama diperkirakan masih belum akan terealisasi dalam waktu dekat.
Kepala Subdirektorat Pengelolaan Penerimaan Pajak Direktorat Potensi, Kepatuhan, dan Penerimaan DJP Muchamad Arifin mengatakan pihaknya belum bisa memastikan apakah kebijakan tersebut hanya akan diterapkan atas grup wajib pajak besar atau juga diterapkan atas grup wajib pajak kecil.
"Rapatnya selalu bergerak, jadi minggu kemarin dan minggu ini bisa berbeda. Memang masih belum mengerucut pada 1 titik tertentu. Namun, sedang dilakukan pembahasan," ujar Arifin. (DDTCNews)
Ditjen Bea dan Cukai (DJBC) tengah mengkaji peluang penerapan pita cukai digital untuk menggantikan pita cukai konvensional.
Dirjen Bea dan Cukai Askolani mengatakan kajian diperlukan untuk mengukur kelebihan dan kelemahan dari pita cukai digital. Menurutnya, DJBC melaksanakan kajian mengenai pita cukai digital tersebut bersama Perum Peruri.
"Tentunya kajian ini akan terus kami lakukan dengan peruri untuk bisa melihat semua aspek yang harus kita pertimbangkan dengan matang," kata Askolani. (DDTCNews)
DJP mengungkapkan kontribusi masyarakat kelas menengah terhadap penerimaan pajak tidaklah terlalu besar.
Kepala Subdirektorat Pengelolaan Penerimaan Pajak Direktorat Potensi, Kepatuhan, dan Penerimaan DJP Muchamad Arifin mengatakan wajib pajak orang pribadi baru berkontribusi sebesar 15,7% terhadap penerimaan pajak.
"Pajak kelompok kelas menengah masuk ke dalam kontribusi pajak orang pribadi, di mana kontribusi orang pribadi kepada total penerimaan nasional adalah 15,7%," ujar Arifin. (DDTCNews)
Pemerintahan Prabowo Subianto berniat mengganti skema subsidi energi menjadi bantuan langsung tunai (BLT). Ide ini diprediksi bakal menghemat anggaran hingga Rp200 triliun. Alasannya, penyaluran subsidi dinilai tidak tepat sasaran selama ini.
Dewan Penasihat Presiden Terpilih Prabowo Subianto Burhanuddin Abdullan menilai pemberian BLT bakal lebih tepat sasaran. Dengan begitu, konsep bantuan tidak akan menyasar komoditas tertentu seperti subsidi.
Merespons wacana ini, Kementerian ESDM mengaku belum ada pembahasan lebih terperinci mengenai pemberian BLT sebagai pengganti subsidi energi. Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama (KLIK) Kementerian ESDM Agus Cahyono Adi menyampaikan hal tersebut pasti akan dibahas lebih lanjut oleh tim transisi pemerintahan Prabowo Subianto. (Kontan) (sap)