Suasana di tempat hiburan karaoke. (foto: Antara)
JAKARTA, DDTCNews - Guru Besar FEB Universitas Brawijaya Candra Fajri Ananda menyatakan pengenaan tarif pajak daerah sebesar 40% - 75% atas jasa hiburan di diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi/uap spa sudah adil.
Ahli dari pemerintah ini mengatakan jasa hiburan diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi/uap spa dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan menengah ke atas. Untuk itu, pajak dengan tarif yang lebih tinggi sudah layak dikenai atas jasa-jasa tersebut.
"Asas equity menitikberatkan bagaimana pajak dibayarkan oleh kelompok masyarakat berpendapatan menengah dan tinggi untuk diberikan kepada kelompok berpendapatan rendah lewat program-program yang dibuat pemerintah. Dengan demikian, pajak akan selalu diberikan secara berbeda," ujar Candra dalam sidang Mahkamah Konstitusi (MK) yang digelar hari ini, Selasa (1/10/2024).
Demi melaksanakan pembangunan yang berkeadilan, sudah seyogianya masyarakat berpenghasilan tinggi membayar pajak yang lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat berpenghasilan rendah.
"Jadi, istilah diskriminatif tidaklah tepat. Kelompok berpendapatan tinggi memang harus dan wajib membayar lebih dengan tujuan untuk ikut berperan dalam pembangunan melalui pajak yang dibayarkan," kata Candra.
Tarif pajak barang dan jasa tertentu (PBJT) dengan tarif sebesar 40% hingga 75% atas jasa hiburan di diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi/uap diperlukan dalam rangka memperkuat kapasitas pemda untuk memungut pajak (local taxing power).
Tambahan penerimaan pajak dari PBJT sebesar 40% hingga 75% tersebut kemudian digunakan oleh pemda untuk menyediakan fasilitas publik di wilayahnya masing-masing.
Tak hanya itu, jasa hiburan di diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi/uap spa telah menjadi kebutuhan tersier dalam aktualisasi diri oleh kelompok masyarakat tertentu. Untuk itu, PBJT dengan tarif yang lebih tinggi atas 5 jasa hiburan tersebut dapat diberlakukan.
"Selain itu, hiburan tersebut dikenai tarif tertinggi karena tingkat elastisitas terhadap harga jual layanannya rendah. Artinya, meski tarif layanannya dinaikkan, jumlah konsumen tidak berkurang karena pengguna jasanya adalah kelas menengah ke atas," tutur Candra.
Meski demikian, apabila pemda berpandangan tarif PBJT atas jasa hiburan di diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi/uap terlalu tinggi maka pemda dapat memberikan insentif sesuai Pasal 101 UU HKPD dalam rangka meningkatkan kemudahan penanaman modal.
"Sebenarnya para pelaku usaha pada sektor ini dimungkinkan mendapat kemudahan dan keringanan atas beban pajak tersebut sesuai dengan peraturan yang diterbitkan kepala daerah. Hal yang patut dipahami ialah insentif yang diberikan harus bersifat target sektor yang jelas dan memiliki batasan waktu," kata Candra.
Dengan argumen-argumen di atas, Candra berpandangan dalil-dalil yang disampaikan oleh pemohon tidaklah tepat dan terbantahkan.
Sebagai informasi, terdapat 3 pihak yang mengajukan judicial review terhadap tarif PBJT sebesar 40% hingga 75% dalam UU HKPD. Tiga pihak dimaksud yakni Perhimpunan Pengusaha Husada Tirta Indonesia, PT Imperium Happy Puppy, dan Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI).
Perhimpunan Pengusaha Husada Tirta Indonesia meminta MK untuk menghapuskan mandi uap/spa dari daftar jasa hiburan yang dikenai PBJT sebesar 40% hingga 75%.
Sementara itu, PT Imperium Happy Puppy meminta MK untuk membuat pengecualian khusus atas karaoke keluarga. Menurut perusahaan tersebut, karaoke keluarga seharusnya dikenai PBJT dengan tarif sebesar 10%.
Terakhir, GIPI meminta MK untuk menyatakan Pasal 58 ayat (2) UU HKPD bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Dengan demikian, seluruh jenis jasa hiburan seharusnya dikenai PBJT dengan tarif yang sama, yaitu maksimal 10%. (rig)